Indonesia menyimpan banyak mutiara sejarah dalam rupa tokoh-tokoh besar. Salah satu tokoh yang paling bersinar adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Kita lebih mengenalnya dengan panggilan Buya Hamka. Ia adalah manusia multidimensi yang langka. Hamka bukan hanya seorang ulama yang alim. Ia juga seorang sastrawan yang romantis dan pejuang yang gigih.
Namanya harum melintasi zaman. Generasi masa kini tetap mengagumi pemikirannya. Sosok Buya Hamka menawarkan keteladanan yang lengkap. Ia mengajarkan kita tentang agama, seni, dan cinta tanah air secara bersamaan. Mari kita menyelami kembali samudra hikmah dari kehidupannya.
Pendidikan Otodidak yang Mengagumkan
Hamka lahir di Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Latar belakang pendidikannya sangat unik. Ia tidak menamatkan jenjang pendidikan formal yang tinggi. Namun, hal itu tidak mematikan semangat belajarnya. Ia justru menjadi pembelajar yang “buas”.
Hamka melahap berbagai buku ilmu pengetahuan. Ia mempelajari filsafat, sastra, sejarah, dan sosiologi secara mandiri. Ia juga mendalami bahasa Arab dengan tekun. Kemampuan otodidaknya membuktikan satu hal penting. Ijazah bukanlah satu-satunya penentu kecerdasan seseorang. Ketekunan membaca dan rasa ingin tahu adalah kunci utamanya.
Sastrawan dengan Sentuhan Jiwa
Dunia sastra Indonesia berhutang banyak pada Hamka. Ia menulis novel-novel yang mengguncang emosi pembaca. Anda pasti pernah mendengar Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck atau Di Bawah Lindungan Ka’bah. Karya-karya ini bukan sekadar cerita cinta picisan.
Hamka menyelipkan kritik sosial yang tajam di dalamnya. Ia menyoroti adat yang kaku dan menghalangi kebahagiaan manusia. Ia menggunakan bahasa Melayu yang indah dan puitis. Tulisan Hamka mampu menyentuh relung hati yang paling dalam. Ia membuktikan bahwa dakwah bisa berjalan beriringan dengan seni. Seorang ulama bisa memiliki jiwa yang halus dan romantis.
Mahakarya Tafsir dari Balik Jeruji
Ujian hidup seringkali melahirkan karya besar. Hal ini terjadi pada Sosok Buya Hamka. Rezim Orde Lama pernah memenjarakannya karena tuduhan politik yang tidak terbukti. Namun, Hamka tidak menghabiskan waktu untuk mengeluh.
Ia justru memanfaatkan kesunyian penjara untuk menulis. Di sanalah ia menyelesaikan Tafsir Al-Azhar. Ini adalah karya tafsir Al-Qur’an 30 juz yang sangat fenomenal. Tafsir ini memiliki keunikan tersendiri. Hamka menjelaskannya dengan pendekatan sosiologis dan budaya Indonesia. Bahasa yang ia gunakan sangat mudah dipahami oleh orang awam. Penjara fisik tidak mampu memenjarakan pikiran cemerlangnya.
Teladan Memaafkan dan Akhlak Mulia
Hamka memiliki hati seluas samudra. Ia pernah berselisih paham dengan Presiden Soekarno dan sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Perbedaan pandangan politik membuat hubungan mereka merenggang. Bahkan, Hamka harus mendekam di penjara pada masa pemerintahan Soekarno.
Namun, Hamka menunjukkan kelasnya sebagai ulama sejati. Ketika Soekarno wafat, Hamka datang untuk menjadi imam shalat jenazahnya. Ia menunaikan wasiat Sang Proklamator tanpa dendam sedikitpun. Ia juga memaafkan Pramoedya yang pernah menyerangnya lewat tulisan. Hamka mengajarkan kita arti kebesaran jiwa. Memaafkan adalah balas dendam terbaik bagi seorang mukmin.
Semangat Nasionalisme yang Religius
Nasionalisme Hamka tidak perlu diragukan lagi. Ia berjuang mempertahankan kemerdekaan lewat pena dan mimbar. Ia membakar semangat para pejuang di Sumatera Barat. Hamka meyakini bahwa mencintai tanah air adalah bagian dari iman.
Ia menolak dikotomi antara agama dan negara. Bagi Hamka, seorang muslim yang baik pasti mencintai negerinya. Ia aktif membangun bangsa melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ia menjadi ketua umum MUI yang pertama. Ia menjaga moral bangsa dari degradasi. Sikap tegasnya dalam memegang prinsip agama menjadi benteng moral bagi Indonesia.
Nasihat Emas Buya Hamka
Warisan terbesar Hamka adalah kata-kata mutiara dan nasihatnya. Pesan-pesan ini relevan untuk segala zaman. Berikut adalah beberapa kutipan asli Buya Hamka yang penuh makna:
“Jangan takut jatuh, karena yang tidak pernah memanjatlah yang tidak pernah jatuh. Jangan takut gagal, karena yang tidak pernah gagal hanyalah orang-orang yang tidak pernah melangkah. Jangan takut salah, karena dengan kesalahan yang pertama kita dapat menambah pengetahuan untuk mencari jalan yang benar pada langkah yang kedua.”
Kutipan ini mengajarkan kita untuk berani mencoba. Kegagalan adalah guru yang berharga. Hamka juga menyinggung tentang esensi kehidupan manusia lewat kutipan populernya:
“Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja.”
Kalimat ini sangat menohok. Manusia harus memiliki nilai lebih dibandingkan makhluk lain. Kita harus memberi manfaat dan memiliki tujuan hidup yang mulia.
Relevansi Pemikiran Hamka Hari Ini
Zaman terus berubah dengan cepat. Teknologi berkembang pesat. Namun, manusia modern sering mengalami kekeringan spiritual. Kita butuh penyejuk hati seperti nasihat Hamka.
Generasi muda perlu mencontoh semangat literasi Hamka. Kita harus rajin membaca dan berkarya. Kita juga perlu meneladani sikap toleransi dan pemaafnya. Perbedaan pendapat di media sosial tidak boleh memecah belah persaudaraan. Sosok Buya Hamka adalah pelita yang tak pernah padam. Cahaya ilmunya terus menerangi jalan bangsa Indonesia. Mari kita jaga warisan pemikirannya agar tetap hidup di hati kita.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
