Surau.co. Membersihkan hati atau tazkiyah al-nafs menjadi kebutuhan utama bagi manusia modern yang hidup dalam tekanan, gelombang informasi, serta rutinitas yang melelahkan. Upaya ini tidak hanya menyangkut aspek spiritual, tetapi juga berkaitan dengan kesehatan emosional dan mental. Di tengah kesibukan digital yang menyeret banyak orang ke dalam kegelisahan, metode tazkiyah al-nafs menghadirkan jalan pulang: kembali ke kejernihan batin. Kitab Al-Mawā‘iẓ al-‘Ushfuriyyah karya Syaikh Muhammad bin Abdurrahman al-‘Ushfūrī menyuguhkan nasihat-nasihat mendalam tentang cara membersihkan hati. Nasihat tersebut relevan untuk dibaca ulang, karena mengajak seseorang menata batin dengan langkah yang sederhana namun efektif.
Dalam artikel ini, pembahasan mengenai tazkiyah al-nafs dipadukan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, hadis Nabi Muhammad ﷺ, serta keterangan ulama klasik yang memperkaya perspektif. Semuanya disajikan dengan gaya akademik populer yang mengalir, agar pesan-pesan spiritual mudah dipahami dan terasa dekat dengan kehidupan pembaca.
Tazkiyah al-Nafs: Jalan Awal Membersihkan Hati
Tazkiyah al-nafs menjadi fondasi utama bagi orang yang ingin hidup tenang dan penuh keberkahan. Konsep ini tidak hanya mengarahkan seseorang untuk menghapus sifat buruk, tetapi juga mengajak menumbuhkan potensi kebaikan dalam diri. Al-Qur’an memberikan jaminan bahwa keberuntungan terbesar hanya dimiliki oleh orang yang berhasil membersihkan jiwanya. Allah berfirman:
﴿قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا﴾
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya.” (QS. Asy-Syams: 9)
Ayat ini menunjukkan bahwa keberhasilan hidup tidak terletak pada harta atau kedudukan, tetapi pada kejernihan hati. Seseorang yang hatinya bersih akan lebih mudah menerima petunjuk, menghadapi cobaan, serta merasakan ketenangan. Oleh karena itu, tazkiyah al-nafs bukan sekadar ibadah tambahan, tetapi kebutuhan spiritual yang mendasar.
Syaikh al-‘Ushfūrī memberikan nasihat penting dalam Al-Mawā‘iẓ al-‘Ushfuriyyah:
«مَنْ لَمْ يُصَفِّ نَفْسَهُ مِنَ الشَّهَوَاتِ لَمْ يَجِدْ حَلَاوَةَ الطَّاعَاتِ»
“Orang yang tidak membersihkan dirinya dari syahwat tidak akan menemukan manisnya ketaatan.”
Nasihat ini mendorong seseorang untuk memperbaiki batin dengan kesungguhan. Kebersihan hati tidak hanya membuka pintu ketaatan, tetapi juga menumbuhkan rasa nikmat saat beribadah. Dalam konteks kehidupan modern, nasihat ini mengajak seseorang mengurangi ketergantungan pada kesenangan dunia yang berlebihan, seperti hobi konsumtif, hiburan tak terbatas, atau popularitas digital. Jiwa akan lebih ringan ketika tidak dibebani banyak keinginan.
Niat yang Ikhlas sebagai Dasar Utama Tazkiyah
Membersihkan hati tidak mungkin berhasil tanpa niat yang ikhlas. Niat menjadi fondasi utama bagi setiap amal, sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ dalam hadis yang sangat terkenal:
«إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ»
“Sesungguhnya setiap amal bergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini mengajak pembaca menata orientasi spiritual sebelum melangkah. Proses tazkiyah al-nafs harus dimulai dengan keinginan tulus untuk mencari ridha Allah, bukan sekadar mengikuti tren spiritual atau ingin dipuji karena terlihat religius. Niat yang lurus akan membuat seseorang lebih konsisten dalam membersihkan hati, karena jiwanya terarah pada tujuan yang mulia.
Syaikh al-‘Ushfūrī mengingatkan dalam nasihatnya:
«صَدْقُ النِّيَّةِ أَصْلُ النَّجَاحِ فِي سُلُوكِ الطَّرِيقِ»
“Kejujuran niat menjadi dasar keberhasilan dalam menjalani jalan spiritual.”
Nasihat tersebut menegaskan bahwa langkah awal tazkiyah harus bersumber dari hati yang jujur. Seseorang perlu memeriksa niatnya secara berkala, karena hati mudah berubah oleh faktor duniawi. Proses ini membutuhkan ketulusan, keteguhan, dan kesabaran agar hati tetap terjaga dari kepentingan-kepentingan dunia yang mengaburkan tujuan spiritual.
Mengendalikan Nafsu: Inti dari Tazkiyah al-Nafs
Dalam tradisi tasawuf dan akhlak Islam, nafsu menjadi salah satu rintangan terbesar yang harus dikendalikan. Nafsu dapat menyeret seseorang ke dalam kesombongan, kemarahan, iri hati, atau cinta dunia berlebihan. Karena itu, mengendalikan nafsu menjadi inti dari tazkiyah al-nafs. Al-Qur’an mengingatkan:
﴿وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ﴾
“Adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan dirinya dari keinginan hawa nafsu, maka surga menjadi tempat kembali baginya.” (QS. An-Nazi‘at: 40–41)
Ayat tersebut menekankan bahwa keberhasilan spiritual ditentukan oleh kemampuan seseorang menjinakkan keinginan-keinginan yang tidak sehat. Nafsu yang tidak terkendali dapat menggelapkan hati, sehingga cahaya petunjuk sulit masuk.
Syaikh al-‘Ushfūrī mempertegas dalam Al-Mawā‘iẓ al-‘Ushfuriyyah:
«عِلاجُ النَّفْسِ فِي مُخَالَفَةِ هَوَاهَا»
“Obat bagi jiwa terdapat dalam melawan hawa nafsunya.”
Nasihat ini mengajak seseorang untuk berlatih secara bertahap. Melawan nafsu tidak mungkin dilakukan sekaligus. Seseorang perlu memulai dari hal kecil, seperti mengontrol emosi, menghindari pembicaraan yang tidak bermanfaat, serta menahan diri dari perilaku impulsif dalam media sosial atau kehidupan sehari-hari. Latihan yang konsisten akan menguatkan karakter dan memudahkan proses tazkiyah.
Dzikir dan Muhasabah sebagai Jalan Membersihkan Hati
Tazkiyah al-nafs tidak hanya berbicara tentang melawan nafsu, tetapi juga mengisi hati dengan amalan yang menguatkan. Dzikir dan muhasabah menjadi dua amalan pokok yang mampu membersihkan hati dari kegelapan. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
﴿أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ﴾
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra‘d: 28)
Ayat ini menjelaskan bahwa hati menemukan ketenangan melalui dzikir. Ketika seseorang konsisten dalam berdzikir, hatinya akan terasa lapang, pikirannya lebih jernih, dan emosinya lebih stabil. Proses ini penting untuk menghilangkan noda-noda batin seperti iri, dengki, dan kesombongan.
Syaikh al-‘Ushfūrī memberikan petunjuk dalam kitabnya:
«مَنْ أَكْثَرَ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ انْفَتَحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْهُدَى»
“Orang yang memperbanyak dzikir kepada Allah akan terbuka baginya pintu-pintu petunjuk.”
Selain dzikir, muhasabah atau evaluasi diri menjadi langkah penting dalam membersihkan hati. Imam al-Ghazali memberikan nasihat dalam Ihya’ Ulumuddin:
«عَلَى الْعَاقِلِ أَنْ يَكُونَ عَلَى نَفْسِهِ رَقِيبًا»
“Seorang yang berakal seharusnya selalu mengawasi dirinya sendiri.”
Muhasabah membantu seseorang mengenali kekurangan, memperbaiki kesalahan, dan menata kehidupan spiritual. Melalui muhasabah, jiwa lebih mudah menerima perubahan karena proses evaluasi dilakukan dengan jujur dan mendalam.
Mengurangi Cinta Dunia untuk Menjernihkan Batin
Cinta dunia sering menjadi penghalang utama bagi kejernihan hati. Banyak orang terseret oleh keinginan untuk terlihat sukses secara materi, padahal ketenangan batin tidak dapat dibeli dengan harta. Tazkiyah al-nafs mengajarkan seseorang untuk bersikap proporsional: mencintai dunia secukupnya, tetapi tidak menempatkannya sebagai tujuan utama.
Rasulullah ﷺ mengingatkan:
«حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ»
“Cinta dunia merupakan pangkal setiap kesalahan.”
Hadis tersebut tidak melarang seseorang bekerja atau memiliki harta, tetapi memberikan peringatan agar hati tidak tenggelam dalam ambisi duniawi. Ketika hati terlalu terikat pada dunia, seseorang mudah gelisah, iri, marah, dan kecewa. Maka, mengurangi cinta dunia menjadi langkah penting dalam membersihkan jiwa.
Syaikh al-‘Ushfūrī memberikan nasihat lembut:
«طَهَارَةُ الْقَلْبِ فِي قِلَّةِ التَّعَلُّقِ بِالدُّنْيَا»
“Kesucian hati terletak pada sedikitnya keterikatan kepada dunia.”
Sikap zuhud dengan tidak menolak dunia, tetapi tidak terlalu mengejar dunia. Sikap ini membuat hati lebih ringan, pikiran lebih tenang, dan hidup lebih terarah.
Penutup
Membersihkan hati adalah pekerjaan satu hari perjalanan seumur hidup. Tazkiyah al-nafs mengajak seseorang berjalan perlahan, menata niat, mengendalikan nafsu, memperbanyak dzikir, serta mengurangi cinta dunia. Setiap langkah kecil menghasilkan perubahan besar dalam kehidupan batin.
Seseorang merasakan ketenangan ketika hatinya bersih. Cahaya petunjuk mudah memasuki jiwa yang lapang, lalu mengubah cara pandang, sikap, serta relasi dengan sesama. Semoga perjalanan membersihkan hati menjadi pintu menuju kedamaian hidup yang hakiki, sebagaimana firman Allah:
﴿يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ﴾
“Pada hari itu, tidak bermanfaat harta dan anak-anak, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu‘ara: 88–89).
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
