Surau.co. Dalam tradisi keilmuan Islam, para ulama sering menggambarkan ilmu sebagai cahaya yang menembus hati manusia. Cahaya ini bukan sekadar metafora estetis, tetapi sebuah kenyataan spiritual yang menjelaskan bagaimana ilmu menuntun seseorang menemukan arah hidup, mengenali dirinya, dan mendekat kepada Allah. Gagasan “ilmu sebagai cahaya hati” sangat kuat dalam karya-karya para ulama klasik, termasuk Al-Mawā‘iẓ al-‘Ushfuriyyah karya Syaikh Muhammad bin Abdurrahman al-‘Ushfūrī. Kitab nasihat ini menggambarkan ilmu bukan hanya sebagai bahan bacaan, tetapi sebagai energi batin yang membersihkan, menerangi, dan menghidupkan jiwa.
Al-Qur’an memberikan landasan kuat tentang cahaya ilmu melalui firman Allah:
﴿ أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ ﴾
“Apakah seseorang yang dahulu mati kemudian diberi kehidupan dan diberikan cahaya untuk berjalan di tengah manusia?” (QS. Al-An‘ām: 122)
Ayat ini bukan sekadar menunjukkan keutamaan ilmu, tetapi menggambarkan bagaimana cahaya itu menghidupkan hati yang sebelumnya gelap. Dari sinilah pembahasan tentang “ilmu sebagai cahaya hati” menjadi relevan, terutama di era modern ketika manusia sering mengalami gelap batin akibat arus informasi yang tidak menenangkan jiwa.
Makna Ilmu sebagai Cahaya dalam Tradisi Klasik
Ilmu Menghidupkan Hati yang Mati. Dalam Al-Mawā‘iẓ al-‘Ushfuriyyah terdapat ungkapan penting:
“العِلْمُ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي قَلْبِ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادِهِ”
“Ilmu adalah cahaya yang Allah lemparkan ke dalam hati siapa saja yang Allah kehendaki.”
Ungkapan ini menggambarkan bahwa cahaya ilmu tidak sekadar hasil dari kegiatan belajar, tetapi anugerah yang hadir ketika hati bersih, tawaduk, dan selalu dekat dengan Allah. Cahaya ini menghidupkan hati yang sebelumnya mati oleh kelalaian, kesombongan, dan kesibukan dunia. Dengan cahaya ilmu, manusia menyadari siapa dirinya dan ke mana ia menuju.
Para ulama juga menegaskan hal serupa. Imam Malik pernah berpesan:
“لَيْسَ العِلْمُ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ، إِنَّمَا العِلْمُ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ.”
“Ilmu bukan banyaknya riwayat, tetapi cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati.”
Pernyataan ini memperjelas bahwa hakikat ilmu bukan pada kuantitas hafalan, tetapi pada kualitas keterbukaan hati terhadap petunjuk Allah. Karena itu, cahaya ilmu selalu hadir bersama keikhlasan dan ketundukan batin.
Ilmu Mengusir Gelapnya Penyakit Hati
Syaikh al-‘Ushfūrī juga menegaskan bahwa ilmu mampu mengusir gelapnya penyakit hati. Dalam salah satu mau‘izhah-nya disebutkan:
“إِذَا دَخَلَ النُّورُ الْقَلْبَ انْشَرَحَ وَانْقَادَ، وَطَرَدَ ظُلْمَةَ الْهَوَى.”
“Ketika cahaya memasuki hati, hati itu menjadi lapang, tunduk, dan mampu mengusir gelapnya hawa nafsu.”
Cahaya ilmu membuat seseorang mampu membedakan bisikan hawa nafsu dari suara kebenaran. Dengan cahaya itu, manusia dapat menahan amarahnya, memperbaiki niatnya, dan menjaga lisan dari ucapan yang melukai.
Hadits Nabi pun menerangkan hubungan antara cahaya dan kejernihan hati:
“إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ.”
“Dalam tubuh ada segumpal daging; jika baik, seluruh tubuh akan menjadi baik.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Segumpal daging itu adalah hati, dan cahaya ilmu menjadi energi yang menyehatkannya.
Menumbuhkan Cahaya Ilmu pada Era Modern
Di masa modern, ruang-ruang digital dipenuhi informasi yang sering membuat pikiran lelah dan hati keruh. Dalam kondisi seperti ini, cahaya ilmu menjadi kebutuhan utama. Ilmu yang menenangkan hati bukan berasal dari kepadatan informasi, tetapi dari proses belajar yang ikhlas, terarah, dan bertujuan mendekatkan diri kepada Allah.
Al-‘Ushfūrī mengungkapkan:
“مَنْ طَهُرَ قَلْبُهُ أَشْرَقَتْ عَلَيْهِ أَنْوَارُ الْحِكْمَةِ.”
“Siapa yang hatinya bersih, maka cahaya hikmah akan menyinari dirinya.”
Belajar dalam perspektif ini bukan sekadar membaca, tetapi proses memurnikan niat, menata adab, dan melatih jiwa. Oleh karena itu, cahaya ilmu tampil ketika seseorang menjaga kejujuran, kesederhanaan, dan ketulusan.
Adab sebagai Penyangga Cahaya Ilmu
Dalam tradisi para ulama, adab berada di atas pengetahuan. Adab yang baik menjaga cahaya ilmu tetap bersih. Tanpa adab, ilmu justru menjadi gelap karena dipakai untuk membanggakan diri.
Imam Abdullah bin Mubarak pernah menyatakan:
“نَحْنُ إِلَى قَلِيلٍ مِنَ الأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَى كَثِيرٍ مِنَ العِلْمِ.”
“Kita lebih membutuhkan sedikit adab daripada banyak ilmu.”
Pernyataan ini mengingatkan bahwa cahaya ilmu hanya akan bersinar bila seseorang menjaga adab dalam belajar: hormat kepada guru, rendah hati, dan menjauh dari debat yang tidak membawa manfaat. Dengan adab itulah ilmu berubah menjadi cahaya, bukan sekadar wacana.
Cahaya Ilmu dalam Kehidupan Sehari-hari
Ilmu sebagai Penuntun Keputusan Hidup. Cahaya ilmu tidak hanya bekerja dalam ruang kajian, tetapi juga dalam keputusan-keputusan harian. Seseorang yang hatinya bercahaya mampu membedakan mana yang baik bagi dirinya dan mana yang membawa kerusakan. Ia mampu mengendalikan keinginan yang merugikan dan memilih jalan yang lebih tenang.
Al-Qur’an menggambarkan cahaya ini:
﴿ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ ﴾
“Allah membimbing siapa saja menuju cahaya-Nya.” (QS. An-Nūr: 35)
Ketika cahaya ilmu hadir dalam hati, seseorang lebih mudah menerima nasihat, menghindari perselisihan, dan menjaga lisan dari ghibah. Cahaya itu menuntunnya untuk menghargai waktu, mengatur prioritas, dan menentukan arah hidup yang benar.
Syaikh al-‘Ushfūrī mengingatkan bahwa ilmu menjadi benteng ketika dunia menggoda manusia dengan kemewahan yang melemahkan spiritualitas. Dalam salah satu nasihatnya disebutkan:
“مَنْ لَمْ يَجْعَلِ العِلْمَ إِمَامًا أَضَلَّهُ الدُّنْيَا.”
“Siapa yang tidak menjadikan ilmu sebagai pemimpin, dunia akan menyesatkannya.”
Dengan cahaya ilmu, seseorang dapat membedakan mana nikmat yang menumbuhkan syukur dan mana yang menanamkan keserakahan. Cahaya itu mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan pada tampilan luar, tetapi pada ketenangan batin yang hanya hadir melalui kedekatan kepada Allah.
Cahaya Ilmu dalam Tradisi Tasawuf: Jalan Kejernihan Jiwa
Dalam tasawuf, cahaya ilmu sering disebut sebagai nur al-hikmah, yakni cahaya kebijaksanaan yang membuat seseorang dapat melihat hakikat sesuatu. Ketika hati bersih, hikmah mengalir seperti mata air.
Imam al-Ghazali menjelaskan:
“إِذَا أَشْرَقَ نُورُ الحَقِّ فِي الْقَلْبِ انْكَشَفَتْ لَهُ الْحَقَائِقُ.”
“Jika cahaya kebenaran bersinar dalam hati, hakikat segala sesuatu akan tersingkap.”
Cahaya ini membuat seseorang tidak terburu-buru dalam menilai, tidak mudah menyalahkan, dan senantiasa melihat sisi kebaikan pada setiap ujian hidup. Hikmah memelihara keseimbangan batin sehingga seseorang mampu bersikap tenang di tengah kekacauan.
Cahaya Ilmu Menjadikan Hati Lembut dan Rendah Hati
Para sufi menegaskan bahwa cahaya ilmu yang sejati tidak menjadikan seseorang sombong, tetapi justru lembut dan penuh kasih. Ilmu yang masuk ke hati akan membuat seseorang mudah memaafkan, senang menolong, dan tidak membalas keburukan dengan keburukan.
Syaikh al-‘Ushfūrī menyatakan:
“نُورُ العِلْمِ يَهْدِي إِلَى لِينِ القَلْبِ وَجَمَالِ الخُلُقِ.”
“Cahaya ilmu membimbing menuju kelembutan hati dan keindahan akhlak.”
Inilah tanda cahaya yang hidup: akhlak berubah menjadi lebih baik, ibadah semakin khusyuk, dan hubungan sosial penuh empati.
Penutup
Cahaya ilmu bukan sekadar hiasan intelektual, tetapi penuntun spiritual yang menenangkan hati dan menguatkan langkah manusia. Dalam kehidupan modern yang penuh kegaduhan, cahaya ilmu menjadi tempat kembali bagi jiwa-jiwa yang haus ketenangan. Cahaya itu merawat akhlak, menata niat, dan membimbing manusia untuk kembali mengenal Allah.
Pada akhirnya, cahaya ilmu adalah jalan pulang. Jalan yang menyinari hati, memperbaiki hidup, dan menuntun manusia menuju kedamaian yang tidak pernah padam. Dengan cahaya itu, seseorang berjalan lebih tegak, lebih jernih, dan lebih mengerti bahwa hidup adalah perjalanan menuju Sang Pemilik Cahaya.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
