Khazanah
Beranda » Berita » Mengingat Kematian, Menyongsong Akhirat: Refleksi dari Kitab al-‘Ushfūriyyah

Mengingat Kematian, Menyongsong Akhirat: Refleksi dari Kitab al-‘Ushfūriyyah

Renungan tentang kematian dalam suasana senja yang tenang.
Seorang Muslim yang merenungi perjalanan hidup menjelang akhirat dengan suasana senja yang teduh.

Surau.co. Mengingat kematian bukan sekadar aktivitas spiritual yang berlangsung singkat, tetapi latihan batin yang menghidupkan kesadaran terdalam tentang perjalanan manusia menuju akhirat. Dalam tradisi ulama salaf, kesadaran akan maut menjadi kunci ketenangan hati, sumber kebijaksanaan, serta fondasi bagi ibadah yang tulus. Kitab al-Mawā‘iẓ al-‘Ushfūriyyah karya Syaikh Muhammad bin Abdurrahman al-‘Ushfūrī menampilkan rangkaian nasihat mendalam tentang pentingnya mengingat akhir perjalanan hidup. Setiap nasihat menghadirkan gambaran yang kuat tentang kefanaan, sekaligus mendorong seorang hamba untuk menata diri menuju kebahagiaan abadi.

Di tengah kehidupan modern yang serba cepat, refleksi tentang kematian sering terlupakan. Padahal, kesadaran tersebut justru menghadirkan jiwa yang stabil, fokus, dan tidak mudah terseret hiruk pikuk dunia. Artikel ini mengulas makna mengingat kematian menurut kitab al-‘Ushfūriyyah, dilengkapi ayat Al-Qur’an, hadits, dan pandangan ulama, dengan pendekatan akademik populer yang ringan namun tetap bernas.

Makna Mengingat Kematian dan Urgensinya dalam Kehidupan Spiritual

Kesadaran tentang kematian membentuk karakter jiwa yang lebih teduh. Seseorang yang rutin mengingat kematian akan merasa hidup dengan lebih hati-hati, karena memahami bahwa setiap langkah akan dipertanggungjawabkan. Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan manusia tentang kepastian ajal:

﴿ كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ﴾
“Setiap yang bernyawa pasti merasakan mati.” (QS. Ali Imran: 185)

Ayat ini menghadirkan pengingat yang sangat kuat. Tidak ada makhluk yang bertahan selamanya. Kesadaran seperti ini mendorong seseorang untuk membangun hidup secara lebih bermakna, bukan sekadar mengikuti arus dunia. Selain itu, Nabi Muhammad ﷺ memberikan pedagogi spiritual yang menekankan kedekatan dengan akhirat:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

« أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَادِمِ اللَّذَّاتِ »
“Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan.” (HR. Tirmidzi)

Hadits tersebut menyerukan kesadaran yang tidak menghilangkan kebahagiaan dunia, tetapi menempatkannya dalam bingkai yang benar.

Syaikh Muhammad bin Abdurrahman al-‘Ushfūrī menghadirkan nasihat yang kuat tentang hubungan antara hati dan kesadaran terhadap maut. Dalam salah satu faidahnya disebutkan:

« مَنْ أَكْثَرَ مِنْ ذِكْرِ الْمَوْتِ رَقَّ قَلْبُهُ وَزَهِدَ فِي الدُّنْيَا »
“Siapa yang memperbanyak mengingat kematian, hatinya akan menjadi lembut dan kecintaannya terhadap dunia akan berkurang.”

Terjemahan ini menggambarkan bahwa mengingat kematian mengikis kerak hati dan mendorong kejernihan jiwa. Seseorang yang ingat akhir perjalanan hidupnya memiliki daya spiritual untuk melepaskan keterikatan berlebihan pada dunia. Pada saat yang sama, ia memiliki gairah baru untuk memperbaiki diri, karena memahami betapa singkatnya hidup.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Refleksi Kematian sebagai Jalan Penjernihan Hati

Ketika seorang hamba menghadirkan kematian sebagai renungan harian, jiwanya bergerak lebih jujur. Kematian tidak menakutkan, tetapi menjadi cermin yang menunjukkan apa yang belum dibenahi. Refleksi ini mendorong evaluasi diri secara terus-menerus, sekaligus menuntun seseorang untuk membangun hubungan yang lebih dekat kepada Allah.

Syaikh al-‘Ushfūrī menjelaskan:
« كَفَى بِالْمَوْتِ وَاعِظًا لِأُولِي الْقُلُوبِ »
“Kematian sudah cukup menjadi penasihat bagi pemilik hati.”

Ungkapan tersebut mengisyaratkan bahwa seseorang tidak memerlukan banyak nasihat jika hatinya hidup. Cukup menghadirkan bayangan kematian secara jernih, maka seluruh perilaku akan berubah. Pada titik ini, kematian berfungsi bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai guru kehidupan.

Pandangan sejumlah ulama juga memperkuat pesan ini. Abu Hazim al-A‘raj pernah berkata:

« نَظَرُ الْمُؤْمِنِ فِي الْمَوْتِ دَوَاءُ قَلْبِهِ »
“Pandangan seorang mukmin terhadap kematian adalah obat bagi hatinya.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Terjemahan tersebut menegaskan bahwa zikrul maut memiliki efek penyembuhan spiritual. Hati yang keras menjadi lembut, hati yang gelisah menjadi tenang, dan hati yang lalai kembali terjaga.

Mengapa Mengingat Kematian Menguatkan Ketakwaan?

Kesadaran akan kematian mendorong seseorang untuk menjalani hidup dengan ketakwaan. Ketaatan tidak lagi menjadi beban, tetapi menjadi cara untuk mempersiapkan perjalanan panjang menuju alam akhirat. Kesadaran ini menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam setiap tindakan, keputusan, dan hubungan sosial.

Ayat lain menghadirkan gambaran jelas tentang urgensi persiapan menuju akhirat:

﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah dipersiapkannya untuk hari esok.” (QS. Al-Hashr: 18)

Ayat ini menyebut “hari esok” sebagai penggambaran halus dari akhirat, sehingga renungan terhadap kematian menjadi pintu untuk membangun ketakwaan. Orang beriman melihat setiap aktivitas sebagai bagian dari persiapan menghadapi hari yang pasti datang.

Syaikh al-‘Ushfūrī memberikan gambaran:

« مَنْ عَلِمَ قُرْبَ رَحِيلِهِ لَمْ يَغْتَرَّ بِطُولِ أَمَلِهِ »
“Siapa yang mengetahui kedekatan kepergiannya, tidak akan tertipu oleh panjang angan-angannya.”

Pesan tersebut menegaskan bahwa kesadaran terhadap maut mengurangi kecenderungan berkhayal tanpa tindakan. Seseorang yang mengingat kematian akan lebih realistis menghadapi hidup, lebih sedikit menunda, dan lebih banyak berbuat.

Zikrul Maut sebagai Sumber Ketenangan dan Kepasrahan

Banyak orang mengira bahwa mengingat kematian membuat hidup suram. Namun perspektif kitab al-‘Ushfūriyyah justru menunjukkan sebaliknya. Zikrul maut menghadirkan ketenangan, sebab seseorang memahami bahwa dunia bukan satu-satunya tempat. Setiap kesulitan menjadi lebih ringan ketika dipandang sebagai bagian dari perjalanan menuju rumah abadi.

Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

« الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ »
“Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim)

Hadits ini bukan seruan untuk membenci dunia, tetapi pengingat bahwa kehidupan dunia terbatas, sementara kehidupan akhirat jauh lebih luas dan membahagiakan. Seseorang yang mengingat kematian akan lebih tenang menghadapi ujian, karena memahami bahwa balasan terbaik menunggu di akhirat.

Syaikh al-‘Ushfūrī menambahkan:

« مَنْ ذَكَرَ الْمَوْتَ هَانَتْ عَلَيْهِ مُصِيبَاتُهُ »
“Siapa yang mengingat kematian, musibahnya akan terasa ringan.”

Terjemahan tersebut menunjukkan bahwa zikrul maut memberikan perspektif baru dalam memandang masalah. Ujian hidup tidak lagi terasa menekan, karena seseorang menyadari bahwa dunia hanya persinggahan.

Langkah Praktis Menghidupkan Ingatan tentang Kematian

Mengingat kematian tidak harus dilakukan dengan cara yang menakutkan. Metode yang dianjurkan para ulama bersifat lembut dan penuh hikmah. Seseorang dapat memulai dari hal sederhana seperti membaca ayat-ayat tentang akhirat, merenungi perjalanan hidup, atau menghadiri majelis ilmu yang membahas tentang kematian.

Beberapa ulama salaf juga memberikan tuntunan. Hasan al-Bashri berkata:

« كَفَى بِالْمَوْتِ مُصِيبَةً وَكَفَى بِالزَّهْدِ فِي الدُّنْيَا عَقْلًا »
“Kematian sudah cukup sebagai musibah, dan zuhud terhadap dunia sudah cukup sebagai kecerdasan.”

Pesan ini mendorong seseorang untuk memiliki kesadaran sekaligus kebijaksanaan. Zikrul maut menumbuhkan kecermatan dalam mengelola hidup, karena seseorang memahami nilai setiap detik yang berlalu.

Selain itu, menghadirkan kesadaran tentang kematian dapat dilakukan dengan mengunjungi pemakaman, menghadiri takziyah, atau membaca riwayat para salaf yang menjaga kehidupan spiritualnya melalui refleksi tentang maut. Langkah-langkah ini sederhana tetapi sangat efektif menumbuhkan kesadaran mendalam.

Penutup

Mengingat kematian bukan ajakan untuk meratapi hidup, tetapi menghidupkan kembali makna perjalanan manusia. Setiap hembusan napas membawa seseorang selangkah lebih dekat kepada Allah. Kesadaran tentang akhirat menjadikan seseorang lebih bijak, lebih tenang, dan lebih siap menghadapi apa pun yang terjadi.

Dengan menghidupkan zikrul maut, seorang hamba tidak akan tergelincir dalam kelalaian. Setiap langkah menjadi ibadah, setiap pilihan menjadi persiapan, dan setiap detik menjadi titipan yang harus dikelola dengan penuh tanggung jawab.

Pada akhirnya, kematian adalah pintu yang mengantarkan manusia menuju rahmat Allah. Dengan hati yang siap dan jiwa yang bersih, setiap hamba dapat menyongsong akhirat dengan ketenangan, bukan ketakutan. Semoga Allah menghidupkan hati agar selalu sadar bahwa dunia hanyalah jalan menuju kampung keabadian.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement