Surau.co. Dalam kehidupan modern yang bergerak cepat, banyak orang merasa kehilangan keseimbangan dalam fisik, pikiran, dan jiwa. Banyak yang berlari mengejar kesuksesan, tetapi justru kehilangan ketenangan. Banyak yang mencari kebahagiaan, tetapi malah menemukan kekosongan. Pada titik inilah gagasan keseimbangan sebagai kunci hidup bahagia menurut Imam Ghazali menjadi semakin relevan. Pemikiran dalam kitab Al-Munqidz min ad-Dhalāl wa al-Mufī fi ad-Dīn menunjukkan cara pandang mendalam bahwa hidup bahagia muncul dari harmoni antara akal, hati, dan tindakan.
Konsep keseimbangan tidak sekadar teori moral; konsep tersebut membentuk struktur hidup yang berakar pada ajaran Al-Qur’an, hadis, dan tradisi keilmuan Islam. Imam Ghazali menjelaskan bagaimana manusia kehilangan arah ketika condong secara ekstrem. Di sinilah kebijaksanaan Islam kemudian menuntun manusia untuk menata kembali langkah agar selaras dengan fitrah.
Hidup Bahagia Lahir dari Keseimbangan Batin dan Lahir
Konsep keseimbangan merupakan inti banyak ajaran dalam Islam. Al-Qur’an memberikan pelajaran bahwa Allah menciptakan manusia dalam bentuk paling sempurna, namun manusia tetap membutuhkan bimbingan agar tidak melampaui batas. Allah berfirman:
﴿وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا﴾
“Carilah (dengan hartamu) negeri akhirat, dan jangan lupakan bagianmu dari dunia.” (QS. Al-Qashash: 77)
Ayat ini menegaskan bahwa keseimbangan tidak berarti meninggalkan dunia, tetapi menata dunia agar tetap menjadi jalan menuju akhirat. Pendekatan tersebut selaras dengan gagasan Imam Ghazali yang membahas penyakit ekstremitas: terlalu condong ke dunia atau terlalu mengabaikannya.
Dalam Al-Munqidz, Imam Ghazali menggambarkan bagaimana seseorang akan tersesat ketika ia cenderung berlebihan. Dalam ungkapan yang cukup terkenal disebutkan:
«وَلَمْ أَزَلْ فِي وُجُودٍ مِنْ ذَلِكَ إِلَى أَنْ أَنَارَ اللَّهُ تَعَالَى قَلْبِي»
“Aku terus berada dalam kegelisahan itu hingga Allah menerangi hatiku.”
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa kebahagiaan tidak hanya lahir dari perenungan akal, tetapi juga dari keseimbangan batin yang diterangi cahaya hidayah. Keseimbangan seperti inilah yang lalu mengubah kegelisahan menjadi ketenangan.
Keseimbangan Akal, Hati, dan Nafsu: Tiga Pilar Kebahagiaan
Imam Ghazali memandang bahwa tiga unsur dalam diri manusia—akal, hati, dan nafsu—harus berada dalam kondisi harmonis. Akal harus membimbing, hati harus menerima kebenaran, dan nafsu harus dikendalikan. Ketiganya tidak boleh saling mendominasi secara berlebihan.
Dalam keyakinan para ulama tasawuf, keseimbangan merupakan nyawa kebahagiaan. Abu Thalib al-Makki, misalnya, menyatakan:
«السعادةُ في تَسديدِ النَّفسِ بين العقلِ والشرع»
“Kebahagiaan terletak pada kemampuan menyeimbangkan diri antara akal dan syariat.”
Pendapat tersebut memberikan landasan penting bahwa pencarian kebahagiaan membutuhkan kerjasama antara rasionalitas dan kepatuhan spiritual. Ketika keduanya berjalan beriringan, manusia menemukan kedamaian dalam tindakan.
Selain itu, keseimbangan akal dan hati juga mencegah manusia terjebak dalam pola reaktif yang emosional. Ketika seseorang bertindak tergesa-gesa, keputusan awalnya sering tidak jernih. Namun ketika akal dan hati berjalan harmonis, tindakan menjadi lebih penuh kesadaran dan pertimbangan. Inilah yang kemudian mengantarkan individu menuju kehidupan yang lebih sehat dan stabil.
Menghindari Ekstremitas: Jalan Tengah Menurut Islam
Islam mengajarkan umatnya untuk menjauhi sikap ekstrem. Rasulullah memberikan pesan:
«هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ»
“Binasalah orang-orang yang berlebihan.” (HR. Muslim)
Hadis ini menjadi dasar bahwa keseimbangan merupakan fondasi setiap pengamalan. Ketika seseorang berlebihan dalam ibadah hingga lupa keluarga, hidupnya menjadi timpang. Ketika seseorang berlebihan dalam bekerja hingga melupakan spiritual, jiwanya menjadi kering.
Imam Ghazali memberikan perumpamaan indah dalam Ihya’ ‘Ulumuddin:
«القَلْبُ كَالرَّحَى، وَالْفِكْرُ مَا يُدَارُ عَلَيْهِ»
“Hati itu seperti batu penggiling, dan pikiran adalah sesuatu yang diputar di atasnya.”
Perumpamaan ini mengajarkan bahwa seseorang harus menjaga agar pikiran dan hatinya tetap terisi hal-hal baik. Keseimbangan terjadi ketika isi yang berputar tidak condong ke satu sisi saja.
Dalam kehidupan modern, ekstremitas sering muncul dalam bentuk obsesi terhadap pencapaian material, kesempurnaan karir, atau validasi sosial. Pesan Imam Ghazali mengingatkan bahwa kebahagiaan tidak lahir dari pencapaian yang melampaui batas, tetapi dari kemampuan menjaga diri tetap berada di jalan tengah.
Keseimbangan sebagai Jalan Pembersihan Diri
Upaya menjaga keseimbangan tidak mungkin berhasil tanpa pembersihan diri (tazkiyatun nafs). Pembersihan ini tidak berlangsung secara instan, melainkan melalui perjalanan panjang yang memerlukan kesabaran.
Al-Qur’an menyampaikan:
﴿قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا﴾
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya.” (QS. Asy-Syams: 9)
Pesan ini sejalan dengan pandangan Imam Ghazali yang menilai bahwa kebahagiaan sejati muncul ketika hati telah bersih dari kotoran spiritual. Dalam Al-Munqidz, disebutkan:
«فَإِنَّ الحَقَّ يَتَجَلَّى فِي الْقَلْبِ إِذَا تَزَكَّى»
“Kebenaran tampak jelas pada hati yang telah tersucikan.”
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa keseimbangan bukan hanya praktik moral, tetapi juga proses spiritual yang menghidupkan kejernihan batin.
Ketika jiwa bersih, seseorang mampu melihat persoalan hidup dengan perspektif luas. Hati yang bersih melahirkan keteguhan dalam menghadapi ujian, sementara akal yang jernih menuntun keputusan bijaksana. Kombinasi tersebut menghadirkan kebahagiaan yang stabil.
Keseimbangan dalam Hubungan Sosial dan Aktivitas Sehari-hari
Keseimbangan menurut Imam Ghazali tidak hanya berlaku pada urusan batin, tetapi juga pada hubungan sosial dan aktivitas fisik. Manusia selalu hidup dalam komunitas, sehingga keseimbangan perlu hadir dalam interaksi.
Dalam kitab tasawuf klasik, Al-Junayd menyampaikan:
«المؤمنُ مَن يَمزِجُ العَقلَ بالحِلم»
“Seorang mukmin adalah yang memadukan akal dengan kelapangan hati.”
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa keseimbangan harus tercermin dalam interaksi. Ketika seseorang mampu menahan emosi, menggunakan akal sehat, dan menjaga empati, hubungan sosialnya menjadi lebih sehat.
Di sisi lain, keseimbangan juga diperlukan dalam pengaturan waktu, energi, dan perhatian. Imam Ghazali menekankan pentingnya menempatkan segala sesuatu pada porsinya. Makan secukupnya, tidur secukupnya, beribadah dengan konsisten, dan bekerja dengan tenang mencerminkan pola hidup seimbang.
Ketika pola ini berjalan baik, kehidupan menjadi lebih bahagia karena tidak ada bagian diri yang dibiarkan kosong atau berlebihan.
Penutup
Keseimbangan bukan sekadar konsep filsafati; keseimbangan merupakan seni hidup. Imam Ghazali menunjukkan bahwa kebahagiaan lahir ketika seseorang berhasil menata batin dan lahir sekaligus. Ketika hati tidak condong ke ekstrem, ketika akal berjalan dalam hidayah, dan ketika tindakan selaras dengan tujuan hidup, kebahagiaan tidak lagi menjadi sesuatu yang dicari, tetapi sesuatu yang hadir dengan sendirinya.
Pada akhirnya, keseimbangan menjadi cahaya yang memandu perjalanan hidup. Cahaya itu menyala ketika manusia mau berhenti sejenak, meresapi keadaan diri, dan menata ulang arah hidup. Dengan keseimbangan, seseorang tidak hanya menemukan ketenangan, tetapi juga menemukan dirinya.
*Gerwin Satria Nirbaya
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
