Khazanah
Beranda » Berita » Sufisme yang Realistis ala Imam al-Ghazali dalam Kitab Al-Munqidz

Sufisme yang Realistis ala Imam al-Ghazali dalam Kitab Al-Munqidz

Surau.co. Pembahasan mengenai sufisme yang realistis selalu menemukan relevansi baru, terutama pada masyarakat modern yang sering terombang-ambing antara materialisme dan pencarian makna. Gagasan Imam al-Ghazali tentang sufisme dalam Al-Munqidz min ad-Dhalal wa al-Mufī fi ad-Dīn memberikan arah baru: spiritualitas yang membumi, tidak melayang jauh dari tanggung jawab sosial, namun tetap menjaga kedalaman batin.

Konsep ini semakin penting ketika manusia modern sering terseret oleh ilusi pencapaian duniawi yang melelahkan. Pada saat yang sama, sebagian orang terjebak pada spiritualitas yang ekstrem hingga menjauh dari realitas hidup. Al-Ghazali menyodorkan jalan tengah—jalan keseimbangan yang menghadirkan ketenangan tanpa mengabaikan kewajiban sebagai hamba dan khalifah di bumi.

Sufisme Menurut Al-Ghazali: Antara Pembersihan Jiwa dan Kejernihan Akal

Konsep sufisme dalam Al-Munqidz berakar pada pengalaman spiritual yang panjang. Al-Ghazali menggambarkan perjalanan intelektual hingga akhirnya menemukan bahwa cahaya paling jernih justru bersumber dari hati yang bersih. Dalam kitab tersebut disebutkan:

النُّورُ الَّذِي يُكَاشَفُ بِهِ حَقِيقَةُ الْأُمُورِ يُلْقِيهِ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ
“Cahaya yang menyingkapkan hakikat segala sesuatu datang dari Allah dan ditanamkan ke dalam hati.”

Kutipan ini menegaskan bahwa sufisme bukan sekadar teknik meditasi atau lontaran teori abstrak. Sufisme, menurut Al-Ghazali, adalah proses transformasi batin yang terukur dan rasional, bukan pelarian dari dunia. Proses tersebut menuntut kebersihan hati sebagai prasyarat hadirnya cahaya pengetahuan.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Pandangan Al-Ghazali tumbuh dari pengalaman hidup yang penuh pergulatan. Ketika Godaan jabatan dan popularitas menguasai sebagian besar ulama pada zamannya, Al-Ghazali memilih menempuh jalan pencarian jati diri yang lebih jujur. Sufisme realistis menjadi jawabannya: spiritualitas yang tetap dekat dengan realitas manusia.

Realisme dalam Sufisme: Tidak Menolak Dunia, Tetapi Mengelolanya

Konsep sufisme dalam pandangan Al-Ghazali tidak pernah mengajak manusia membenci dunia. Al-Ghazali menyebut dunia sebagai ladang amal, bukan ruang pelarian. Keseimbangan inilah yang membuat sufisme versi beliau realistis dan tetap relevan hingga hari ini.

Dalam Al-Munqidz, Imam Al-Ghazali menegaskan:

لَيْسَ الزُّهْدُ فِي تَرْكِ الْمَالِ، وَلَكِنْ فِي تَرْكِ التَّعَلُّقِ بِهِ
“Zuhud bukan meninggalkan harta, tetapi meninggalkan keterikatan terhadapnya.”

Ungkapan ini menjelaskan bahwa dunia bukan musuh spiritualitas. Yang perlu dihindari hanyalah keterikatan berlebih yang menjerat jiwa. Dengan pandangan ini, Al-Ghazali mengajak manusia menggunakan dunia sebagai wasilah menuju Tuhan.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Dalam realitas modern, konsep ini sangat diperlukan. Banyak orang mengejar ambisi tanpa jeda, sementara sebagian lainnya menyingkir dari kehidupan sosial dengan alasan spiritualitas. Sufisme realistis mengajarkan kedua kelompok tersebut agar menemukan titik tengah: terus berkarya di dunia, tetapi tetap menjaga kejernihan hati.

Al-Qur’an dan Hadits sebagai Fondasi Sufisme yang Proporsional

Ajaran Al-Ghazali bukan hasil spekulasi, tetapi berakar kuat pada Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

﴿ وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ﴾
“Carilah dengan apa yang Allah berikan padamu negeri akhirat, dan jangan lupakan bagianmu di dunia.” (QS. Al-Qashash: 77)

Ayat ini menjadi fondasi utama konsep keseimbangan spiritual. Dunia bukan tujuan, namun jembatan menuju akhirat. Melupakan dunia berarti melupakan amanah.

Hadits Nabi Muhammad SAW juga menguatkan prinsip moderasi dalam kehidupan:

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

خَيْرُ الأُمُورِ أَوْسَطُهَا
“Sebaik-baik perkara adalah yang paling tengah.” (HR. Baihaqi)

Sufisme yang realistis lahir dari prinsip tengah ini—tidak terlalu condong pada materialisme, juga tidak melayang ke ekstrem asketisme.

Dimensi Praktis: Sufisme yang Mengubah Laku Hidup

Sufisme realistis bukan hanya gagasan abstrak. Konsep tersebut hadir dalam tindakan nyata dan kebiasaan sehari-hari. Al-Ghazali mengajarkan tiga pilar penting dalam praktik sufisme:

  1. Mujahadah (Kesungguhan Mengontrol Nafsu)

Al-Ghazali menjelaskan proses ini sebagai perjuangan batin terus-menerus. Tanpa mujahadah, seseorang mudah tenggelam dalam hawa nafsu. Namun mujahadah realistis tidak meminta seseorang keluar dari kehidupan sosial, melainkan menguatkan karakter diri dalam menjalani kehidupan.

  1. Muhasabah (Evaluasi Diri)

Praktik ini menuntut manusia menilai tindakan dan pikirannya secara rutin. Al-Ghazali menegaskan bahwa hati manusia dapat terselamatkan melalui proses muhasabah yang jujur dan konsisten.

  1. Tazkiyah (Penyucian Hati)

Ini adalah tujuan akhir. Penyucian hati bukan proses instan, melainkan perjalanan panjang yang memerlukan ketekunan. Ketika hati bersih, cahaya pengetahuan spiritual akan hadir dengan sendirinya, sebagaimana ditegaskan Al-Ghazali dalam kutipan sebelumnya.

Perspektif Ulama Lain terhadap Laku Sufistik

Konsep sufisme moderat ala Al-Ghazali mendapat pengakuan luas dari para ulama setelahnya. Syaikh Ibn ‘Athaillah al-Sakandari menyatakan dalam al-Hikam:

لَيْسَ العَجَبُ مِمَّنْ هَلَكَ كَيْفَ هَلَكَ، وَلَكِنَّ العَجَبَ مِمَّنْ نَجَا كَيْفَ نَجَا
“Bukan mengherankan bagaimana seseorang bisa binasa, tetapi bagaimana seseorang bisa selamat.”

Ungkapan ini sering dijadikan dasar bagi mereka yang menempuh jalan sufisme realistis, karena keselamatan manusia terletak pada keseimbangan, bukan ekstremitas.

Imam al-Junaid al-Baghdadi, tokoh sufi klasik, pernah menegaskan:

التَّصَوُّفُ أَنْ تَأْخُذَ بِالْحَقِّ فِي كُلِّ حَالٍ
“Sufisme adalah memegang kebenaran dalam setiap keadaan.”

Pendapat ini menguatkan posisi Al-Ghazali bahwa sufisme tidak bertentangan dengan syariat. Sufisme sejati justru melengkapi kehidupan beragama secara lebih matang.

Relevansi Konsep Sufi Realistis untuk Generasi Modern

Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, konsep sufisme realistis menawarkan alternatif yang menenteramkan. Generasi digital yang hidup dalam tekanan kompetisi sering merasa kehilangan arah. Sufisme realistis mengajarkan langkah-langkah sederhana namun mendalam:

  • menjaga ketenangan hati dalam memutuskan sesuatu
  • menjalani karier tanpa kehilangan spiritualitas
  • membangun relasi sosial tanpa menumpuk beban batin
  • merawat keheningan di antara rutinitas yang padat

Keseimbangan inilah yang membuat ajaran Al-Ghazali tetap relevan. Kisah hidup beliau membuktikan bahwa pemikiran mendalam tidak harus menafikan aktivitas duniawi. Spiritualitas yang matang justru memperkuat kualitas hidup di dunia.

Penutup

Sufisme realistis ala Imam al-Ghazali tidak hanya mengajarkan manusia tentang puncak pencapaian spiritual. Lebih dari itu, konsep tersebut mengajak manusia berjalan di bumi dengan hati yang ringan, pikiran yang jernih, dan langkah yang seimbang. Dunia dan akhirat tidak perlu dipertentangkan; keduanya dapat bersatu dalam diri manusia yang memahami makna hidup.

Dalam perjalanan panjang kehidupan, ketenangan tidak datang dari pelarian, tetapi dari keberanian menghadapi dunia dengan hati yang terlatih. Ajaran Imam Al-Ghazali menjadi pelita bagi siapa pun yang mencari makna di tengah gelombang zaman.

*Gerwin Satria N

Pegita litersi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement