Khazanah
Beranda » Berita » Makna Tawakal Menurut Kitab al-‘Ushfūrīyyah: Hikmah Ketergantungan kepada Allah

Makna Tawakal Menurut Kitab al-‘Ushfūrīyyah: Hikmah Ketergantungan kepada Allah

Ilustrasi realistik seorang muslim yang bertawakal, berdoa dalam suasana malam tenang dengan cahaya lembut.
Ilustrasi realistik-artistik seorang muslim duduk di tempat sunyi dengan cahaya lembut menyinari mushaf di hadapan. Tangan terangkat dalam doa, wajah teduh, dan latar bernuansa malam yang damai.

Surau.co. Tawakal sering dipahami secara sederhana sebagai sikap pasrah kepada Allah. Namun, tradisi keilmuan Islam menunjukkan bahwa makna tawakal bukan sekadar pasrah. Tawakal merupakan perpaduan antara usaha maksimal dan ketenangan hati yang bersandar sepenuhnya kepada Allah. Kitab Al-Mawā‘iẓ al-‘Ushfūrīyyah karya Syaikh Muhammad bin Abdurrahman al-‘Ushfūrī menghadirkan penjelasan mendalam tentang bagaimana seorang mukmin menata hati agar tidak terjebak pada ketergantungan dunia, sekaligus tetap aktif berikhtiar.

Pada zaman sekarang, manusia hidup dalam ritme yang serbacepat. Jadwal penuh, tuntutan karier meningkat, tekanan sosial menumpuk, sementara ruang batin terasa sempit. Dalam suasana seperti ini, ajaran tawakal menjadi oase. Ketika manusia menaruh harapan kepada Allah, hati menemukan tempat kembali. Ketergantungan kepada Allah menghadirkan kekuatan yang tidak dapat diberikan dunia. Karena itulah, memahami makna tawakal dalam al-‘Ushfūrīyyah menjadi penting bagi manusia modern yang merindukan ketenangan batin.

Hakikat Tawakal dalam Tradisi Tasawuf

Banyak ulama menjelaskan bahwa tawakal merupakan kerja batin yang sangat halus. Syaikh al-‘Ushfūrī mengungkapkan sebuah prinsip:

مَنْ تَوَكَّلَ عَلَى رَبِّهِ أَغْنَاهُ اللَّهُ عَنِ النَّاسِ
“Seseorang yang bertawakal kepada Tuhannya akan dicukupi Allah sehingga tidak membutuhkan manusia.”

Pesan tersebut menunjukkan bahwa tawakal tidak membuat seseorang menjadi lemah. Sebaliknya, tawakal melahirkan kemandirian batin. Ketika hati tidak bergantung pada manusia, seseorang menjadi lebih tegar. Keputusan menjadi lebih mantap, langkah menjadi lebih terarah, serta jiwa menjadi kokoh menghadapi ujian hidup.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Konsep ini sejalan dengan firman Allah:

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barang siapa bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya.”
(QS. At-Talaq: 3)

Ayat tersebut menjadi landasan spiritual yang sangat menenteramkan. Ketika manusia merasa kekurangan, ayat ini mengajarkan bahwa kecukupan sejati datang dari Allah. Manusia memang boleh menerima bantuan, tetapi hati tidak boleh menggantungkan harapan kepada selain Allah.

Makna Tawakal: Antara Ikhtiar dan Pasrah

Sebagian orang menyalahpahami tawakal sebagai sikap menyerahkan segalanya kepada Allah tanpa usaha. Padahal, para ulama memadukan tawakal dengan ikhtiar. Imam Ahmad pernah menyampaikan sebuah ungkapan penting:

التَّوَكُّلُ عَمَلُ الْقَلْبِ وَالْأَخْذُ بِالْأَسْبَابِ عَمَلُ الْجَوَارِحِ
“Tawakal merupakan amal hati, sedangkan mengambil sebab merupakan amal anggota badan.”

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Ungkapan ini memperlihatkan bahwa tawakal tidak menghilangkan kerja. Seseorang tetap berusaha sebaik mungkin, tetapi hatinya tidak menganggap usaha sebagai sumber hasil. Hasil selalu berada di tangan Allah, dan itulah inti tawakal.

