Suaru.co. Dalam kehidupan modern yang dipenuhi hiruk-pikuk pencapaian, banyak orang mengira zuhud berarti menjauhi dunia. Anggapan seperti ini berkembang karena sebagian orang memahami kesederhanaan hanya sebagai menjauh dari harta, jabatan, atau kesenangan duniawi. Padahal, makna zuhud jauh lebih dalam. Kitab al-Mawā‘iẓ al-‘Ushfuriyyah karya Syaikh Muhammad bin Abdurrahman al-‘Ushfūrī memberikan gambaran jernih bahwa zuhud tidak berarti meninggalkan dunia, tetapi menempatkan dunia pada posisi yang tepat. Kesederhanaan hadir bukan sebagai penolakan terhadap realitas, melainkan sebagai cara hidup yang membebaskan seseorang dari dominasi nafsu.
Pembahasan mengenai zuhud selalu relevan, terutama ketika manusia semakin terjebak budaya pamer, kompetisi kosong, dan standar kebahagiaan yang ditentukan oleh materi. Ketika seseorang mulai bertanya tentang nilai hidup, ketenangan, dan keseimbangan batin, maka konsep zuhud menawarkan jawaban yang bernas. Melalui Kitab al-‘Ushfuriyyah dan pandangan para ulama, tulisan ini mengurai makna sejati kesederhanaan, sekaligus menunjukkan bahwa zuhud bukan anti dunia.
Makna Zuhud Menurut Al-Qur’an dan Hadis
Zuhud sering dipahami keliru sebagai tindakan meninggalkan seluruh kesenangan dunia. Padahal, sumber utama ajaran Islam memberikan definisi yang lebih luas dan lebih indah. Al-Qur’an mengingatkan bahwa kehidupan dunia hanya bersifat sementara, namun bukan berarti manusia dilarang menikmati karunia yang tersedia. Allah berfirman:
﴿وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا﴾
“Carilah pada apa yang diberikan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan jangan melupakan bagianmu dari dunia.” (QS. Al-Qashash: 77)
Ayat ini menegaskan keseimbangan. Seorang mukmin diarahkan untuk mengejar akhirat, namun tetap hidup secara wajar di dunia. Beramal, bekerja, dan memenuhi kebutuhan diri tidak bertentangan dengan semangat zuhud. Justru sikap seimbang ini menjadi inti dari kesederhanaan.
Hadis juga memberikan penjelasan yang memperhalus makna zuhud. Rasulullah bersabda:
«لَيْسَ الزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا بِتَحْرِيمِ الْحَلَالِ وَلَا إِضَاعَةِ الْمَالِ، وَلَكِنَّ الزُّهْدَ فِي الدُّنْيَا أَنْ لَا تَكُونَ بِمَا فِي يَدِكَ أَوْثَقَ مِمَّا فِي يَدِ اللَّهِ»
“Zuhud di dunia bukan mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, tetapi zuhud adalah tidak lebih percaya pada apa yang ada di tanganmu daripada apa yang ada di sisi Allah.”
Hadis ini menunjukkan bahwa zuhud bukan penghindaran harta, melainkan sikap batin yang tidak terikat pada harta. Manusia boleh memiliki dunia, tetapi dunia tidak boleh menguasai hati. Prinsip inilah yang menjadi fondasi kesederhanaan dalam Islam.
Zuhud dalam Kitab al-‘Ushfuriyyah: Kesederhanaan sebagai Cahaya Hati
Syaikh Muhammad al-‘Ushfūrī, melalui al-Mawā‘iẓ al-‘Ushfuriyyah, menyampaikan banyak kisah dan hikmah yang menggambarkan keindahan zuhud. Dalam salah satu nasihatnya disebutkan:
«مَنْ زَهِدَ فِي الدُّنْيَا أَضَاءَ قَلْبُهُ وَاسْتَرَاحَتْ نَفْسُهُ، وَحَلَتْ لَهُ الطَّاعَةُ»
“Barangsiapa bersikap zuhud terhadap dunia, maka hatinya menjadi terang, jiwanya beristirahat, dan ketaatan menjadi terasa manis baginya.”
Keterangan ini menunjukkan hubungan erat antara zuhud dan kondisi batin manusia. Ketika seseorang tidak lagi dikendalikan keinginan-keinginan yang berlebihan, cahaya ketenangan mulai mengisi hati. Hidup menjadi lebih lapang. Ibadah terasa ringan, bukan sebagai beban. Ketenangan seperti ini tidak dapat dibeli dengan materi sebanyak apa pun.
Syaikh al-‘Ushfūrī juga menjelaskan bahwa kesederhanaan bukan hasil paksaan, melainkan lahir dari kesadaran mendalam tentang kefanaan dunia. Beliau menyampaikan:
«إِنَّ الدُّنْيَا لَا تَسْتَحِقُّ أَنْ تُجْعَلَ هَمَّ الْعَالِمِ، فَإِنَّهَا تَزُولُ كَمَا تَزُولُ الظِّلَالُ»
“Sesungguhnya dunia tidak pantas dijadikan perhatian utama seorang berakal, karena dunia hilang sebagaimana lenyapnya bayangan.”
Gambaran “bayangan” menunjukkan bahwa dunia bukan musuh, tetapi sesuatu yang tidak layak dijadikan tujuan akhir. Dunia bagaikan alat; jika digunakan untuk kebaikan, maka alat itu mengantarkan pada kedamaian. Sebaliknya, jika dijadikan tujuan utama, maka manusia hanya mengejar sesuatu yang terus bergerak menjauh seperti bayangan.
