Khazanah
Beranda » Berita » Pentingnya Berhubungan Sosial Setelah Menemukan Pencerahan Menurut Imam Ghazali dalam Al-Munqidz

Pentingnya Berhubungan Sosial Setelah Menemukan Pencerahan Menurut Imam Ghazali dalam Al-Munqidz

Cahaya batin menyebar dari dalam diri dan menerangi hubungan sosial manusia.
Ilustrasi realistik-artistik seorang laki-laki Muslim yang baru merasakan pencerahan batin. Cahaya keemasan memancar dari dalam dadanya, lalu menyebar keluar dan menerangi sekelilingnya.

Surau.co. Banyak orang membayangkan bahwa seseorang yang mencapai pencerahan batin akan menarik diri dari dunia, memilih kehidupan sunyi, dan menutup hubungan sosial. Gambaran itu sering muncul dalam cerita-cerita spiritual, seolah puncak perjalanan rohani berakhir pada kesendirian total. Namun Imam Ghazali dalam Al-Munqidz min ad-Dhalal wa al-Mufī fi ad-Dīn justru memberi pandangan berbeda. Pencerahan sejati tidak membuat seseorang menjauhi manusia, melainkan mendorongnya menghidupkan kembali kebutuhan berhubungan sosial secara lebih arif dan penuh tanggung jawab.

Konsep “pentingnya berhubungan sosial setelah menemukan pencerahan” muncul ketika Imam Ghazali menggambarkan pergulatan batinnya. Perjalanan panjang menuju kebenaran tidak membuatnya meninggalkan hubungan sosial. Justru ia mengubah hubungan sosial menjadi ladang pengamalan nilai-nilai yang ia terima melalui cahaya kebenaran. Dengan demikian, pencerahan tidak berhenti sebagai pengalaman pribadi, tetapi berubah menjadi komitmen sosial yang bermanfaat bagi masyarakat.

Artikel ini menguraikan bagaimana Imam Ghazali menjelaskan tema besar itu, lalu melengkapinya dengan pandangan Al-Qur’an, hadis, dan ulama lain. Bahasa artikel disampaikan secara akademik namun tetap ringan agar pembaca NU Online dapat menikmati alurnya.

Pencerahan Sejati Menghidupkan Kesadaran Sosial

Imam Ghazali dalam tahap pencariannya menggambarkan bagaimana hati menerima cahaya Ilahi. Pada momen pencerahan, muncul pemahaman mendalam tentang realitas diri dan Tuhan. Dalam Al-Munqidz, terdapat ungkapan:

أَفَاضَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ فِي قَلْبِي نُورًا
“Allah mencurahkan cahaya ke dalam hatiku.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Cahaya itu membuka tabir keraguan dan memperlihatkan hakikat hidup. Tetapi setelah mendapat pencerahan, perjalanan tidak berhenti. Seseorang yang terang hatinya akan melihat bahwa hidup bukan hanya tentang keselamatan pribadi, melainkan tentang tanggung jawab sosial. Kesadaran ini lahir karena cahaya tersebut memperluas pandangan, membuat seseorang memahami bahwa manusia adalah makhluk sosial.

Dalam keadaan demikian, seseorang tidak lagi memandang dunia sebagai gangguan spiritual. Sebaliknya, ia melihat dunia sebagai kesempatan untuk menghadirkan kebaikan. Ia mengubah hubungan sosial menjadi ibadah, bukan sekadar interaksi. Al-Qur’an menegaskan perintah pentingnya hidup dalam kebersamaan:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
“Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan.” (QS. Al-Ma’idah: 2)

Ayat ini menekankan bahwa manusia tidak bisa menjalani perjalanan spiritual sendirian. Ketakwaan berhubungan erat dengan kontribusi sosial. Karena itu, pencerahan tanpa tanggung jawab sosial akan melahirkan kesombongan spiritual, sedangkan pencerahan yang sehat justru menguatkan sikap rendah hati dan keinginan berbuat baik.

Mengapa Orang yang Terang Hatinya Harus Tetap Bersosialisasi?

Pencerahan membuat seseorang mencapai kedalaman batin. Kedalaman itu mendorongnya agar keluar dari zona nyaman dan menghidupkan nilai-nilai kebaikan melalui hubungan sosial. Imam Ghazali menegaskan bahwa kebenaran yang hadir di hati harus ia wujudkan dalam tindakan nyata. Dalam Al-Munqidz, beliau menjelaskan bahwa cahaya yang masuk ke hati menghasilkan pemahaman kuat tentang kewajiban moral:

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

يَنْكَشِفُ لِلْقَلْبِ مَا يَلْزَمُهُ مِنَ الطَّاعَةِ وَالْخِدْمَةِ
“Terungkap bagi hati kewajiban-kewajiban berupa ketaatan dan pengabdian.”

Kata “pengabdian” dalam kutipan tersebut menggambarkan tindakan nyata di tengah masyarakat. Seseorang yang tercerahkan tidak berhenti pada kontemplasi, tetapi melanjutkannya menjadi kerja-kerja sosial. Dengan demikian, ia menjadikan hubungan sosial sebagai ruang aktualisasi cahaya batin.

Hadis Nabi juga menegaskan pentingnya keberadaan manusia bagi manusia lain:

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.”

