Surau.co. Pada setiap zaman, manusia selalu berhadapan dengan penyakit hati yang mampu menggerogoti amal. Penyakit hati bukan sekadar kelemahan emosional, tetapi kondisi batin yang merusak nilai ibadah, merampas ketenangan hidup, dan memadamkan cahaya spiritual. Dalam tradisi tasawuf dan pendidikan moral Islam, konsep penyakit hati sering dikaitkan dengan peringatan agar seseorang menjaga kemurnian niat. Kitab Al-Mawā‘iẓ al-‘Ushfūriyyah karya Syaikh Muhammad bin Abdurrahman al-‘Ushfūrī menghadirkan banyak nasihat mendalam tentang bagaimana penyakit hati muncul, tumbuh, dan akhirnya merusak amal seseorang.
Frasa kunci “penyakit hati yang menggerogoti amal” relevan dibahas kembali pada era modern. Media sosial, persaingan karier, dan budaya pamer membuka banyak celah yang menjadikan penyakit hati tumbuh tanpa disadari. Karena itu, refleksi dari kitab klasik seperti Al-‘Ushfūrīyyah menjadi penting untuk menjaga kejernihan jiwa. Al-Qur’an memberi peringatan keras tentang penyakit hati:
﴿ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضٗا ﴾
“Dalam hati mereka terdapat penyakit, lalu Allah menambah penyakit itu.” (QS. Al-Baqarah: 10)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa penyakit hati memiliki konsekuensi spiritual yang berat. Siapa yang membiarkannya berkembang akan kehilangan cahaya amal, bahkan bisa kehilangan keikhlasan dalam beribadah.
Hakikat Penyakit Hati dalam Perspektif Al-‘Ushfūrīyyah
Penyakit Hati Sebagai Kegelapan yang Menutup Cahaya Amal. Kitab Al-‘Ushfūrīyyah menjelaskan penyakit hati sebagai kegelapan batin yang menghalangi seseorang dari cahaya petunjuk. Syaikh al-‘Ushfūrī menggambarkan penyakit hati dengan ungkapan:
“ظُلْمَةُ الْقَلْبِ أَشَدُّ مِنْ ظُلْمَةِ اللَّيْلِ، وَلَا يُزِيلُهَا إِلَّا نُورُ التَّقْوَى.”
“Kegelapan hati lebih pekat daripada gelapnya malam, dan cahaya takwa saja yang mampu menghilangkannya.”
Ungkapan tersebut menjelaskan bahwa penyakit hati tidak sederhana. Kegelapannya lebih pekat dibandingkan gelap malam karena mengganggu kesadaran, mengacaukan akhlak, dan menjauhkan seseorang dari Allah. Penyakit hati menutupi cahaya amal, menjadikan ibadah kehilangan ruh dan menyebabkan perilaku menyimpang meski tubuh tetap melakukan aktivitas religius.
Al-‘Ushfūrī menegaskan bahwa seseorang yang dikuasai penyakit hati akan sulit menerima nasihat. Bahkan ketika cahaya kebenaran hadir, kegelapan batin membuat kebenaran itu tampak seperti ancaman. Keterangan ini menunjukkan bahwa penyakit hati bukan masalah kecil, tetapi musuh yang dapat mencuri keseluruhan hidup spiritual manusia.
Akar Penyakit Hati: Keangkuhan dan Kecanduan Pujian
Penyakit hati tumbuh dari dua akar besar: keangkuhan dan kecanduan pujian. Al-‘Ushfūrī memberikan gambaran tegas:
“مَا هَلَكَ الْعُبَّادُ إِلَّا بِحُبِّ الْمَدْحِ وَالْكِبْرِ.”
“Tidak ada yang menghancurkan para ahli ibadah kecuali cinta pujian dan kesombongan.”
Ungkapan tersebut menjelaskan bahwa penyakit hati sering muncul dari ruang yang tampak mulia. Antusiasme beribadah bisa berubah menjadi perangkap ketika dilakukan untuk mendapat pujian. Keangkuhan membuat seseorang merasa lebih suci dibandingkan orang lain. Sikap seperti ini merusak amal dari dalam, bahkan lebih cepat daripada dosa yang dilakukan secara lahiriah.
Rasulullah ﷺ mengingatkan bahaya kesombongan dengan tegas:
“لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ.”
“Tidak akan masuk surga seseorang yang memiliki kesombongan sebesar biji atom di hatinya.” (HR. Muslim)
Nasehat ini menjelaskan bahwa penyakit hati tidak boleh dianggap ringan. Keangkuhan sehalus apa pun dapat menghancurkan pondasi amal.
Jenis-Jenis Penyakit Hati yang Menggerogoti Amal
- Riyaa’: Amal yang Berlapis Kepalsuan
Riyaa’ adalah penyakit hati yang membuat amal kehilangan keikhlasan. Seseorang melakukan ibadah bukan untuk mencari ridha Allah, tetapi agar terlihat baik oleh manusia. Kitab Al-‘Ushfūrīyyah memberi peringatan:
“الرِّيَاءُ سَرِيقَةٌ خَفِيَّةٌ تَسْرِقُ ثَوَابَ الْعِبَادَةِ.”
“Riyaa’ adalah pencurian tersembunyi yang mencuri pahala ibadah.”
Keterangan tersebut mengisyaratkan bahwa riyaa’ bukan sekadar penyakit ringan, tetapi pencuri yang bekerja diam-diam. Seseorang mungkin merasa amalnya semakin banyak, padahal pahala terus berkurang karena niat telah terkoyak oleh dorongan tampil suci.
Al-Qur’an memberikan teguran halus:
﴿ فَوَيْلٞ لِّلۡمُصَلِّينَ ٱلَّذِينَ هُمۡ يُرَآءُونَ ﴾
“Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang berbuat riyaa’.” (QS. Al-Ma‘ūn: 4–6)
Ayat ini menegaskan bahwa riyaa’ menggerogoti ibadah paling sakral, yaitu shalat. Ketika riyaa’ masuk, shalat tidak lagi menjadi dialog hamba dengan Tuhan, tetapi panggung bagi ego.
- Hasad: Api yang Membakar Ketentraman
Hasad atau iri hati merupakan penyakit yang menggerogoti ketenangan jiwa sekaligus merusak amal. Hasad membuat seseorang tidak tenang melihat nikmat yang Allah berikan kepada orang lain. Al-‘Ushfūrī memberikan nasihat penting:
“الْحَسَدُ نَارٌ تَأْكُلُ صَاحِبَهَا قَبْلَ أَنْ تَأْكُلَ غَيْرَهُ.”
“Hasad adalah api yang membakar pelakunya sebelum membakar orang lain.”
Ungkapan ini menunjukkan bahwa hasad menyiksa pelakunya terlebih dahulu. Hati penuh racun sehingga tidak bisa menikmati nikmat apa pun. Hasad memutus persaudaraan, memupuk kebencian, dan meruntuhkan akhlak.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“لَا تَحَاسَدُوا…”
“Jangan saling hasad…” (HR. Muslim)
Larangan ini mengingatkan bahwa hasad tidak memiliki manfaat apa pun, bahkan merusak tatanan sosial dan spiritual.
- Ujub: Kegembiraan Palsu atas Kehebatannya Sendiri
Ujub adalah penyakit hati ketika seseorang merasa kagum terhadap amal atau kemampuannya sendiri. Perasaan itu muncul tanpa menyadari bahwa seluruh kebaikan berasal dari Allah. Al-‘Ushfūrī memperingatkan:
“الْعُجْبُ يُفْسِدُ الْعَمَلَ كَمَا يُفْسِدُ الْخَلُّ الْعَسَلَ.”
“Ujub merusak amal sebagaimana cuka merusak madu.”
Perumpamaan ini sangat kuat. Cuka yang bercampur madu akan menghilangkan rasa manisnya. Begitu juga ujub yang masuk ke dalam ibadah. Amal mungkin tampak besar, tetapi manfaat spiritualnya hilang.
Imam al-Ghazali memperjelas:
“مَنْ رَأَى نَفْسَهُ خَيْرًا فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْهَلَاكِ.”
“Seseorang yang memandang dirinya lebih baik adalah bagian dari golongan yang binasa.”
Mengobati Penyakit Hati dengan Nasihat Al-‘Ushfūrīyyah
Pengobatan pertama penyakit hati adalah memperkuat takwa. Takwa menjadi cahaya yang menyinari batin, sehingga kegelapan penyakit hati dapat ditekan. Al-‘Ushfūrī menegaskan:
“مَنْ جَعَلَ التَّقْوَى ثَوْبَهُ أَظْهَرَ اللَّهُ جَمَالَ قَلْبِهِ.”
“Siapa yang menjadikan takwa sebagai pakaiannya, Allah akan menampakkan keindahan hatinya.”
Ungkapan ini menjelaskan bahwa ketakwaan bukan sekadar ibadah ritual, tetapi suasana hati yang membawa kejujuran, kesederhanaan, dan kerendahan. Seseorang yang menjaga takwa akan mampu mencurigai niatnya sendiri dan memperbaikinya secara bertahap.
Selain itu, kejujuran batin menjadi fondasi pemurnian. Ketika seseorang jujur terhadap dirinya sendiri, penyakit hati tidak mudah tumbuh. Kejujuran batin membuat seseorang dapat melihat kekurangan tanpa rasa malu dan memperbaikinya tanpa menunda.
Membiasakan Muhasabah: Menyaring Niat dan Emosi
Muhasabah atau refleksi diri adalah obat yang sangat ditekankan dalam kitab Al-‘Ushfūrīyyah. Syaikh al-‘Ushfūrī memberikan pesan:
“مَنْ لَمْ يُحَاسِبْ نَفْسَهُ كَثُرَ خَطَؤُهُ.”
“Seseorang yang tidak bermuhasabah akan banyak kesalahannya.”
Muhasabah membantu seseorang menilai niat sebelum melakukan amal. Dengan demikian, penyakit hati dapat terdeteksi lebih awal. Muhasabah juga memperkuat rasa syukur sehingga seseorang tidak mudah hasad ketika melihat nikmat orang lain.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ…”
“Orang cerdas adalah yang mampu mengoreksi dirinya…” (HR. Tirmidzi)
Muhasabah bukan sekadar memikirkan dosa, tetapi membangun kedewasaan spiritual sehingga penyakit hati tidak berkembang menjadi kerusakan yang lebih besar.
Penutup
Penyakit hati yang menggerogoti amal tidak pernah berhenti menghantui manusia. Setiap zaman memberi tantangan baru, tetapi cahaya nasihat para ulama selalu memberi arah. Kitab Al-‘Ushfūrīyyah menghadirkan pesan yang membangunkan kesadaran bahwa amal tidak cukup dilakukan, tetapi harus dirawat dari dalam. Seseorang yang menjaga niat, memelihara kejujuran batin, dan rajin bermuhasabah akan menemukan ketenangan yang lebih dalam.
Pada akhirnya, penyembuhan hati selalu dimulai dari keberanian untuk melihat kegelapan diri sendiri. Begitu cahaya itu menyala, amal akan kembali hidup, jiwa kembali jernih, dan jalan menuju Allah menjadi terasa dekat.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
