Surau.co. Hidup bersahaja sering dipahami sebagai hidup apa adanya, tidak berlebih-lebihan, dan tidak mengejar sorotan dunia. Namun dalam tradisi tasawuf, kesederhanaan tidak berhenti pada gaya hidup fisik. Kesederhanaan sejati tumbuh dari hati yang kaya, bersih dari kerak keserakahan, dan tenang karena dekat dengan Allah. Dalam kitab Al-Mawā‘iẓ al-‘Ushfūriyyah, Syaikh Muhammad bin Abdurrahman al-‘Ushfūrī memaparkan makna wara‘, sebuah akhlak agung yang menjaga manusia dari perkara syubhat, memurnikan niat, dan mengarahkan langkah menuju ridha Ilahi.
Konsep wara‘ hadir sebagai cahaya yang menuntun manusia melewati gelap gelita godaan dunia. Di era modern, godaan itu tidak hanya berupa harta dan jabatan, tetapi juga validasi sosial, popularitas digital, dan keinginan tampil sempurna di hadapan manusia. Karena itu, membicarakan wara‘ hari ini sama relevannya dengan nasihat ulama klasik di masa lalu. Artikel ini mengajak pembaca merenungi kedalaman makna wara‘ dalam Al-‘Ushfūrīyyah, sekaligus menimba pelajaran untuk kehidupan zaman sekarang.
Pengertian Wara‘ dalam Tradisi Tasawuf
Dalam banyak penjelasan ulama, wara‘ tidak hanya bermakna menjauhi yang haram, tetapi juga menghindari syubhat (perkara samar) yang dapat menodai kemurnian hati. Syaikh al-‘Ushfūrī menyampaikan sebuah kaidah penting:
وَمِنْ خِصَالِ الْوَرَعِ تَرْكُ كُلِّ مَا يُورِثُ الرِّيبَةَ فِي الْقَلْبِ
“Salah satu ciri wara‘ adalah meninggalkan setiap hal yang menimbulkan keraguan dalam hati.”
Kutipan ini menegaskan bahwa sifat wara‘ bekerja pada level batin. Seseorang tidak hanya memperhatikan status halal–haram secara hukum, tetapi juga kepekaan hati yang memandu keputusan. Di sinilah letak kemuliaan sifat wara‘: hati yang bening mampu membedakan mana yang membawa kebaikan dan mana yang bisa menjadi jalan terselubung menuju keburukan.
Konsep ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkan apa yang meragukanmu menuju apa yang tidak meragukanmu.”
(HR. Tirmidzi)
Hadits ini mencerminkan prinsip bahwa ketenangan hati harus lebih didahulukan daripada keinginan pribadi. Kejernihan hati lebih berharga daripada kenikmatan sesaat yang sering menjerumuskan.
Hati Kaya yang Tidak Bergantung pada Dunia
Sifat wara‘ tidak bermaksud menolak dunia, tetapi mengatur posisi dunia agar tidak menguasai batin. Hati yang kaya bukan berarti penuh harta, melainkan penuh ketenangan dan rasa cukup. Banyak ulama menegaskan hal ini, salah satunya Imam al-Junaid yang berkata:
مَنْ لَمْ يَسْتَغْنِ بِاللَّهِ تَعَالَى عَنِ الْخَلْقِ لَا يَصِلُ إِلَيْهِ
“Seseorang yang tidak merasa cukup dengan Allah dan masih bergantung pada makhluk, tidak akan sampai kepada-Nya.”
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan berlebihan pada selain Allah menciptakan belenggu dalam perjalanan ruhani. Wara‘ membantu manusia memutus ketergantungan itu melalui sikap hati yang waspada dan rasa cukup (qana‘ah) yang tumbuh dari dalam.
Di masa kini, banyak orang hidup dalam tekanan untuk selalu terlihat berhasil. Standar keberhasilan sering ditentukan oleh penilaian publik, bukan oleh ketenangan hati. Wara‘ menghadirkan perspektif baru: orang yang paling kaya adalah orang yang paling sedikit membutuhkan pujian manusia. Dengan sikap ini, hidup terasa lebih lapang karena hati tidak terpenjara oleh ambisi semu.
Wara‘ dan Kebersihan Hati dari Penyakit Batin
Kitab Al-‘Ushfūrīyyah banyak menyoroti sisi batin manusia. Syaikh al-‘Ushfūrī menjelaskan bahwa penyakit hati dapat merusak amal yang tampak sempurna. Wara‘ berperan sebagai penjaga agar amal tetap murni dari riya’, ujub, dan cinta dunia yang berlebihan.
Dalam salah satu nasihat disebutkan:
مَنْ لَا يَحْفَظْ قَلْبَهُ ضَاعَ عَمَلُهُ
“Seseorang yang tidak menjaga hatinya akan menyia-nyiakan amalnya.”
Pesan ini relevan bagi masyarakat era modern yang penuh distraksi. Banyak yang mengerjakan kebaikan tetapi melakukannya demi citra diri. Media sosial menjadi ruang yang menipu karena kebaikan dapat berubah menjadi ajang pamer tanpa disadari. Di sinilah makna wara‘ bekerja: seseorang selalu mengintrospeksi niat, menjaga motivasi agar tetap lurus, serta tidak mudah terjebak dalam pencitraan.