Pencerahan yang menjauh dari kondisi sosial akan menghilangkan kesempatan untuk menjadi manusia yang bermanfaat. Karena itu, Imam Ghazali memandang bahwa pencerahan harus melahirkan integrasi antara kontemplasi batin dan kontribusi sosial.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Pencerahan dan Kematangan Etika Sosial

Ketika seseorang mendapatkan pencerahan spiritual, pandangannya terhadap manusia berubah. Sebelum pencerahan, ia mungkin cepat menghakimi, mudah marah, atau sulit memaafkan. Namun setelah pencerahan, hatinya menjadi lebih lunak. Cahaya Ilahi menghasilkan kedalaman empati. Imam al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairiyyah mengatakan:

النُّورُ فِي الْقَلْبِ يُحْدِثُ سَعَةً فِي الرَّحْمَةِ
“Cahaya di hati melahirkan keluasan dalam kasih sayang.”

Keterangan ini memperlihatkan bahwa hubungan sosial yang baik lahir secara alami dari hati yang bercahaya. Seseorang yang menerima cahaya Ilahi akan merasakan kebutuhan untuk mencintai, membantu, mendengar, dan memudahkan urusan orang lain.

Dalam konteks itu, etika sosial menjadi bagian dari perjalanan spiritual. Pencerahan membuat seseorang mengutamakan kemaslahatan bersama. Sikap ini sejalan dengan perintah Allah:

وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Berkatalah kepada manusia dengan kata-kata yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 83)

Kata “kepada manusia” menunjukkan bahwa hubungan sosial merupakan prinsip dasar agama, bukan sekadar anjuran moral. Dengan demikian, pencerahan spiritual mesti memperkuat etika sosial ini, bukan melemahkannya.

Hikmah Imam Ghazali: Pencerahan Tidak Menghapus Kewajiban Sosial

Imam Ghazali dalam berbagai karya tasawuf menjelaskan bahwa perjalanan menuju Tuhan harus seseorang ikuti dengan kesadaran sosial. Dalam Ihya’ Ulumiddin dijelaskan:

مَا تَخَلَّى قَلْبٌ لِرَبِّهِ إِلَّا امْتَلَأَ رَحْمَةً لِخَلْقِهِ
“Tidak ada hati yang mengosongkan diri untuk Tuhannya kecuali akan penuh dengan kasih sayang untuk makhluk-Nya.”

Ungkapan ini memperlihatkan hubungan langsung antara pencerahan dan kasih sayang sosial. Pencerahan tidak membuat seseorang menghilangkan hubungan dengan masyarakat, justru ia memperkuat hubungan itu. Hati yang penuh cahaya merasa terpanggil membantu sesama. Pengabdian sosial menjadi wujud nyata dari cinta kepada Tuhan.

Dalam konteks modern, pandangan ini sangat relevan. Ketika seseorang menemukan kedamaian batin, ia tidak cukup menyimpannya. Ia harus membagikan kedamaian itu melalui tindakan-tindakan sosial, seperti membantu lingkungan, menyebarkan kebaikan di media sosial, atau mendampingi orang-orang yang membutuhkan.

Berhubungan Sosial sebagai Bentuk Syukur Setelah Pencerahan

Pencerahan bukan sekadar hadiah spiritual, tetapi amanah besar. Imam Ghazali menjelaskan bahwa cahaya Ilahi yang hadir dalam hati menuntut manusia agar bersyukur dengan amal nyata. Bersyukur dengan hati tidak cukup; syukur harus ia wujudkan dalam tindakan sosial. Dalam Al-Munqidz, beliau menyatakan:

يَتَجَلَّى لِلْقَلْبِ أَنَّ حَقَّ النِّعْمَةِ الْعَمَلُ بِهَا
“Tampak bagi hati bahwa hak sebuah nikmat adalah mengamalkannya.”

Cahaya Ilahi merupakan nikmat agung. Karena itu, bentuk syukur terbaik adalah menggunakan cahaya itu untuk kebaikan orang lain. Dengan demikian, berhubungan sosial bukan sekadar aktivitas manusiawi, tetapi bentuk ibadah dan rasa terima kasih kepada Allah.

Al-Qur’an juga menunjukkan hubungan antara syukur dan tindakan nyata:

اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا
“Beramallah sebagai bentuk syukur, wahai keluarga Dawud.” (QS. Saba’: 13)

Pencerahan tanpa kontribusi sosial sama seperti harta yang tidak seseorang gunakan. Cahaya itu justru diuji melalui interaksi dengan manusia lain.

Penutup

Ketika pencerahan menyapa hati, seseorang merasakan keheningan yang dalam. Namun keheningan itu tidak Allah maksudkan sebagai tempat tinggal abadi. Keheningan hanya menjadi ruang proses, bukan tempat menetap. Setelah itu, seseorang perlu kembali ke tengah masyarakat agar cahaya tersebut menyebar menjadi manfaat.

Hidup ini bukan perlombaan kesalehan pribadi, melainkan perjalanan saling menguatkan. Pencerahan yang sejati tidak membuat seseorang menjauh dari manusia, tetapi mendorongnya menyapa manusia dengan wajah baru: wajah kasih sayang, kebijaksanaan, dan ketulusan. Semoga cahaya Ilahi dalam hati setiap hamba menjadi pelita yang menerangi dunia, bukan hanya dirinya.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement