Kalam
Beranda » Berita » Menyelami Nilai Kehidupan Dalam Catatan Gus Umar Wahid

Menyelami Nilai Kehidupan Dalam Catatan Gus Umar Wahid

Gus Umar wahid
Buku ini menggambarkan bagaimana pola pengasuhan yang sangat baik dari seorang perempuan hebat

Judul:Teladan dari Rumah Ulama: Catatan Gus Umar Wahid

Editor:Imam Anshori Saleh

Genre:Non-Fiksi / Memoar / Parenting

Penerbit:  Yayasan KH Wahid Hasyim bekerjasama dengan Lumintu Jaya  Negara

SURAU.CO. Banyak literatur sejarah hanya menyajikan deretan fakta kering. Namun, karya ini berbeda. Buku“Teladan dari Rumah Ulama: Catatan Gus Umar Wahid”mengajak kita masuk ke dalam lorong waktu yang membuat pembaca seolah-olah hidup ikut di dalamnya. Gus Umar Wahid tidak memosisikan dirinya sebagai pengamat , namun hadir sebagai seorang anak yang merindukan suasana rumahnya.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Penulis menuturkan kisah dengan bahasa yang sangat pribadi. Kehangatan dan kejujuran mengalir deras dalam setiap paragraf. Anda akan merasakan detak kehidupan sebuah keluarga besar. Keluarga ini tumbuh subur di tengah nilai-nilai pesantren yang kental. Namun, mereka juga menjunjung tinggi semangat kebangsaan dan nilai kemanusiaan.

Gus Umar melukiskan sosok ayahnya dengan sangat indah. Kiai Abdul Wahid Hasyim yang tidak lain adalah ayahnya sendiri hadir sebagai sosok visioner. Beliau memandang jauh ke masa depan. Sang Kiai merupakan ulama tegas namun tetap berhati lembut yang menggabungkan sisi religius dengan pemikiran modern.

Kiai wahid yang juga ayahnya Gus Dur ini mendidik putra-putrinya dengan cara yang unik. Beliau mendorong anak-anak agar berani menggunakan akal pikiran. Mereka mungkin memiliki pendapat berbeda. Meski demikian, kejujuran harus tetap menjadi pijakan utama. Kiai Wahid selain aktif menulis dan berdiskusi, beliau adalah pejuang bukan hanya umat Islam semata namun untuk Indonesia yang adil dan majemuk.

Nyai Sholihah: Jantung Hati Keluarga

Bagian paling menyentuh dalam buku ini terletak pada sosok sang ibu. Nyai Sholihah adalah pusat kehidupan di rumah tersebut. Ujian berat datang pada tahun 1953. Kiai Wahid wafat dalam sebuah kecelakaan tragis. Peristiwa ini menempatkan Nyai Sholihah pada posisi yang sangat sulit.
Beliau kehilangan bagian jiwa. Ia juga kehilangan sandaran ekonomi keluarga. Namun, situasi tersebut justru melahirkan kekuatan baru. Sosok pendidik sejati bangkit dari dalam dirinya. Ibu enam anak ini menolak larut dalam kesedihan. Beliau berhasil mengubah rasa kehilangan menjadi ruang belajar berharga baik bagi dirinya maupun anak-anaknya.

Adapun metode pendidikan Nyai Sholihah sangat unik. Caranya jauh berbeda dari teori pengasuhan modern yang penuh aturan verbal. Beliau lebih memilih diam namun bertindak nyata. Selain itu beliay juga mengajar melalui keteladanan langsung. Rutinitas hariannya menjadi kurikulum hidup bagi anak-anak. Setiap pagi, ia bangun untuk berdagang beras di Pasar Kramat. Ia melakukan ini demi biaya sekolah putra-putrinya. Nyai Sholihah jarang memberikan nasehat panjang lebar. Namun, setiap tindakannya mengandung pesan moral yang kuat. Anak-anak mengingat kenangan tersebut dalam pikiran mereka.

Menerapkan Parenting Nabawi: Panduan Mendidik Karakter Anak Lewat Riyadus Shalihin

Kerja keras sang ibu mengajarkan arti tanggung jawab. Kesederhanaan hidup beliau mengajarkan makna rasa cukup. Ketabahan beliau dalam menghadapi cobaan mengajarkan arti iman yang sesungguhnya. Pendidikan di keluarga Wahid tidak berpusat pada teori. Mereka belajar dari cara sang ibu berbicara, duduk, dan memperlakukan tamu.

Pendidikan yang Progresif dan Kontekstual

Gus Umar menceritakan ibunya dengan rasa hormat yang mendalam dan tidak melebih-lebihkan cerita. Namun, pembaca bisa merasakan kerinduan seorang anak pada tiap kalimatnya. Nyai Sholihah hadir sebagai manusia biasa yang penuh kasih sayang yang berhasil menerapkan batasan yang jelas tanpa banyak larangan.

Meski lahir dari keluarga pesantren, pola pendidikan keluarga dalam penerapannya sangat kontekstual. Sang ibu mendukung anak-anak menempuh pendidikan di sekolah umum. Mereka boleh belajar musi hingga bebas bergaul dengan dunia luar pesantren. Nyai Sholihah yakin pada satu hal yaitu  keimanan anak tidak akan luntur oleh dunia luar selama fondasinya kuat.

Hasil didikan ini melahirkan karakter-karakter hebat. Kita mengenal Gus Dur dengan pemikiran bebas dan humanisnya. Ada Gus Sholah yang disiplin dan sangat bijak. Ada Lily Wahid tumbuh menjadi sosok lantang yang menyuarakan kebenaran. kemudian Aisyah Hamid memiliki wibawa tinggi. Sementara itu, Gus Umar sendiri tumbuh menjadi pribadi yang lembut dan reflektif.

Satu hal yang menarik dari buku ini adalah peran Imam Anshori Saleh sebagai editor patut mendapat apresiasi. Ia berhasil menjaga keaslian suara Gus Umar. Gaya bertutur dalam buku ini tetap terdengar santai dan tidak kaku. Editor tidak mengubah naskah menjadi tulisan akademis yang membosankan. Kepingan cerita dalam buku ini berhasil menjadi keseluruhan kisah yang mengalir jernih.

Manajemen Waktu: Refleksi Mendalam Bab Bersegera dalam Kebaikan

Kembali ke Meja Makan

Buku ini membuktikan sebuah tesis penting. Pendidikan sejati tidak bergantung pada kemewahan. Karakter mulia lahir dari cinta dan konsistensi orang tua. Nyai Sholihah memang tidak pernah menulis bukupengasuhan anak. Namun, seluruh hidupnya adalah kitab pengasuhan yang hidup.
Kisah ini menjadi sesuatu yang menarik bagi orang tua masa kini. Banyak orang sibuk mencari rumus mendidik anak secara instan. Padahal, ketulusan orang tua jauh lebih utama. Buku ini mengingatkan kita kembali pada makna “rumah”. Rumah adalah tempat menyemai nilai. Membangun bangsa yang besar bermula dari meja makan keluarga yang sederhana.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement