Surau.co. Di tengah dunia yang serba cepat, banyak orang merasa gelisah walaupun hidup penuh fasilitas. Kegelisahan itu muncul karena hati merindukan satu hal yang tidak bisa diberikan oleh logika, statistik, atau teknologi: ketenangan batin. Dalam tradisi Islam klasik, ketenangan sejati tumbuh dari Nur Ilahi, cahaya dari Allah yang menerangi hati manusia. Konsep ini memainkan peran penting dalam Al-Munqidz min ad-Dhalal, karya monumental Imam Ghazali yang menggambarkan perjalanan spiritual dari keraguan menuju pencerahan mindfulness.
Seiring dengan itu, kita mungkin sering bertanya: Apa sebenarnya Nur Ilahi? Apakah cahaya itu merupakan pengalaman batin? Ataukah cahaya tersebut berupa pengetahuan yang menyinari akal dan hati? Imam Ghazali memberikan jawaban yang mendalam dan tetap relevan di zaman digital ini. Konsep Nur Ilahi tidak hanya berdiri sebagai teori, tetapi hadir sebagai pengalaman transformatif yang mengubah cara seseorang melihat hidup, memaknai takdir, dan menjalani ibadah.
Dalam artikel ini, kita menelusuri makna Nur Ilahi menurut Imam Ghazali. Selain itu, kita memperkuat pembahasan ini dengan kutipan Al-Qur’an, hadis, dan pandangan para ulama lain, semuanya disajikan dengan bahasa akademik ringan agar mudah dipahami pembaca umum.
Nur Ilahi dalam Al-Qur’an: Sumber Cahaya Segala Cahaya
Konsep Nur Ilahi berakar kuat dalam Al-Qur’an. Allah menggambarkan diri sebagai sumber cahaya dalam ayat yang sangat terkenal:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah adalah cahaya langit dan bumi.” (QS. An-Nur: 35)
Ayat ini menjadi dasar seluruh pembahasan klasik tentang cahaya ketuhanan. Para mufasir menjelaskan bahwa cahaya itu tidak berupa cahaya fisik, tetapi berupa cahaya petunjuk, cahaya kebenaran, dan cahaya yang menghidupkan hati. Cahaya tersebut membuat manusia melihat hakikat realitas, bukan hanya permukaan dunia.
Selanjutnya, dalam ayat lain Allah menegaskan hubungan antara petunjuk dan cahaya:
يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ
“Allah memberi petunjuk menuju cahaya-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki.”
Kedua ayat ini menegaskan bahwa manusia tidak bisa mendapatkan Nur Ilahi hanya melalui usaha intelektual. Cahaya tersebut hadir sebagai anugerah, tetapi Allah memberikannya kepada hamba yang membuka diri melalui ibadah, mujahadah, dan penyucian hati. Pemahaman inilah yang terus Imam Ghazali tekankan ketika beliau membahas pengalaman spiritual dalam Al-Munqidz.
Penjelasan Nur Ilahi Menurut Imam Ghazali dalam Al-Munqidz
Imam Ghazali menggambarkan tahapan perjalanan spiritual ketika hati manusia menerima cahaya Allah. Dalam salah satu bagian Al-Munqidz, beliau menyatakan:
فَلَمَّا أَفَاضَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ عَلَى قَلْبِي مِنْ نُورِهِ
“Ketika Allah mencurahkan sebagian dari cahaya-Nya ke dalam hatiku.”
Frasa ini menegaskan bahwa Allah-lah yang memancarkan Nur Ilahi ke dalam hati manusia. Imam Ghazali menggambarkan bahwa pencarian intelektual sering berhenti pada batas yang tidak mampu ditembus. Ketika hati menerima Nur Ilahi, seseorang akhirnya mencapai yaqin.
Kemudian, Imam Ghazali menjelaskan bahwa cahaya tersebut membuat hati mampu melihat kebenaran secara langsung, tanpa keraguan:
وَبِهِ يَتَبَيَّنُ الحَقُّ تَبَيُّنًا لَا يَبْقَى مَعَهُ رَيْبٌ
“Dengan cahaya itu, kebenaran tampak jelas tanpa menyisakan keraguan sedikit pun.”
Kutipan ini memperjelas bahwa Nur Ilahi bukan sekadar inspirasi, melainkan penyingkapan hakikat yang tidak bisa seseorang raih hanya dengan belajar atau berpikir. Cahaya itu menghubungkan manusia dengan realitas tertinggi, yaitu Tuhan.
Pada titik ini, pembaca dapat merasakan bahwa konsep Nur Ilahi menjadi jantung spiritualitas Imam Ghazali: cahaya yang menghidupkan hati, membangunkan kesadaran, dan membuka tabir kebenaran.
Hubungan Antara Nur Ilahi dan Penyucian Hati
Imam Ghazali menegaskan bahwa Nur Ilahi tidak akan masuk ke hati yang kotor atau dipenuhi hawa nafsu. Karena itu, seseorang harus membersihkan hati melalui dzikir, muhasabah, dan menjauhi maksiat. Para sufi sangat menekankan proses penyucian ini dalam karya-karya mereka.
Ulama besar seperti Imam al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairiyyah menyatakan:
النُّورُ يَدْخُلُ الْقَلْبَ عَلَى قَدْرِ تَطْهِيرِهِ مِنَ الظُّلْمَةِ
“Cahaya memasuki hati sesuai kadar penyucian hati dari kegelapannya.”
Pendapat ini menunjukkan bahwa hati yang bersih lebih mudah menerima cahaya dari Allah. Maksiat melahirkan gelap, sementara taqwa melahirkan terang. Maka, seseorang yang ingin merasakan Nur Ilahi perlu menempuh jalan moral dan spiritual secara konsisten.
Selain itu, Imam Ibn Atha’illah dalam al-Hikam menjelaskan dinamika antara usaha manusia dan anugerah Allah:
لَيْسَ النُّورُ مِنْكَ، وَلَكِنَّهُ فَيْضٌ مِنَ الْمَنَّانِ
“Cahaya itu bukan berasal dari dirimu, tetapi limpahan dari Tuhan Yang Maha Memberi.”
Kutipan ini mengingatkan kita bahwa meskipun manusia wajib berusaha, Allah tetap menjadi pemberi cahaya. Hati harus siap, tetapi cahaya hanya datang ketika Allah menghendakinya.
Peran Akal dan Hati dalam Menerima Nur Ilahi
Imam Ghazali terkenal dengan pendekatan seimbang antara akal dan hati. Akal berfungsi menimbang, mengkaji, dan membedakan. Namun akal memiliki batas tertentu. Ketika seseorang hanya mengandalkan logika, pencarian spiritual berhenti pada teori. Sebaliknya, ketika Nur Ilahi hadir ke hati, cahaya itu menembus batas tersebut.
Dalam Al-Munqidz, Ghazali mengungkapkan:
إِنَّ فِي الْقَلْبِ عِلْمًا لَا يُدْرَكُ بِالْفِكْرِ
“Dalam hati terdapat ilmu yang tidak dapat dicapai melalui pemikiran.”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa seseorang bisa mendapatkan pengetahuan batin hanya melalui cahaya Allah. Bukan berarti akal tidak berfungsi, tetapi akal saja tidak cukup. Hati yang diterangi Nur Ilahi mampu menangkap makna yang melampaui kata-kata dan logika.
Selain itu, Imam Fakhruddin ar-Razi menegaskan hal serupa dalam salah satu komentar tafsirnya:
الْعَقْلُ يَهْدِي، وَلَكِنَّ النُّورَ يُؤَكِّدُ الْهُدَى
“Akal memberi petunjuk, tetapi cahaya menguatkan petunjuk itu.”
Perkataan ini memperjelas bahwa akal dan Nur Ilahi bekerja secara saling melengkapi. Akal berperan sebagai peta, sementara cahaya menjadi penerangnya.
Hikmah Modern: Menghidupkan Nur Ilahi di Zaman Digital
Pada era modern, pembaca menghadapi tantangan yang jauh berbeda dari zaman Imam Ghazali. Smartphone, media sosial, dan arus informasi yang tak pernah berhenti sering mengganggu kedalaman batin. Namun kebutuhan manusia terhadap cahaya tetap sama. Tanpa Nur Ilahi, pikiran mudah gelap karena kecemasan, dan hati mudah keruh oleh persaingan hidup.
Konsep Nur Ilahi mengajarkan bahwa setiap orang membutuhkan ruang hening untuk mendengar suara hatinya. Dzikir, tadabbur ayat, shalat malam, dan membaca karya ulama klasik membantu seseorang menyiapkan hati menerima cahaya. Ketika hati tenang, seseorang mampu mengambil keputusan dengan lebih bijak, melihat dunia dengan lebih jernih, dan menjalani hidup dengan lebih penuh makna.
Lebih jauh, Nur Ilahi mengingatkan bahwa kebenaran bukan hanya argumentasi, tetapi pengalaman. Cahaya ini menghidupkan empati, menumbuhkan kasih sayang, dan melembutkan karakter. Orang yang hatinya bercahaya tidak mudah membenci, tidak mudah terpancing keributan, dan tidak mudah terjatuh pada keputusasaan.
Penutup
Ketika Imam Ghazali membahas Nur Ilahi, beliau berbicara tentang cahaya yang tidak padam oleh ujian hidup dan tidak bergantung pada suasana luar. Cahaya itu tumbuh dari dalam, menyinari hati, menuntun langkah, dan memeluk jiwa yang gelisah.
Setiap pembaca dapat merasakan Nur Ilahi ketika hati dibuka, dibersihkan, dan diarahkan kepada Allah. Semoga perjalanan kita menuju cahaya menjadi perjalanan yang penuh harapan dan keindahan, sebagaimana doa para arif:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِنَا نُورًا
“Ya Allah, jadikanlah di dalam hati kami cahaya.”
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