Syaikh al-‘Ushfūrī mendukung pandangan tersebut dalam salah satu nasihatnya:

لَا يَصِلُ الْعَبْدُ إِلَى حَقِيقَةِ التَّوَكُّلِ حَتَّى يَجْتَهِدَ ثُمَّ يَرْضَى
“Seorang hamba tidak akan mencapai hakikat tawakal hingga bersungguh-sungguh dalam usaha kemudian ridha atas hasilnya.”

Dalam konteks modern, konsep ini sangat relevan. Banyak orang bekerja keras, tetapi kegelisahan tetap menghantui karena hati menggantungkan kebahagiaan pada hasil. Tawakal mengajarkan bahwa kerja tetap perlu, tetapi kebahagiaan tidak boleh ditempatkan pada keberhasilan materi saja. Ketenangan hadir ketika hati rela menerima apa pun hasil yang Allah tetapkan.

Tawakal sebagai Penyangga Mental di Era Tekanan Sosial

Tekanan sosial meningkat tajam di era modern. Banyak orang merasa hidupnya harus sempurna: karier stabil, penampilan menarik, relasi harmonis, pencapaian selalu bertambah. Media sosial memperkuat tekanan itu. Setiap kegagalan tampak lebih menyakitkan, setiap pencapaian orang lain terasa menekan, dan setiap kekurangan pribadi tampak membesar.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Tawakal dapat menjadi penyangga mental yang sangat kuat. Ketika hati bergantung pada Allah, manusia tidak mudah tumbang oleh tekanan sosial. Ia tetap bekerja keras, tetapi tidak larut dalam kecemasan. Syaikh al-‘Ushfūrī menegaskan:

مَنْ عَلِمَ أَنَّ رِزْقَهُ عِنْدَ اللَّهِ اسْتَرَاحَ قَلْبُهُ
“Seseorang yang yakin bahwa rezekinya berada di sisi Allah akan memperoleh ketenangan hati.”

Ketenangan semacam ini benar-benar dibutuhkan pada zaman sekarang. Banyak orang cemas tentang masa depan: pendidikan anak, kesehatan, pekerjaan, dan kondisi ekonomi. Tawakal mengajarkan bahwa masa depan berada dalam kendali Allah, bukan dalam kendali manusia. Keyakinan ini membawa kedamaian yang tidak dapat dibeli dengan apa pun.

Tawakal dan Kesucian Hati

Tawakal bukan hanya urusan pikiran, tetapi juga urusan hati yang bersih. Hati yang penuh ambisi dunia akan sulit tawakal. Hati yang dipenuhi iri, dengki, dan pamer akan mudah guncang ketika tidak mendapatkan pujian dan keberhasilan. Tawakal justru membantu membersihkan hati dari penyakit-penyakit itu.

Al-Qur’an menggambarkan kondisi hati yang selamat:

إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.”
(QS. Asy-Syu‘ara: 89)

Hati yang bersih tidak berarti hati yang tidak punya masalah, tetapi hati yang selalu berusaha mendekat kepada Allah. Tawakal menjadi alat penting dalam membersihkan hati. Seseorang yang yakin kepada Allah tidak mudah iri kepada rezeki orang lain. Ia menerima ketentuan Allah dengan lapang, sekaligus tetap berusaha memperbaiki diri.

Banyak ulama tasawuf menekankan bahwa tawakal adalah buah dari hati yang bersih. Salah satu ungkapan mereka menyebutkan:

لَا يَتَوَكَّلُ صَادِقٌ وَقَلْبُهُ مَمْلُوءٌ بِالدُّنْيَا
“Tidak mungkin seseorang bertawakal secara jujur sementara hatinya dipenuhi cinta dunia.”

Pesan itu menunjukkan bahwa tawakal hanya mungkin tumbuh ketika dunia tidak menguasai hati. Dunia boleh berada di tangan, tetapi tidak boleh masuk ke dalam hati. Ketika hati bebas, tawakal menjadi lebih mudah diamalkan.

Tawakal dalam Kehidupan Sehari-hari

Tawakal dapat dihidupkan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, mulai dari hubungan keluarga hingga pekerjaan.

  1. Tawakal dalam Mencari Rezeki

Seseorang bekerja secara profesional dan sungguh-sungguh. Namun, ia tetap tenang menghadapi ketidakpastian. Tawakal membuatnya tidak putus asa ketika usaha gagal, dan tidak sombong ketika berhasil.

  1. Tawakal dalam Mendidik Anak

Orang tua melakukan yang terbaik: mengasuh, mengarahkan, memberi teladan. Namun, perkembangan anak diserahkan kepada Allah. Tawakal menghadirkan keteduhan dalam proses panjang itu.

  1. Tawakal dalam Relasi Sosial

Seseorang membina hubungan dengan tulus, tetapi tidak memaksa semua orang menyukainya. Hati tetap tenang karena sandarannya adalah Allah, bukan penilaian manusia.

  1. Tawakal dalam Menghadapi Ujian

Ketika sakit, kehilangan pekerjaan, atau mengalami cobaan lain, tawakal memberikan kekuatan batin. Seseorang tetap berusaha memperbaiki keadaan, tetapi hatinya yakin bahwa keputusan Allah adalah yang terbaik.

  1. Tawakal dalam Merencanakan Masa Depan

Rencana tetap dibuat, strategi tetap disusun, tetapi hati tidak terpaut pada rencana itu. Hati yakin bahwa rencana Allah selalu lebih sempurna daripada rencana manusia.

Belajar Tawakal dari Kitab al-‘Ushfūrīyyah

Kitab Al-Mawā‘iẓ al-‘Ushfūrīyyah memberikan banyak nasihat yang membantu manusia memahami tawakal secara praktis. Salah satu nasihatnya berbunyi:

التَّوَكُّلُ نُورٌ فِي الْقَلْبِ يُطْفِئُ نِيرَانَ الْهَمِّ
“Tawakal adalah cahaya dalam hati yang memadamkan api kecemasan.”

Penjelasan ini sangat selaras dengan kondisi manusia modern. Kecemasan hadir karena manusia merasa mengendalikan segala hal. Tawakal mengingatkan bahwa kontrol itu semu, sementara kendali sejati berada pada Allah. Ketika manusia menyadari hal ini, kecemasan melemah dan hati menjadi lebih damai.

Dalam nasihat lain, disebutkan:

مَنْ سَكَنَ قَلْبُهُ عَلَى رَبِّهِ لَمْ يُفْزَعْهُ شَيْءٌ
“Seseorang yang hatinya tenang bersama Tuhannya tidak akan terusik oleh apa pun.”

Ungkapan ini menggambarkan keteguhan yang lahir dari tawakal. Seseorang yang menyerahkan urusan kepada Allah akan memiliki mental yang kuat. Keteguhan semacam ini sangat dibutuhkan pada era kompetisi yang ketat.

Penutup

Tawakal bukan sekadar konsep spiritual. Makna tawakal adalah cahaya yang menerangi kehidupan. Seseorang yang bertawakal akan merasa ringan menjalani perjalanan hidup. Beban dunia tidak lagi menekan dengan berat, karena hati selalu menemukan tempat bergantung. Ketergantungan kepada Allah menjadi sumber kekuatan yang tidak pernah habis.

Kitab al-‘Ushfūrīyyah menghadirkan pesan mendalam bahwa tawakal tidak pernah memisahkan manusia dari usaha. Tawakal justru menyempurnakan usaha dengan hati yang bersandar kepada Allah. Ketika seseorang berusaha maksimal, kemudian menyerahkan hasil kepada Allah, ketenangan dan keberkahan hadir dalam setiap langkah.

Hidup menjadi lebih sederhana. Hati menjadi lebih luas. Dunia tidak lagi menguasai batin. Dan manusia menemukan kedamaian di bawah naungan ketentuan Allah. Itulah hikmah terbesar dari tawakal: hati bebas dari kecemasan, dan jiwa menemukan rumahnya yang sejati.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement