Surau.co. Dalam dunia yang bergerak cepat dan penuh kompetisi, manusia mudah terjebak dalam ilusi materi. Banyak orang mengejar gelar, jabatan, gawai baru, dan simbol prestise lain, namun tetap merasa hampa. Di tengah kegelisahan modern itu, gagasan Imam Ghazali dalam Al-Munqidz min ad-Dhalal tampil seperti oasis: sebuah ajaran yang menegaskan bahwa ketenangan batin tidak pernah lahir dari tumpukan harta, tetapi dari kejernihan jiwa yang dekat dengan Allah.
Paradigma ini terasa sangat relevan hari ini, terlebih saat manusia lebih banyak berinteraksi dengan layar dibandingkan dengan hatinya sendiri. Karena itu, membahas konsep ketenangan batin menurut Imam Ghazali bukan hanya wacana sufistik, melainkan kebutuhan spiritual yang konkrit.
Kritik Ghazali terhadap Ilusi Materialisme
Imam Ghazali melihat bagaimana manusia mudah tertipu oleh kenikmatan dunia yang bersifat sementara. Dalam Al-Munqidz, terdapat pernyataan tajam:
“فَإِنَّ الدُّنْيَا سِحْرٌ يَسْتَخِفُّ الْقُلُوبَ عَنْ طَاعَةِ اللَّهِ”
“Dunia adalah sihir yang melalaikan hati dari ketaatan kepada Allah.”
Ungkapan itu muncul setelah perjalanan intelektual panjang yang membuatnya sadar bahwa manusia bisa sangat cerdas secara akademik, tetapi tetap gelisah karena hati tidak menemukan pegangan ilahi. Di sinilah Ghazali mengkritik materialisme sebagai jebakan yang halus: manusia mengejar sesuatu yang tidak pernah cukup.
Kritik ini sejalan dengan peringatan Al-Qur’an:
“أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ”
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu.” (QS. At-Takatsur: 1)
Ayat ini menggambarkan persis kondisi manusia modern: sibuk mengumpulkan, membandingkan, memamerkan. Namun, semakin banyak yang diraih, semakin besar pula kekosongan yang menganga. Karena itu, Ghazali menawarkan solusi: kembali pada hati yang bersih.
Hati yang Tenang Bukan Karena Banyaknya Harta
Imam Ghazali menegaskan bahwa ketenangan tidak terkait dengan eksternal. Ia lahir dari dalam, dari kemampuan seseorang mengendalikan nafsu dan menundukkan ego. Dalam Al-Munqidz, terdapat kalimat indah:
“لَا يَصِلُ الْعَبْدُ إِلَى الْحَقِّ إِلَّا بِتَصْفِيَةِ قَلْبِهِ”
“Seorang hamba tidak sampai kepada kebenaran tanpa mensucikan hatinya.”
Kalimat ini menggambarkan prinsip dasar: ketenangan batin hanya muncul ketika hati jernih. Bahkan saat fasilitas serba lengkap, hati yang keruh tidak mampu merasakan nikmatnya hidup. Sebaliknya, orang yang hatinya tenang bisa merasakan kebahagiaan meskipun berada dalam keterbatasan.
Allah sendiri menegaskannya:
“أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ”
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Ayat ini bukan teori kosong. Banyak orang yang kaya raya tetapi gelisah, dan banyak pula orang sederhana yang hidupnya damai. Perbedaan keduanya bukan pada harta, tetapi pada apa yang mengisi hati.
Jalan Pembersihan Jiwa sebagai Kunci Ketenangan
Imam Ghazali memandang pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs) sebagai inti kehidupan spiritual. Ia menyebut bahwa pengetahuan tanpa pembersihan hati hanya menghasilkan kebanggaan semu. Dalam Al-Munqidz, tertulis:
“إِنَّ الْعِلْمَ بِلَا عَمَلٍ جَهْلٌ”
“Ilmu tanpa amal adalah kebodohan.”
Kalimat itu tidak hanya mengecam intelektualisme kosong, tetapi juga menegaskan bahwa perubahan batin membutuhkan disiplin spiritual. Ghazali mengajak manusia menjalani latihan hati yang konsisten, seperti:
- memperbanyak dzikir,
- membiasakan muhasabah,
- mengurangi cinta dunia,
- mengontrol makan, tidur, dan bicara,
- membangun koneksi batin dengan Al-Qur’an.
Jalan ini bukan untuk meninggalkan dunia, tetapi untuk menempatkannya dalam posisi yang benar: sebagai sarana, bukan tujuan.
Pendapat ulama lain memperkuat gagasan ini. Syaikh Ibn Athaillah mengatakan:
“مَا نَفَعَ الْقَلْبَ شَيْءٌ مِثْلُ عُزْلَةٍ يَدْخُلُ بِهَا مَيْدَانَ فِكْرَةٍ”
“Tidak ada yang lebih bermanfaat bagi hati selain menyendiri yang mengantarkan kepada perenungan.”
Meditasi spiritual inilah yang membuat manusia mampu menyingkap makna hidup melampaui benda-benda yang ia miliki.
Mengapa Manusia Modern Butuh Ghazali?
Banyak orang hidup dalam tekanan: target pekerjaan, tagihan bulanan, followers media sosial, dan ambisi-ambisi yang tak ada habisnya. Semua itu membuat manusia lupa bertanya: mengapa aku hidup? ke mana aku menuju?
Imam Ghazali menawarkan perspektif penyembuhan. Ia pernah mencapai puncak popularitas akademik sebagai pemikir ternama, namun tetap merasa gelisah. Dalam Al-Munqidz, tertulis pengakuannya:
“وَتَأَمَّلْتُ حَالِي فَرَأَيْتُ نَفْسِي عَلَى شَفِيرِ جُرْأَةٍ”
“Aku memperhatikan diriku dan melihat bahwa aku berada di tepi jurang.”
Pencarian panjang itu membuatnya meninggalkan jabatan, mengasingkan diri, dan berjuang menyembuhkan hati. Ketika kembali, ajarannya menjadi lebih dalam: bahwa manusia tidak cukup hanya berilmu, tetapi harus berjiwa bersih.
Inilah yang dibutuhkan manusia modern: bukan pelarian dari dunia, tetapi kemampuan memaknai dunia secara benar. Ghazali tidak mengharamkan harta. Ia hanya mengingatkan agar manusia tidak diperbudak olehnya.
Materialisme dan Kekosongan Spiritual
Materialisme modern menawarkan kenikmatan cepat, namun tidak pernah memberi ketenangan jangka panjang. Orang membeli barang baru, lalu bosan. Mengejar pujian, lalu kecewa. Mendapat jabatan tinggi, lalu merasa kosong. Siklus itu tidak pernah berakhir.
Imam Ghazali mengungkap akar persoalannya:
“لَا تَشْبَعُ النَّفْسُ مِنَ الدُّنْيَا”
“Nafsu tidak pernah merasa cukup dari dunia.”
Ketika nafsu menjadi kompas hidup, manusia tenggelam dalam pencarian yang tak berujung. Karena itu, Ghazali mengajak manusia kembali pada sumber cahaya. Tazkiyatun nafs bukan sekadar ritual, melainkan penataan ulang prioritas hidup.
Dengan hati yang terisi cahaya, manusia bisa bekerja, meraih rezeki, mengejar mimpi, tetapi tetap tenang. Ia tidak lagi memandang dunia sebagai segalanya, melainkan ladang amal untuk akhirat.
Menemukan Ketenangan dalam Kehidupan Sehari-hari
Konsep Ghazali dapat diterapkan secara praktis oleh siapa pun:
- Mengurangi Ketergantungan pada Hal yang Tak Penting
Membatasi konsumsi konten digital, mengurangi pembelian impulsif, dan menahan diri dari perbandingan sosial membantu menenangkan batin.
- Memperbanyak Dzikir dalam Rutinitas
Membaca Subhanallah, Alhamdulillah, La ilaha illallah, atau ayat-ayat pendek dapat menjadi energi batin yang luar biasa.
- Melatih Syukur Setiap Hari
Rasa cukup mengurangi gelisah, dan syukur memperbesar nikmat. Allah berfirman:
“لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ”
“Jika kalian bersyukur, pasti Aku tambah untuk kalian.” (QS. Ibrahim: 7)
- Menghadirkan Allah dalam Kesendirian
Beberapa menit merenung sebelum tidur mampu membersihkan hati dari kekhawatiran material.
Cara-cara ini bukan sekadar teori, tetapi latihan yang telah terbukti membentuk manusia tangguh secara spiritual.
Penutup
Pada akhirnya, ketenangan sejati adalah anugerah Tuhan. Ia tidak lahir dari saldo rekening, tetapi dari hati yang dipenuhi cahaya iman. Imam Ghazali telah menunjukkan jalannya: membersihkan jiwa, menundukkan nafsu, dan mendekat kepada Allah.
Ketenangan batin adalah karunia yang membuat seseorang tetap tegar menghadapi badai hidup. Dunia boleh gaduh, tetapi hati tetap bening. Karena itu, manusia perlu terus merawat relasi dengan Tuhan agar tidak tersesat dalam kilauan dunia.
Semoga pesan ini mengingatkan bahwa harta termahal bukan yang ada di lemari, melainkan yang menetap di dada: hati yang tenang, bersih, dan selalu tersambung kepada Allah.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
