Khazanah
Beranda » Berita » Bukan Sekadar Gerakan: Adab dalam Beribadah menurut Kitab al-‘Ushfuriyyah

Bukan Sekadar Gerakan: Adab dalam Beribadah menurut Kitab al-‘Ushfuriyyah

Adab ibadah, Ushfuriyyah, Tasawuf, Ibadah khusyuk, Kajian kitab kuning, ibadah, adab dalam beribadah, surau.co. Gen Z, pemuda islami
Seorang Muslim duduk bersimpuh dalam suasana redup, cahaya lembut menyinari mushaf di depannya. Gerakannya tenang, wajah teduh, dan latar belakang berpadu kaligrafi samar sebagai simbol kehadiran ilahi.

Surau.co. Ibadah sering dipahami sebagai rangkaian gerakan fisik, mulai dari berdiri, rukuk, hingga sujud. Namun, tradisi keilmuan Islam menekankan bahwa ibadah jauh melampaui ritual lahiriah. Ada kedalaman batin, ketundukan hati, serta adab yang menentukan kualitasnya. Kitab Al-Mawā‘iẓ al-‘Ushfuriyyah karya Syaikh Muhammad bin Abdurrahman al-‘Ushfūrī memuat nasihat lembut namun tegas tentang adab beribadah, terutama bagi seorang Muslim yang ingin mendekat kepada Allah dengan kesungguhan jiwa.

Dalam konteks kekinian, pembahasan adab ibadah menjadi semakin relevan. Banyak orang mengerjakan shalat dengan cepat, membaca Al-Qur’an sambil tergesa, atau berdoa tanpa kehadiran hati. Artikel ini berupaya mengurai bagaimana kitab al-‘Ushfuriyyah memandang adab ibadah, sekaligus menghadirkan refleksi agar setiap amal menjadi jalan ketenangan jiwa.

Makna Adab dalam Beribadah

Adab dalam ibadah bukan sekadar tambahan etika, tetapi ruh yang menghidupkan seluruh gerakan. Seorang hamba yang beribadah dengan adab menunjukkan bahwa hatinya terhubung dengan Allah. Sikap tersebut tidak muncul secara tiba-tiba; butuh latihan, penghayatan, serta kesadaran mendalam tentang siapa yang disembah.

Al-Qur’an memberikan Landasan kuat mengenai pentingnya hadirnya hati dalam ibadah. Allah berfirman:

﴿قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ ۝ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ﴾
“Sungguh beruntung orang-orang beriman, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun: 1–2)

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Ayat ini menegaskan bahwa keberuntungan seorang Mukmin tidak hanya diukur dari banyaknya ibadah, tetapi dari kualitas kekhusyukan yang mengisinya. Dengan kata lain, adab beribadah mencerminkan kedalaman spiritual seorang hamba.

Nasihat al-‘Ushfūrī tentang Keikhlasan

Dalam al-Mawā‘iẓ al-‘Ushfuriyyah, Syaikh al-‘Ushfūrī memberikan nasihat mengenai bahaya ibadah tanpa keikhlasan. Beliau mengungkapkan:

«مَنْ عَبَدَ اللَّهَ بِغَيْرِ صِدْقٍ فِي نِيَّتِهِ فَقَدْ أَتْعَبَ بَدَنَهُ وَلَمْ يَجِدْ ثَمَرَةً لِعِبَادَتِهِ»
“Barang siapa beribadah kepada Allah tanpa kejujuran niat, tubuhnya menjadi payah namun tidak memperoleh buah dari ibadahnya.”

Nasihat ini memperlihatkan betapa pentingnya kejujuran hati. Banyak orang mengerjakan ritual, tetapi tidak semua menghadirkan hati yang bersih dari riya, ingin dipuji, atau sekadar mengikuti kebiasaan. Ibadah yang kehilangan keikhlasan tidak akan memperkuat jiwa, sekalipun gerakannya sempurna.

Dalam konteks kehidupan modern, keikhlasan menjadi semakin sulit karena media sosial memunculkan ruang untuk menampilkan segalanya. Bahkan ibadah sekalipun dapat berubah menjadi ajang pamer kebaikan. Karena itu, pesan al-‘Ushfūrī tentang ketulusan niat menjadi pengingat keras bagi diri yang terus diuji.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Hadirnya Hati sebagai Syarat Adab

Adab ibadah menuntut kehadiran hati. Seorang Muslim diajak untuk memusatkan perhatiannya hanya kepada Allah. Ketika shalat, tubuh bergerak mengikuti tuntunan, tetapi hati memandang kehadiran Sang Pencipta. Keadaan ini menuntut latihan dan pengendalian diri.

Rasulullah SAW memberikan gambaran mendalam melalui sabda beliau:

«إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَجْسَادِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ»
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kalian dan tubuh kalian, tetapi melihat hati kalian.” (HR. Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa adab beribadah bukan terutama tentang keindahan gerakan, melainkan tentang kesiapan hati menerima kehadiran ilahi. Dalam era yang penuh distraksi, menjaga hati tetap fokus menjadi usaha spiritual yang sangat berharga.

Menjaga Kebersihan Lahir dan Batin

Kitab al-‘Ushfuriyyah mengingatkan bahwa ibadah membutuhkan kebersihan lahir dan batin. Kebersihan lahir diwujudkan dengan wudhu, pakaian bersih, dan tempat ibadah yang layak. Kebersihan batin diwujudkan melalui usaha menghindari dosa, iri, dengki, dan penyakit hati lainnya.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Syaikh al-‘Ushfūrī memberikan pesan:

«لَا تَقْرُبْ مَحَارِمَ اللَّهِ ثُمَّ تَرْجُو قَبُولَ صَلَاتِكَ»
“Jangan engkau mendekati hal-hal yang diharamkan Allah lalu berharap shalatmu diterima.”

Pesan tersebut menegaskan bahwa amal ibadah harus sejalan dengan akhlak. Tidak selayaknya seseorang rajin shalat tetapi tetap melakukan kezhaliman.

Adab sebelum Beribadah

Adab ibadah tidak dimulai ketika takbir diucapkan. Ada persiapan batin dan lahir yang dilakukan sebelum itu. Seorang Muslim dianjurkan menghadirkan rasa hormat dan harap ketika menuju tempat ibadah.

Pertama, persiapkan niat dengan benar. Niat bukan sekadar kata hati, tetapi kesadaran penuh bahwa seorang hamba menghadap Allah. Kedua, seorang Muslim dianjurkan menjauhi hal-hal yang dapat mengganggu konsentrasi, seperti marah, pertengkaran, atau kesibukan yang membuat pikiran tidak tenang. Ketiga, memperhatikan kebersihan pakaian, badan, dan tempat ibadah.

Sikap persiapan ini menciptakan suasana batin yang lebih damai sehingga ibadah tidak dilakukan dengan tergesa atau asal-asalan.

Adab saat Beribadah

Saat ibadah berlangsung, seorang Muslim dianjurkan untuk menjaga kesopanan gerakan, kekhusyukan, dan ketundukan sikap. Dalam shalat misalnya, gerakan dilakukan dengan tenang dan tidak terburu-buru. Rasulullah SAW menegaskan:

«أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ»
“Pencuri paling buruk ialah orang yang mencuri dari shalatnya.”

Ketika para sahabat bertanya bagaimana seseorang mencuri shalatnya, Nabi menjelaskan bahwa pencurian itu terjadi ketika seseorang tidak menyempurnakan rukuk dan sujud. Hal ini mengisyaratkan pentingnya gerakan yang tenang dan penuh penghormatan.

Adab lain adalah menjaga hati dari lintasan duniawi selama ibadah. Jika pikiran terpecah, seorang Muslim dianjurkan menarik kembali fokusnya secara halus kepada Allah. Kehadiran hati menjadi inti kesopanan spiritual.

Adab setelah Beribadah

Ibadah tidak selesai ketika salam diucapkan. Ada adab setelah ibadah yang menguatkan hubungan seorang hamba dengan Tuhannya. Pertama, seorang Muslim dianjurkan memperbanyak dzikir agar hati tetap terhubung dengan Allah. Kedua, refleksi diri digalakkan agar seorang hamba memahami kekurangannya saat beribadah.

Syaikh al-‘Ushfūrī memberikan nasihat:

«مَنْ لَمْ يَنْتَفِعْ بِعِبَادَتِهِ فِي أَخْلَاقِهِ فَقَدْ ضَيَّعَ تَعَبَهُ»
“Barang siapa tidak mengambil manfaat dari ibadahnya dalam akhlaknya, maka lelahnya menjadi sia-sia.”

Pesan ini mengajak setiap Muslim untuk menjadikan ibadah sebagai alat transformasi moral. Orang yang rajin ibadah seharusnya menjadi pribadi yang lembut, sabar, dan lebih bijaksana.

Adab sebagai Jalan Kedewasaan Spiritual

Adab ibadah bukan sekadar aturan; adab menjadi jalan kedewasaan spiritual. Semakin seorang hamba menjaga adab, semakin dekat ia kepada Allah. Sebaliknya, ibadah tanpa adab hanya menghadirkan gerakan kosong tanpa keteduhan.

Ibnu Atha’illah dalam al-Hikam memberikan nasihat yang menggetarkan hati:

«لَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تَقُومَ، وَإِنَّمَا الشَّأْنُ أَنْ تُقِيمَ الْحَقَّ فِي قَلْبِكَ»
“Bukan perkara utama engkau berdiri (dalam ibadah), tetapi perkara utamanya ialah menegakkan kebenaran Allah dalam hatimu.”

Nasihat ini memperkuat pesan bahwa ibadah sejati tidak terletak pada gerakan, tetapi pada keteguhan hati menghadapkan diri kepada Allah.

Penutup

Pada akhirnya, adab ibadah menjadi cermin kedalaman iman seseorang. Ketika seorang Muslim menjaga kehadiran hati, keikhlasan, dan ketenteraman gerakan, seluruh ritual berubah menjadi pengalaman spiritual yang meneduhkan. Ibadah yang dilakukan dengan adab akan membimbing seseorang menuju kedamaian sejati, menjauhkan diri dari kegelisahan, dan menguatkan hubungan dengan Allah.

Semoga nasihat al-‘Ushfuriyyah menghidupkan kembali kesadaran spiritual kita, sehingga ibadah tidak hanya menjadi rutinitas, tetapi perjalanan batin menuju cahaya.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement