Khazanah
Beranda » Berita » Menjaga Hati dari Racun: Makna Riya’ dalam Kitab Al-‘Ushfuriyyah

Menjaga Hati dari Racun: Makna Riya’ dalam Kitab Al-‘Ushfuriyyah

Ilustrasi hati bercahaya sebagai simbol keikhlasan dan terbebas dari riya’.
seorang Muslim sedang menunduk dalam suasana hening. Dari dadanya muncul cahaya lembut keemasan sebagai simbol keikhlasan, sementara di belakangnya bayangan gelap perlahan memudar sebagai simbol hilangnya riya’

Surau.co. Riya’ selalu muncul sebagai racun halus yang merusak hati. Banyak orang menempuh jalan ibadah dengan sungguh-sungguh, tetapi godaan ingin tampil saleh di hadapan manusia sering menguasai batin. Kitab Al-Mawā‘iẓ al-‘Ushfuriyyah karya Syaikh Muhammad bin Abdurrahman al-‘Ushfūrī menghadirkan nasihat yang tegas mengenai bahaya riya’, sekaligus mengarahkan pembaca untuk menjaga hati agar tetap jernih. Dalam artikel ini, pembahasan mengenai makna riya’, akar masalahnya, serta cara membersihkan hati dari racunnya diuraikan dengan bahasa akademik yang ringan dan naratif, sehingga mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Riya’: Racun Batin yang Menggerogoti Keikhlasan

Pembahasan mengenai riya’ selalu relevan, karena banyak amal lahiriah tampak indah, tetapi batinnya tercemar oleh keinginan tampil baik di hadapan manusia. Syaikh al-‘Ushfūrī menjelaskan dalam Al-‘Ushfuriyyah:

“الرِّيَاءُ شِرْكٌ خَفِيٌّ، مَنْ طَلَبَ بِعَمَلِهِ مَرْضَاتَ النَّاسِ حُرِمَ رِضَا اللهِ.”
“Riya’ adalah syirik yang samar. Siapa yang mencari keridaan manusia melalui amalnya, orang tersebut terhalang dari keridaan Allah.”

Pernyataan ini memperlihatkan bahwa racun riya’ bekerja secara perlahan. Banyak orang merasa telah beramal saleh, tetapi tujuan amal justru bergeser. Alih-alih mencari ridha Allah, perhatian berubah ke arah pujian dan sanjungan. Pada titik inilah, racun tersebut masuk ke batin dan menggerogoti kualitas spiritual seseorang.

Selain itu, Al-Qur’an memberikan peringatan yang sangat jelas mengenai bahaya riya’. Allah berfirman:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

﴿ فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ. الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ. الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ ﴾
“Maka celakalah orang-orang yang salat, yaitu yang lalai dari salatnya, serta yang berbuat riya’.” (QS. Al-Mā‘ūn: 4–6)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa amal yang dilakukan dengan riya’ bukan hanya tidak bernilai, tetapi juga menjadi sebab turunnya kecelakaan spiritual. Dengan demikian, menjaga hati dari racun riya’ menjadi kewajiban moral sekaligus jalan untuk meraih ketenangan hidup.

Akar Riya’: Keinginan Menjadi Pusat Perhatian

Riya’ bukan muncul secara tiba-tiba. Riya’ tumbuh dari kecenderungan batin untuk mendapatkan perhatian manusia. Keinginan tersebut didorong oleh rasa kurang percaya diri, kekosongan batin, dan kebutuhan akan validasi. Dalam berbagai nasihatnya, Syaikh al-‘Ushfūrī menjelaskan:

“مَنْ عَرَفَ قَدْرَ نَفْسِهِ لَمْ يُحِبَّ مَدْحَ النَّاسِ.”
“Siapa yang mengenali kadar dirinya, orang tersebut tidak mencintai pujian manusia.”

Ucapan tersebut menggambarkan bahwa orang yang mengenal diri tidak mudah terperangkap oleh harapan-harapan eksternal. Semakin kuat seseorang memahami posisi dirinya sebagai hamba, semakin kecil kemungkinan batinnya terpengaruh oleh racun riya’.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Para ulama lain juga memberi penjelasan yang memperkuat pemahaman tersebut. Imam al-Ghazali dalam Ihyā’ ‘Ulūmiddīn menjelaskan:

“حُبُّ الْمَدْحِ يَكْشِفُ ضَعْفَ النَّفْسِ وَقِلَّةَ الْيَقِينِ.”
“Cinta terhadap pujian menyingkapkan lemahnya jiwa dan sedikitnya keyakinan.”

Penjelasan ini menegaskan bahwa riya’ bersumber dari kondisi batin yang rapuh. Seseorang yang memerlukan pengakuan terus-menerus akan mudah terseret ke dalam racun riya’. Karena itu, penguatan jiwa menjadi langkah pertama dalam membersihkan hati.

Riya’ dalam Perspektif Al-‘Ushfuriyyah: Penyakit yang Menghapus Amal

Kitab Al-‘Ushfuriyyah memberikan gambaran yang khusus mengenai riya’. Dalam salah satu nasihatnya, Syaikh al-‘Ushfūrī menyampaikan:

“العَمَلُ لَا يَقْبَلُهُ اللهُ مَعَ الرِّيَاءِ.”
“Allah tidak menerima amal yang disertai riya’.”

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Penjelasan tersebut menunjukkan betapa berat dampak riya’. Amal yang dilakukan dengan perjuangan, tenaga, waktu, bahkan biaya yang besar dapat menjadi sia-sia jika niatnya tercemar. Konsep ini menegaskan pentingnya melindungi hati dari racun yang mematikan tersebut.

Selain itu, riya’ sering berkembang menjadi penyakit perilaku. Banyak orang berbuat amal yang tampak besar, tetapi motivasinya berubah menjadi kompetisi sosial. Perilaku tersebut mematikan kepekaan spiritual, karena perhatian berpindah dari Allah menuju manusia.

Untuk memperkuat nasihat tersebut, hadits Nabi juga memberikan peringatan yang sangat mendalam:

“أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ… الرِّيَاءُ.”
“Hal yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah syirik kecil… yaitu riya’.” (HR. Ahmad)

Dengan demikian, bahaya riya’ bukan sesuatu yang remeh. Hadits tersebut menunjukkan bahwa racun batin ini dapat menyerang siapa pun, termasuk orang yang rajin beribadah sekalipun.

Membersihkan Hati: Jalan Praktis Menghindari Riya’

Untuk menjaga hati dari racun riya’, perlu langkah-langkah praktis yang dapat diterapkan setiap hari. Syaikh al-‘Ushfūrī memberikan beberapa panduan yang relevan untuk membangun kesadaran batin.

Pertama, seseorang perlu mengingat bahwa seluruh amal hanya bermakna ketika dilakukan untuk Allah. Dalam Al-‘Ushfuriyyah disebutkan:

“انْظُرْ إِلَى مَنْ تُقَدِّمُ عَمَلَكَ، فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِ اللهِ فَهُوَ هَبَاءٌ.”
“Renungkan kepada siapa engkau persembahkan amalmu. Jika bukan untuk Allah, amal tersebut menjadi debu yang berterbangan.”

Ungkapan tersebut sangat tegas. Riya’ membuat amal kehilangan nilai. Dengan memperbarui niat setiap hari, hati dapat terlindungi dari kecenderungan mencari pujian.

Kedua, seseorang perlu melatih diri untuk menyembunyikan amal-amal tertentu. Tindakan sederhana ini efektif menjaga kemurnian niat. Imam Ibn al-Jawzī dalam Sayd al-Khāṭir memberikan nasihat:

“خَيْرُ العَمَلِ مَا خَفِيَ، فَإِنَّهُ أَقْرَبُ إِلَى الإِخْلَاصِ.”
“Amal yang terbaik adalah amal yang tersembunyi, karena lebih dekat kepada keikhlasan.”

Nasihat ini bukan menolak amal publik, tetapi mengarahkan seseorang agar tidak membiarkan batin tercemar oleh harapan-harapan sosial. Ketika amal tidak tampak, godaan riya’ berkurang secara signifikan.

Membangun Keteguhan Spiritual: Mengganti Riya’ Dengan Keikhlasan

Keikhlasan menjadi obat paling utama bagi racun riya’. Proses menghadirkan keikhlasan berjalan secara bertahap, bukan tiba-tiba. Pada mulanya, seseorang perlu menyadari bahwa perhatian manusia tidak memberikan manfaat apa pun. Allah berfirman:

﴿ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ ﴾
“Mereka tidak diperintahkan kecuali agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan bagi-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Ayat tersebut memberikan pondasi yang kuat mengenai tujuan ibadah. Dengan terus mengingat bahwa Allah memerintahkan kemurnian niat, seseorang dapat memperbaiki orientasi batinnya secara konsisten.

Syaikh al-‘Ushfūrī juga memberikan penegasan dalam kitabnya:

“الإِخْلَاصُ نُورُ القَلْبِ، وَالرِّيَاءُ ظُلْمَتُهُ.”
“Keikhlasan adalah cahaya hati, sedangkan riya’ adalah kegelapannya.”

Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa keikhlasan tidak hanya membersihkan hati dari racun, tetapi juga menumbuhkan ketentraman batin. Orang yang ikhlas tidak lagi terbelenggu oleh penilaian manusia. Ketenangannya berasal dari relasi langsung dengan Allah.

Penutup

Riya’ selalu mengintai langkah manusia. Racun ini bekerja dari dalam, tidak terlihat, tetapi sangat merusak. Dengan menelusuri nasihat dalam Al-‘Ushfuriyyah dan ajaran para ulama, seseorang dapat memahami bahwa menjaga hati dari racun riya’ bukan hanya kewajiban spiritual, melainkan kebutuhan untuk menjaga kesehatan batin.

Hati yang bersih akan menjadi rumah bagi cahaya. Ketika seseorang beramal tanpa berharap pujian, dunia batinnya menjadi lapang. Kegelisahan mereda, dan kedamaian mulai tumbuh. Pada akhirnya, keikhlasan tidak hanya membuat amal bernilai, tetapi juga membuat hidup lebih tenang. Semoga setiap langkah selalu mendapat penjagaan dan cahaya-Nya.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement