Surau.co. Spiritualitas yang apatis sering tumbuh dari kelelahan hidup modern. Banyak orang ingin mendekat kepada Tuhan, tetapi mereka terjebak dalam pola “pasrah tanpa ikhtiar” atau “tenteram tanpa usaha membersihkan hati”. Konsep ini tampak menenangkan, padahal konsep tersebut sebenarnya merampas dinamika ruhani. Imam al-Ghazali menghadirkan kritik tajam terhadap model spiritualitas seperti itu melalui karya monumentalnya, Al-Munqidz min ad-Dhalal wa al-Mufī fi ad-Dīn. Karya tersebut menggambarkan bagaimana seseorang menemukan kebenaran dengan hati yang terjaga, bukan dengan sikap pasrah yang melumpuhkan.
Ajaran Imam Ghazali menolak spiritualitas yang menjauhkan seseorang dari tanggung jawab moral maupun intelektual. Ia menegaskan bahwa spiritualitas sejati justru tumbuh dari kerja keras membersihkan jiwa, mengasah akal, dan menguatkan tekad dalam mencari kebenaran.
Spiritualitas Apatis dan Bahayanya menurut Tradisi Islam
Model spiritualitas apatis memang tampak indah dari luar, tetapi model ini menyimpan kelemahan mendasar. Seseorang mungkin merasa sudah “tenang”, namun ia sebenarnya merasakan ketenangan yang tidak lahir dari penyucian jiwa, melainkan dari kelumpuhan ruhani. Dalam tradisi tasawuf klasik, para ulama menegaskan bahwa ketenangan semacam itu bersumber dari keputusasaan, bukan dari kedekatan dengan Allah.
Al-Qur’an memberi peringatan keras agar manusia tidak larut dalam kelalaian. Allah berfirman:
﴿ وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ ﴾
“Dan janganlah menjadi seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Allah menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri.” (QS. Al-Hasyr: 19)
Ayat ini memperlihatkan bahwa spiritualitas yang tidak aktif dapat membuat seseorang kehilangan arah hidup. Semangat ruhani yang tidak tumbuh dari kesadaran dan usaha akan berakhir pada kelalaian mendalam.
Dalam Al-Munqidz, Imam Ghazali mengisahkan perjalanan mencari kebenaran dengan tekad penuh. Beliau menggambarkan dinamika kebingungan, pencarian, dan upaya memahami hakikat ilmu. Dalam bagian kitab tersebut, tertulis:
« فَتَأَمَّلْتُ فِعْلِي فَوَجَدْتُ نَفْسِي مَغْمُورًا فِي ظُلُمَاتِ الشُّبُهَاتِ »
“Aku memperhatikan keadaan diriku lalu menemukan diriku terbenam dalam kegelapan syubhat.”
Kalimat tersebut menegaskan bahwa kebenaran tidak lahir dari rasa puas diri. Sebaliknya, ia lahir dari keberanian menghadapi keraguan dan mengerahkan seluruh daya untuk keluar dari kegelapan.
Kritik Imam Ghazali terhadap Spiritualitas yang Mematikan Akal
Imam Ghazali menyampaikan kritik tajam kepada kelompok yang merasa cukup dengan kepercayaan tanpa menimbangnya secara intelektual. Dalam Al-Munqidz, terdapat ungkapan:
« فَطَلَبْتُ حَقِيقَةَ الْعِلْمِ طَلَبَ الْمُسْتَهَامِ »
“Aku mencari hakikat ilmu sebagaimana orang yang sangat rindu mencari sesuatu.”
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa akal memegang peran penting dalam spiritualitas. Imam Ghazali tidak memisahkan iman dari usaha intelektual. Menurut beliau, ketenangan batin harus berdiri di atas pondasi ilmu, bukan pada asumsi kosong. Karena itu, spiritualitas apatis yang menolak berpikir kritis bertolak belakang dengan ajaran beliau.
Ulama lain juga menegaskan hal yang sama. Imam al-Junayd berkata:
« الطُّرُقُ كُلُّهَا مُغْلَقَةٌ عَلَى الْخَلْقِ إِلَّا عَلَى مَنِ اقْتَفَى آثَارَ الرَّسُولِ »
“Seluruh jalan tertutup bagi makhluk kecuali bagi yang mengikuti jejak Rasul.”
Ungkapan ini menegaskan bahwa ketaatan dan usaha intelektual harus berjalan bersama. Dengan demikian, spiritualitas yang menolak kerja akal hanya akan menciptakan ketenangan palsu.
Menghidupkan Spiritualitas Aktif ala Imam Ghazali
Imam Ghazali menunjukkan bahwa spiritualitas aktif menuntut kerja keras, bukan sekadar merasa “cukup”. Dalam Al-Munqidz, perjalanan beliau melalui fase kalam, filsafat, batiniyah, hingga sufi menggambarkan semangat mencari kebenaran yang tidak pernah diam. Ketika menemukan bahwa sebagian jalan tidak memenuhi syarat kebenaran, beliau kemudian meninggalkan jalan tersebut dan berjuang memahami jalan lain yang lebih tepat.
Spiritualitas aktif ini selaras dengan firman Allah:
﴿ وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ﴾
“Orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, pasti Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. Al-Ankabut: 69)
Ayat tersebut menegaskan bahwa pencarian kebenaran membutuhkan tindakan, bukan sikap pasrah apatis. Seseorang harus menggerakkan akal, membersihkan hati, dan memperbarui niat agar Allah membimbingnya menuju cahaya.
Imam Ghazali menggambarkan bahwa cahaya dari Allah menyapa hati yang membersihkan diri melalui usaha sungguh-sungguh. Dalam Al-Munqidz, tertulis:
« فَأَلْقَى اللَّهُ فِي قَلْبِي نُورًا »
“Lalu Allah melemparkan cahaya ke dalam hatiku.”
Cahaya itu bukan hadiah tiba-tiba. Cahaya tersebut turun setelah beliau menempuh upaya panjang membersihkan hati, meruntuhkan ego, dan menguji kebenaran berbagai disiplin ilmu. Konteks ini menunjukkan bahwa dalam pandangan Imam Ghazali, ketenangan spiritual tidak mungkin hadir tanpa perjuangan.
Menolak Spiritualitas Fatalis yang Melemahkan Diri
Salah satu bentuk spiritualitas apatis yang sering muncul ialah fatalisme. Seseorang merasa cukup dengan “pasrah”, namun ia tidak mengupayakan perubahan. Dalam pandangan Imam Ghazali, sikap seperti ini bertentangan dengan hikmah syariat. Allah mewajibkan manusia bergerak, berusaha, dan menempuh jalan untuk memperbaiki diri.
Hadits Nabi menegaskan pentingnya usaha:
« اِعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ »
“Beramallah, karena setiap orang dimudahkan menuju apa yang telah ditetapkan baginya.” (HR. Bukhari)
Hadits tersebut memberi pesan bahwa seseorang tidak boleh berhenti bekerja atas nama “ketenangan spiritual”. Usaha merupakan bagian dari ibadah.
Imam Ghazali memahami bahwa ruhani manusia memerlukan gerak. Ketika seseorang berhenti mencari pengetahuan dan membersihkan hati, ruhani tersebut mati perlahan. Karena itu, beliau menolak pola pikir fatalistik. Spiritualitas yang benar menuntut seseorang berjalan menuju Allah dengan langkah-langkah nyata.
Kesadaran Ruhani sebagai Penangkal Apatisme
Spiritualitas aktif bukan sekadar aktivitas lahiriah. Spiritualitas aktif membutuhkan kesadaran ruhani yang terus hidup. Dalam tradisi sufi klasik, konsep murāqabah atau kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi menjadi fondasi.
Imam Ghazali menyebut pentingnya cahaya yang hanya turun kepada hati yang sadar. Dalam satu bagian Al-Munqidz, beliau menjelaskan bahwa pencerahan datang kepada hati yang “disucikan dari kotoran duniawi”. Kebersihan hati ini membutuhkan upaya, bukan sikap pasrah.
Imam al-Qusyairi juga menegaskan:
« المراقبة دوام علم القلب بالله »
“Murāqabah ialah kesadaran hati yang terus-menerus terhadap Allah.”
Kesadaran seperti ini otomatis menolak apatisme. Ketika hati selalu sadar kepada Allah, seseorang akan bergerak menuju kebaikan, menjauhi kelalaian, dan menata hidup dengan penuh tanggung jawab.
Dinamika Pencarian Kebenaran dalam Al-Munqidz
Perjalanan Imam Ghazali dalam Al-Munqidz bukan kisah stagnasi. Perjalanan tersebut menggambarkan dinamika panjang menuju kebeningan hati. Beliau meragukan ilmu kalam, menelusuri filsafat, menyelidiki batiniyah, dan akhirnya menemukan ketenangan melalui tasawuf. Setiap fase menghadirkan pergulatan intelektual dan spiritual yang aktif.
Seseorang yang membaca Al-Munqidz akan menyadari bahwa kebenaran tidak hadir begitu saja. Kebenaran justru lahir dari keberanian meninggalkan zona nyaman, memaksa diri mempertanyakan hal yang tidak kokoh, serta menghadirkan kejujuran intelektual dalam menilai argumen. Semua itu menjadi dasar kuat untuk menolak spiritualitas apatis.
Perjalanan ini mengajarkan bahwa ketenangan hakiki bukan berasal dari berhenti berpikir, tetapi justru dari keberanian untuk terus menghadapi kegelisahan, hingga akhirnya hati menemukan sinar kebenaran.
Penutup
Ajaran Imam Ghazali dalam Al-Munqidz menghadirkan pesan agung: spiritualitas yang benar menuntut keberanian, kerja keras, dan kesadaran hati. Spiritualitas apatis yang tumbuh dari rasa nyaman semu hanya akan menjauhkan seseorang dari kebenaran. Dalam pandangan beliau, perjalanan mencari Allah selalu melibatkan dinamika jiwa, pergulatan akal, dan usaha membersihkan hati.
Ketika seseorang menempuh spiritualitas aktif seperti yang dicontohkan Imam Ghazali, hidup akan bergerak menuju tujuan yang terang. Hati yang berusaha akan selalu menyala. Langkah yang mencari akan selalu menemukan. Dan ruhani yang tidak berhenti akan selalu disambut cahaya.
Akhirnya, perjalanan ini bukan sekadar mendekat kepada Allah, tetapi kembali kepada diri yang sejati. Sebuah jalan pulang yang tidak pernah mematikan usaha, tetapi justru menghidupkan harapan.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