Kesederhanaan Sebagai Jalan Ketenangan: Pelajaran Ulama Klasik
Para ulama klasik memberikan definisi zuhud yang membantu manusia memahami konsep ini secara praktis. Imam Ahmad bin Hanbal, misalnya, menyampaikan:
«الزُّهْدُ قِصَرُ الْأَمَلِ، وَلَيْسَ أَكْلُ الْغَلِيظِ وَلُبْسُ الْخَشِنِ»
“Zuhud adalah pendek angan-angan, bukan makan makanan keras atau memakai pakaian kasar.”
Pernyataan ini menjelaskan bahwa kesederhanaan tidak ditentukan oleh gaya makanan atau pakaian. Yang terpenting ialah bagaimana seseorang menata harapan. Semakin jauh angan-angan, semakin berat hati mengejar dunia. Sebaliknya, semakin realistis harapan, semakin mudah manusia merasakan ketenangan.
Imam Al-Ghazali juga memberikan gambaran mendalam tentang zuhud. Beliau mengatakan:
«لَيْسَ الزُّهْدُ أَنْ تَخْلُوَ يَدَاكَ مِنَ الدُّنْيَا، وَلَكِنَّ الزُّهْدَ أَنْ يَخْلُوَ قَلْبُكَ عَنِ الدُّنْيَا»
“Zuhud bukan ketika tangan kosong dari dunia, tetapi ketika hati kosong dari dunia.”
Pendapat ini menggarisbawahi bahwa seseorang dapat menjadi pedagang, pejabat, akademisi, atau pengusaha, tetapi tetap memiliki sifat zuhud selama hatinya tidak diperbudak oleh dunia. Kesederhanaan hadir dari cara seseorang memaknai dunia, bukan dari kemiskinan atau keterpaksaan.
Zuhud Sebagai Sikap Bukan Status: Relevansi dalam Kehidupan Modern
Dalam kehidupan modern, banyak orang terjebak pada standar duniawi: jabatan harus tinggi, rumah harus besar, gaji harus besar, dan semua itu digunakan untuk menunjukkan pencapaian. Ketika standar seperti ini menjadi alat penilaian diri, lahirlah kecemasan dan kelelahan batin. Pada titik inilah semangat zuhud menghadirkan kelegaan.
Zuhud tidak meminta seseorang meninggalkan pekerjaan. Justru nilai zuhud mengarahkan manusia bekerja secara bertanggung jawab tanpa terjerat ambisi berlebihan. Ketika seseorang bekerja dengan niat ibadah, dunia menjadi ladang amal. Sebaliknya, ketika pekerjaan dikejar hanya untuk status, hati menjadi resah.
Kesederhanaan juga tidak bertentangan dengan kemajuan teknologi. Manusia tetap dapat memanfaatkan gawai canggih, kendaraan modern, atau fasilitas masa kini, selama penggunaannya tidak mendorong kesombongan atau ketergantungan berlebihan. Kehidupan modern justru menuntut keseimbangan baru: memanfaatkan dunia, tetapi tidak larut dalam arusnya.
Pelajaran Praktis Zuhud dari Kitab al-‘Ushfuriyyah
Zuhud dapat dipraktikkan secara sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Kitab al-‘Ushfuriyyah menawarkan banyak nasihat yang dapat diterapkan secara langsung. Hikmah berikut misalnya:
«أَكْثِرُوا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ، فَإِنَّ ذِكْرَهُ يَنْزِعُ حُبَّ الدُّنْيَا مِنَ الْقُلُوبِ»
“Perbanyaklah mengingat Allah, karena zikir dapat mencabut cinta dunia dari hati.”
Zikir bukan sekadar ritual, tetapi cara menata prioritas. Ketika manusia sibuk mengingat Pencipta, dunia tidak lagi menempati posisi tertinggi. Selain itu, Syaikh al-‘Ushfūrī menganjurkan sikap syukur yang konsisten agar manusia tidak menjadi budak keinginan. Kesyukuran membatasi ambisi dan menenangkan hati.
Kesederhanaan juga dapat diwujudkan melalui pengendalian diri. Bukan berarti menolak kenikmatan, tetapi menikmatinya secara wajar. Makan secukupnya, membeli barang sesuai kebutuhan, menjaga gaya hidup tidak berlebihan, semuanya menjadi bagian dari praktik zuhud yang membumi.
Zuhud Bukan Anti Dunia, Tetapi Cara Memandang Dunia
Pada akhirnya, zuhud bukan berarti hidup miskin. Zuhud bukan penolakan dunia. Zuhud adalah cara memaknai dunia tanpa terperangkap di dalamnya. Seseorang dapat memiliki harta, namun hatinya tetap terikat pada Allah. Seseorang dapat beraktivitas dalam dunia modern, namun tetap menjaga nilai batin. Kesederhanaan menjadi cahaya yang menuntun seseorang menuju kebijaksanaan.
Pandangan ini sejalan dengan pesan Syaikh al-‘Ushfūrī, ulama salaf, dan sumber utama Islam. Ketiganya memberikan gambaran bahwa kesederhanaan dapat dijalani siapa pun, di masa kapan pun. Dunia memang indah, tetapi ketergantungan terhadap dunia dapat merenggut ketenangan. Zuhud mengembalikan manusia pada keseimbangan.
Penutup
Kesederhanaan bukan kekurangan. Kesederhanaan adalah kecukupan. Ketika hati merasa cukup, manusia dapat menikmati dunia tanpa terikat padanya. Jalan zuhud mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak terletak pada banyaknya yang dimiliki, tetapi pada tenangnya hati dalam menerima karunia.
Zuhud tidak meminta manusia lari dari dunia. Zuhud justru memuliakan manusia dengan menunjukkan bahwa dunia hanyalah titipan. Ketika seseorang menyadari hal itu, dunia akan terasa ringan, hidup terasa lapang, dan perjalanan menuju Allah menjadi lebih tenang.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
