Khazanah
Beranda » Berita » Syaikh Muhammad bin Abdurrahman al-‘Ushfūrī: Ulama Zuhud dari Timur Tengah yang Menyebar Hikmah Lewat Mau‘izhah

Syaikh Muhammad bin Abdurrahman al-‘Ushfūrī: Ulama Zuhud dari Timur Tengah yang Menyebar Hikmah Lewat Mau‘izhah

Santri pesantren sedang mengaji kitab kuning
Beberapa santri perempuan mengenakan seragam pesantren sedang membaca kitab kuning di bangku-bangku kayu. Ilustrasi ini mewakili semangat menuntut ilmu agama, sebagaimana Syaikh Al-Ushfuri pernah menekankan agar pelajaran hikmah dipegang oleh setiap generasi.

Suaru.co. “Kehidupan dunia ini tiada lain hanyalah permainan dan kesenangan, sedangkan tempat tinggal akhirat jauh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, tidakkah kalian mengambil pelajaran?” Demikian firman Allah dalam al-Qur’an. Prinsip inilah yang diwasiatkan Syaikh Muhammad bin Abdurrahman al-‘Ushfūrī kepada murid-muridnya. Dikenal pula dengan sebutan Syaikh Al-Ushfuri, beliau lahir di Damaskus (Suriah) dan kemudian hijrah ke Mesir, menetap di sana hingga akhir hayatnya.

Sebagai ulama sekaligus sufi zuhud abad ke-17, Syaikh Al-Ushfuri mengabdikan hidupnya menyebar ilmu dan hikmah. Beliau menyusun Kitab Al-Mawa’izh al-‘Ushfuriyyah yang terkenal, berisi empat puluh hadits pilihan berisi nasihat dan hikmah kehidupan. Lewat karya itu, ia membimbing umat agar senantiasa ingat akhirat dan menjauhi kesenangan fana dunia.

Riwayat hidup beliau juga mencatat perubahan spiritual yang mendalam. Menurut pengantar kitab Ushfuriyyah, dahulu Syaikh Al-Ushfuri sempat hanyut dalam dosa sebelum akhirnya bertobat total. Sejak saat itu, ia tekun menuntut ilmu: mengaji kepada beberapa guru terkemuka, menulis setiap nasihat dan hadits yang diajarkan, lalu menambahkannya dengan kisah-kisah hikmah yang menggugah hati.

Setiap petuah dan riwayat yang ia kumpulkan kemudian diolah menjadi pelajaran hidup. Sebagaimana beliau ceritakan dalam kitabnya, motivasi perjuangannya adalah berharap ampunan dari Allah dan saling menasihati sesama hamba agar menghindari neraka. Dalam konteks keilmuan, Syaikh Al-Ushfuri bukan hanya pewaris ilmu para ulama, tapi juga budayawan.

Tercatat bahwa selain karya Ushfuriyyah, beliau menulis  bait-bait faidah yang memperlihatkan jiwa seninya. Sayang, seperti dicatat dalam beberapa riset, biodata lengkapnya (tanggal lahir, siapa guru-gurunya) belum banyak ditemukan. Yang jelas, ia wafat pada tahun 1103 H (1692 M) Kerendahan hati dan zuhudnya menjadi teladan: beliau selalu menganggap dunia hanyalah sementara.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Sebagaimana petuah Syaikh Hasan al-Bashri:

“مَن أحبَّ الدنيا وسَرَّتْه، خَرَجَ حُبُّ الآخرةِ مِنْ قلبِه.”
“Barangsiapa mencintai dunia dan senang dengannya, maka cinta akhirat keluar dari hatinya”

Prinsip inilah yang menjadi landasan kecintaannya pada hikmah akhirat dan mengarahkan kaum muslim pada kesederhanaan hidup.

Kitab Al-Mawa’izh al-‘Ushfuriyyah: 40 Hadis Penuh Nasihat

Warisan utama Syaikh al-Ushfuri adalah Kitab Al-Mawa’izh al-‘Ushfuriyyah – kumpulan empat puluh hadits pilihan disertai hikmah dan kisah teladan. Nama “Al-‘Ushfuriyyah” sendiri berasal dari kisah seekor burung pipit kecil “ushfur” yang diangkat sebagai syarah (penjelasan) hadits pertama kitab ini. Kisah itu menggambarkan betapa seekor burung mungil mampu menyelamatkan Khalifah Umar bin ‘Abdul Aziz dari pertanyaan malaikat penjaga kubur, menegaskan betapa hikmah Allah tersembunyi dalam makhluk ciptaan-Nya.

Dalam kitabnya, Syaikh al-Ushfuri langsung memaparkan hadits pertama tanpa pembukaan bab khusus, kemudian menyusunnya hingga hadits ke-40 secara beruntun. Setiap hadits yang beliau cantumkan lalu diberi ulasan ringkas tapi sarat makna. Tidak seperti sebagian penulis hadis lain, beliau tidak menyebutkan sanad lengkap dalam karya ini Meski demikian, penekanan kitab ini bukan pada keilmuan sanad, melainkan pada pesan moral dan pelajaran sejarah yang termaktub dalam setiap hadits dan cerita.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Kitab Ushfuriyah banyak dipelajari di pesantren pesantren salafi sebagai rujukan hikmah. Dalam kumpulan hadis tersebut, Syaikh Al-Ushfuri menambahkan pelajaran berharga. Misalnya dalam setiap bab ia sering menyelipkan cerita-cerita inspirasional yang menunjukkan betapa amalan kecil di jalan ketaatan memiliki efek besar.

Cara pengarang menambah hikmah lewat narasi inilah yang membuat kitab ini mudah dihayati. Karena berisi empat puluh nasihat utama, kitab ini sering disebut ringkas namun padat pesan. Bahkan di kalangan pesantren salafi, karya ini populer sebagai Kitab Ushfuriyah yang disarankan untuk dikaji. Dengan gaya pengajaran yang sederhana dan puitis, Syaikh Al-Ushfuri menyampaikan bahwa hikmah Islam dapat dicerna oleh setiap lapisan umat, baik melalui kata-kata direktif maupun kisah teladan.

Zuhud dalam Ajaran dan Dakwah Al-Ushfuri

Pandangan zuhud (takut dunia) nampak jelas dalam ajaran Syaikh al-Ushfuri. Menurut beliau, zuhud bukan sekadar meninggalkan dunia, melainkan mengalihkan hati sepenuhnya kepada Allah. Rasulullah ﷺ sendiri menekankan nilai akhirat di atas dunia. Seperti sabda beliau :

مَنْ حَفِظَ عَلَى أُمَّتِي أَرْبَعِينَ حَدِيثًا مِمَّا يَنْفَعُهُمْ مِنْ أَمْرِ دِينِهِمْ، بَعَثَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي زُمْرَةِ الْعُلَمَاءِ

Artinya: “Barang siapa menjaga (menghafal dan meriwayatkan) untuk umatku empat puluh hadits yang bermanfaat bagi urusan agama mereka, niscaya Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat bersama para ulama.” ( HR. Al Bayhaqi)

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Hadis ini oleh sebagian ulama’ di golongkan hadis dhaif. Akan tetapi hadis ini mendorong Syaikh al-Ushfuri mengumpulkan hadis-hadis bernas agar ilmu Islam tersalurkan ke generasi selanjutnya.

Selain itu, ajaran zuhud juga beliau refleksikan lewat kalimat para salaf. Syaikh al-Ushfuri sering menegaskan pepatah Hasan al-Bashri:

“من أحب الدنيا وسرَّته، خرج حب الآخرة من قلبه”

Artinya: “Barang siapa mencintai dunia dan merasa senang karenanya, maka kecintaan kepada akhirat keluar dari hatinya.”

Kehidupan dunia menurut beliau adalah ladang ujian dan sementara – ia pernah mencontohkan bahwa apapun kenikmatan dunia sudah dijamin pembagiannya oleh Allah. Sebagaimana Imam al-Ghazali pula mengingatkan:

ليس الزهد في الدنيا بتحريم الحلال… ولكن أن تكون بما في يد الله أوثق منك بما في يدك

Artinya: “Zuhud di dunia bukan dengan mengharamkan yang halal… tetapi dengan merasa lebih percaya terhadap apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tanganmu sendiri”

Bahwa zuhud berarti menyerahkan sepenuhnya kepada Allah atas rezeki dan takdir yang Dia anugerahkan, bukan menyia-nyiakan karunia-Nya. Dengan prinsip ini, Syaikh Al-Ushfuri mengajak umat untuk mensyukuri setiap nikmat dan bersabar atas cobaan.

Beliau mendorong untuk memfokuskan hidup pada akhirat—tempat perhitungan yang pasti. Dengan semangat inilah beliau menyebarkan mau‘izhah (nasihat) ke berbagai kalangan, menanamkan bahwa kebahagiaan sejati ada di jalan ketaatan dan kasih sayang Ilahi.

Pengaruh, Penerimaan, dan Warisan Hikmah Syaikh Al-Ushfuri

Pengaruh Syaikh Al-Ushfuri melampaui zamannya. Karya beliau tersebar luas di Timur Tengah dan dunia Islam, dan terus dicetak ulang dari generasi ke generasi. Di Indonesia, Kitab Ushfuriyyah terjemahan Diva Press (2019) menjadi populer di kalangan pesantren salafi sebagai sumber hikmah hidup. Kitab ini menginspirasi kajian rutin santri dan seminar keislaman karena gaya penyampaian yang ringan namun mendalam.

Para ulama kontemporer pun sering merujuknya saat mengangkat tema-mes tema zuhud dan tasawuf. Misalnya, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam pengantarnya menekankan perlunya mengenal Allah, bukan hanya cinta-Nya, seraya memuji kedalaman Mawa’izh al-‘Ushfuri sebagai kompas spritualitas masa kini.

Selain kitab Ushfuriyah, jejak beliau dapat ditemukan di berbagai kumpulan arba’in hadits (kumpulan 40 hadits) yang disusun ulama selepasnya. Tradisi menyusun 40 hadits seperti yang dianjurkan Nabi ﷺ terus dijalankan, dan Syaikh Al-Ushfuri berada dalam garis tradisi tersebut. Kritik terhadap sanad kitabnya pun tak mengurangi keutamaan isinya.

Penelitian modern menunjukkan bahwa sebagian besar hadits dalam kitabnya tergolong masyhur dan selaras dengan ajaran umumnya, sehingga masih layak dipelajari. Kini, kisah-kisah Nabi dan para sahabat yang diceritakan dalam kitab Ushfuri secara tak langsung meneruskan amal dakwah beliau: mengobarkan kecintaan kepada Nabi ﷺ dan nilai-nilai tauhid dalam masyarakat.

Di samping itu, beliau juga dikenang sebagai figur yang menggabungkan ilmu dan seni. Kumpulan syair atau bait yang pernah beliau karang menambah warna kebudayaan Islam. Ulama Ulama Timur Tengah memandangnya sebagai contoh ulama wara’ (penjaga diri) yang senantiasa mengingat Allah dalam setiap langkah.

Pengaruhnya terasa pula dalam tradisi tasawuf Sunni; para pecinta ilmu zuhud meneladani pola hidupnya yang sederhana, selalu lebih memilih berkorban untuk akherat daripada ambisi dunia.

Penutup

Dunia terus berputar tanpa henti, membawa kita pada kesibukan sehari-hari. Namun guratan kisah Syaikh Al-Ushfuri mengingatkan agar hati tetap teduh merindu keabadian akhirat. Beliau  mengajarkan kita untuk ber-lepas-diri dari ketamakan mengejar dunia, seraya menabur benih hikmah dalam setiap kata.

Sebagaimana sebaris patuah yang berulang di kitab Mawa’izh-nya, petuah beliau tentang burung pipit kecil mengajak kita renungi: walau sekecil apa pun amal kebaikan, bisa menjadikannya sebab Allah memberikan keselamatan pada kita. Dengan nada lembut, Syaikh Al-Ushfuri menutup setiap nasihatnya – sering kali dengan do’a agar pembaca diberi taufik, iman yang teguh, dan surga-Nya kelak.

Di akhir jiwa ini, terpatri harapan agar warisan hikmah beliau terus kami semat dalam sanubari. Seperti serbuk madu yang menetes dari kisah klasik, nasihat Syaikh Al-Ushfuri mengalir melembutkan hati yang keras.

Semoga kita terinspirasi untuk bersikap zuhud dalam arti hakiki – menjadikan dunia hanya bekal semaian, dan membiarkan cinta akhirat membuncah dalam batin. Dengan demikian, cahaya ilmu dan hikmah yang dititipkan Syaikh al-Ushfuri akan senantiasa menerangi perjalanan hidup umat, mengobarkan semangat beramal untuk keridhaan Ilahi.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement