Surau.co. Di tengah derasnya arus informasi digital, para pencari ilmu menghadapi tantangan baru yang tidak pernah dibayangkan oleh ulama klasik. Informasi hadir dalam hitungan detik, tetapi kedalaman pemahaman tidak selalu mengiringinya. Pada saat seperti ini, adab penuntut ilmu menjadi kunci yang menentukan kualitas seseorang dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan pengetahuan. Kitab Al-Mawā‘iẓ al-‘Ushfuriyyah karya Syaikh Muhammad bin Abdurrahman al-‘Ushfūrī memberikan banyak nasihat berharga tentang etika mencari ilmu. Nasihat tersebut relevan untuk dibaca ulang di era digital, ketika kecepatan akses informasi sering kali tidak diiringi kedewasaan adab.
Artikel ini membahas etika penuntut ilmu dalam dunia digital, mengalir dalam gaya akademik populer, disertai kutipan ayat Al-Qur’an, hadis, serta teks ulama klasik untuk memperkuat argumentasi.
Mengapa Adab Menjadi Fondasi Utama dalam Pencarian Ilmu?
Setiap pencari ilmu membutuhkan adab agar ilmu yang diperoleh membawa keberkahan. Para ulama selalu menekankan bahwa adab menjadi pintu masuk bagi cahaya pengetahuan. Tanpa adab, ilmu mudah berubah menjadi petaka, bukan petunjuk. Di era digital, adab semakin penting karena seseorang dapat memegang perangkat kecil yang membuka akses pengetahuan besar tanpa bimbingan langsung.
Syaikh al-‘Ushfūrī pernah mengingatkan dalam kitab Al-Mawā‘iẓ al-‘Ushfuriyyah:
«مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ بِغَيْرِ أَدَبٍ فَقَدْ اقْتَرَبَ مِنَ الْعَطَبِ»
“Barang siapa mencari ilmu tanpa adab, maka dirinya sedang mendekati kehancuran.”
Nasihat ini menekankan bahwa perjalanan menuntut ilmu bukan sekadar mengumpulkan informasi, tetapi membentuk karakter. Ketika seseorang menuntut ilmu di era digital, dirinya membutuhkan kesungguhan untuk mengendalikan diri, menjaga niat, serta mengelola emosi dalam menyerap berbagai informasi. Ilmu akan memuliakan seseorang jika adab mengiringi proses pencariannya.
Al-Qur’an juga menekankan bahwa Allah meninggikan derajat orang berilmu yang beradab. Firman-Nya:
﴿يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ﴾
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadalah: 11)
Ayat ini menunjukkan bahwa derajat seseorang tidak hanya ditentukan oleh jumlah pengetahuan, tetapi oleh keyakinan, penghormatan, dan kerendahan hati yang menyertai proses belajar.
Menjaga Niat dalam Belajar di Tengah Hiruk-Pikuk Media Sosial
Niat menjadi fondasi utama bagi penuntut ilmu. Namun, di era digital, niat sering terancam oleh dorongan untuk terlihat pintar, ingin mendapat pujian, atau ingin cepat dikenal. Dalam situasi seperti ini, penuntut ilmu harus kembali kepada pesan Nabi Muhammad ﷺ:
«إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ»
“Sesungguhnya setiap amal tergantung niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis tersebut menegaskan bahwa kualitas amal akan dinilai berdasarkan orientasi batin seseorang. Pencari ilmu harus mengarahkan niat kepada keridaan Allah, bukan kepada popularitas semu yang sering menjadi jebakan dunia digital.
Syaikh al-‘Ushfūrī memberikan peringatan penting dalam Al-Mawā‘iẓ al-‘Ushfuriyyah:
«طَلَبُ الْمَجْدِ يُفْسِدُ طَلَبَ الْعِلْمِ»
“Keinginan mencari kemuliaan dunia dapat merusak pencarian ilmu.”
Melalui nasihat ini, pembaca dapat memahami bahwa platform digital harus digunakan dengan kebijaksanaan. Media sosial bisa menjadi sarana menyebarkan ilmu, tetapi sekaligus dapat menjadi godaan yang menggoyahkan niat. Oleh karena itu, penuntut ilmu harus menjaga hatinya agar tetap stabil, tenang, dan terarah.
Memfilter Informasi: Adab Baru dalam Ruang Digital
Di era klasik, penuntut ilmu harus memilih guru yang tepat. Di era digital, penuntut ilmu dituntut untuk menyeleksi informasi dengan sangat cermat. Informasi yang tersebar cepat tidak selalu benar, bahkan terkadang menyesatkan. Maka, adab baru dalam ruang digital adalah kemampuan memfilter sumber, memverifikasi kebenaran, serta menghindari berita palsu.
Allah memberikan peringatan dalam Al-Qur’an:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila orang fasik datang kepadamu membawa sebuah berita, maka telitilah kebenarannya.” (QS. Al-Hujurat: 6)
Ayat ini sangat relevan untuk era digital, ketika siapapun bisa menyebarkan berita tanpa tanggung jawab. Penuntut ilmu harus mengedepankan prinsip kehati-hatian sebelum menerima atau menyebarkan informasi. Verifikasi menjadi bagian penting dari adab digital.
Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad memberikan nasihat dalam Nashaih ad-Diniyyah:
«التَّثَبُّتُ مِنْ أَسَاسَاتِ نَجَاحِ الطَّالِبِ»
“Ketelitian merupakan fondasi kesuksesan seorang penuntut ilmu.”
Nasihat ini sangat cocok dengan kehidupan digital masa kini. Ketelitian dalam memilih bacaan, video, guru online, dan referensi akan menentukan kualitas ilmu yang diterima. Dengan ketelitian, pencari ilmu akan terhindar dari kesalahan pemahaman.
Menghormati Guru di Era Kelas Virtual
Interaksi langsung dengan guru merupakan keistimewaan dalam tradisi keilmuan Islam. Namun, di era digital, sebagian proses belajar beralih ke ruang virtual. Perubahan ini tidak boleh mengurangi penghormatan kepada guru. Meski tidak bertemu fisik, penghormatan tetap diwujudkan dengan cara sopan dalam bertanya, tidak memotong penjelasan, tidak mempermalukan guru, dan menjaga kesopanan dalam forum digital.
Syaikh al-‘Ushfūrī berkata dalam Al-Mawā‘iẓ al-‘Ushfuriyyah:
«حُرْمَةُ الْمُعَلِّمِ مِنْ حُرْمَةِ الْعِلْمِ»
“Menghormati guru merupakan bagian dari menghormati ilmu.”
Nasihat ini sangat penting untuk era digital, ketika sebagian pelajar merasa bebas mengkritik guru secara terbuka tanpa adab. Ruang komentar dan grup belajar seharusnya menjadi tempat penguatan adab, bukan ruang mempertontonkan kesombongan intelektual.
Imam Nawawi juga mengingatkan dalam Tahdzib al-Asma’:
«التَّوَاضُعُ فِي حَقِّ الشَّيْخِ سَبَبٌ لِبَرَكَةِ الْعِلْمِ»
“Kerendahan hati kepada guru menjadi sebab turunnya keberkahan ilmu.”
Ketika seseorang menghadirkan kerendahan hati dalam ruang digital, ilmunya akan lebih mudah meresap dan memberikan manfaat lebih luas.
Mengatur Waktu Belajar di Era yang Penuh Distraksi
Era digital menghadirkan distraksi dalam berbagai bentuk. Notifikasi, media sosial, dan hiburan tanpa batas dapat mengalihkan fokus penuntut ilmu. Karena itu, adab penting lainnya adalah kemampuan mengatur waktu. Penuntut ilmu harus menetapkan jadwal belajar yang konsisten, membatasi penggunaan gawai, serta menjaga lingkungan belajar agar tenang.
Syaikh al-‘Ushfūrī memberikan nasihat:
«العِلْمُ لَا يَنْفَتِحُ لِقَلْبٍ مُشْتَغِلٍ بِالتَّشَتُّتِ»
“Ilmu tidak akan terbuka bagi hati yang sibuk dengan banyak gangguan.”
Nasihat ini menegaskan bahwa fokus menjadi kunci keberhasilan belajar. Di era digital, fokus harus dijaga dengan disiplin diri. Pencari ilmu perlu menetapkan momen khusus untuk membaca kitab, mendengarkan kajian, atau menulis catatan reflektif agar dirinya tidak terjebak dalam arus distraksi.
Menjaga Lisan Digital: Adab dalam Berkomentar dan Berpendapat
Adab penuntut ilmu di era digital juga mencakup etika dalam berkomentar dan berdiskusi. Dunia digital sering memancing perdebatan yang tidak produktif. Seorang penuntut ilmu harus berhati-hati dalam menggunakan kata-kata, menjaga sopan santun, serta menghindari komentar yang menyakitkan.
Nabi Muhammad ﷺ memberikan pedoman penting:
«مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ»
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari)
Pedoman ini sangat tepat untuk interaksi digital masa kini. Jika seorang penuntut ilmu mampu menjaga lisannya, dirinya akan terhindar dari dosa, debat kusir, dan kemarahan tidak perlu. Adab ini menjaga kehormatan diri sekaligus menjaga suasana diskusi agar tetap sehat.
Penutup
Di era digital yang penuh peluang sekaligus tantangan, penuntut ilmu membutuhkan adab lebih dari sebelumnya. Adab menjadi cahaya yang membimbing perjalanan seseorang agar tetap lurus dan penuh keberkahan. Tanpa adab, ilmu kehilangan ruhnya. Dengan adab, ilmu melahirkan ketenangan, kebijaksanaan, dan kemuliaan.
Semoga para pencari ilmu terus menjaga hati, memperbaiki niat, menghormati guru, menyeleksi informasi, serta menghadirkan kelembutan dalam interaksi digital. Ketika adab terpelihara, ilmu akan menjadi cahaya yang menerangi perjalanan hidup.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