Al-Qur’an memberikan peringatan tegas tentang pentingnya menjaga hati:
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ • إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Pada hari ketika harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.”
(QS. Asy-Syu‘ara: 88–89)
Ayat ini menegaskan bahwa kebersihan hati menjadi bekal utama, bukan sekadar amal lahiriah. Wara‘ membantu manusia memelihara kesucian hati agar amal diterima dan tidak tergerus penyakit batin.
Wara‘ sebagai Jalan Hidup yang Membawa Ketenangan
Seseorang yang mengamalkan wara‘ akan merasakan ketenangan batin yang sulit digambarkan. Ketenangan ini tumbuh ketika manusia tidak lagi sibuk mengejar yang tidak perlu. Sikap wara‘ membuat hati lebih fokus pada hal-hal yang benar-benar penting: ibadah, keluarga, persahabatan, dan kontribusi untuk masyarakat.
Syaikh al-‘Ushfūrī memberikan gambaran menarik tentang hubungan wara‘ dan ketenangan:
إِذَا صَفَا الْقَلْبُ اسْتَقَامَتِ الْجَوَارِحُ
“Apabila hati menjadi jernih, anggota badan akan menjadi lurus.”
Kalimat itu menjadi petunjuk bahwa perubahan sejati berawal dari hati. Ketika hati bersih, pikiran menjadi jernih, keputusan menjadi tegas, dan perilaku menjadi lebih terarah. Salah satu keistimewaan wara‘ adalah kemampuan menghadirkan kejernihan batin yang menenangkan.
Dalam konteks modern, banyak orang mengeluhkan stres, kecemasan, dan perasaan hampa meskipun hidup dalam kelimpahan. Wara‘ membantu manusia memilih hal yang benar-benar bernilai dan menjauh dari yang merusak kedamaian batin. Kebiasaan memfilter informasi, mengurangi konsumsi hal-hal yang tidak bermanfaat, serta membatasi ambisi dunia yang berlebihan merupakan langkah praktis dalam mengamalkan wara‘ di era digital.
Menghadirkan Wara‘ dalam Kehidupan Sehari-hari
Mengamalkan wara‘ bukan berarti meninggalkan dunia. Wara‘ mengajarkan manusia untuk hidup secara bijak: mengambil seperlunya, menjauhi yang meragukan, menjaga kesucian batin, serta mengutamakan ridha Allah di atas segala hal.
Beberapa langkah praktis untuk menghidupkan wara‘ di zaman sekarang:
- Menjaga Kejujuran dalam Semua Urusan
Kejujuran merupakan buah dari hati yang bersih. Orang yang memiliki sifat wara‘ tidak tega memakan yang bukan haknya, bahkan dalam perkara kecil. Kejujuran bukan hanya urusan transaksi, tetapi juga kejujuran dalam berbicara, dalam memenuhi janji, dan dalam memegang amanah.
- Memilih Hal yang Paling Halal dan Terbaik
Wara‘ membuat manusia lebih selektif dalam mencari rezeki, konsumsi informasi, serta memilih lingkungan pertemanan. Sikap selektif ini bukan bentuk keangkuhan, tetapi upaya menjaga diri dari hal-hal yang dapat menodai hati.
- Menjaga Pandangan dan Pikiran
Di era digital, penjagaan ini semakin penting. Informasi yang masuk ke mata dan telinga sangat mempengaruhi kebersihan hati. Seseorang yang ingin menghidupkan wara‘ perlu menahan diri dari konten yang merusak atau memicu penyakit hati seperti iri, dengki, dan syahwat.
- Menguatkan Hubungan dengan Al-Qur’an
Al-Qur’an menjadi sumber cahaya yang membersihkan batin. Dengan membaca, menghafal, dan merenungkan ayat-ayat-Nya, ketenangan hati akan tumbuh, sehingga sifat wara‘ lebih mudah diamalkan.
- Menghindari Keterikatan pada Puji-pujian
Seseorang yang ingin hidup dalam naungan wara‘ harus berhati-hati dengan keinginan dipuji. Ketergantungan pada penilaian manusia sering menjadi penghalang terbesar dalam meraih ketulusan.
Penutup
Wara‘ bukan sekadar konsep moral. Wara‘ merupakan jalan hidup yang mengantarkan manusia pada ketenangan, kejernihan batin, dan kekayaan hati. Dalam dunia yang bergerak cepat dan penuh godaan, sikap ini menjadi pelita yang memandu langkah. Kitab Al-‘Ushfūrīyyah menghadirkan pelajaran mendalam bahwa kesederhanaan sejati lahir dari hati yang merasa cukup bersama Allah.
Ketika seseorang menjaga diri dari perkara meragukan, membersihkan hati dari ambisi semu, serta memilih jalan yang membawa ketenangan, kehidupan akan terasa ringan. Hati menjadi luas, pikiran menjadi jernih, dan hubungan dengan Allah semakin kuat. Inilah kekayaan sejati: hidup bersahaja, tetapi hati penuh cahaya.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
