Khazanah
Beranda » Berita » Keseimbangan Duniawi dan Ukhrawi ala Imam Ghazali dalam Kitab Al-Munqidz

Keseimbangan Duniawi dan Ukhrawi ala Imam Ghazali dalam Kitab Al-Munqidz

Ilustrasi perjalanan menuju keseimbangan dunia dan akhirat ala Imam Ghazali
Perpaduan dua cahaya menggambarkan integrasi dunia dan akhirat. Pejalan menggambarkan manusia yang menjaga orientasi spiritual di tengah kehidupan duniawi.

surau.co. Keseimbangan duniawi dan ukhrawi selalu menjadi tema besar dalam tradisi keilmuan Islam klasik, terutama ketika para ulama membahas perjalanan jiwa menuju Allah. Dalam karya monumental Al-Munqidz min ad-Dhalal, Imam Abu Hamid al-Ghazali menggambarkan perjalanan batin yang sarat pergulatan antara ambisi dunia dan kebutuhan ruhani.

Pemikiran tentang keseimbangan itu tetap relevan hingga masa kini, terutama bagi generasi yang hidup di tengah hiruk-pikuk teknologi, persaingan karier, serta tuntutan sosial yang sering mengikis ketenangan batin.

Landasan Keseimbangan dalam Pemikiran Imam Ghazali

Pembahasan tentang keseimbangan duniawi dan ukhrawi berangkat dari kesadaran bahwa manusia terdiri dari dua unsur: jasad dan ruh. Penggunaan keduanya secara proporsional membentuk keteguhan moral sekaligus kejernihan batin. Imam Ghazali menegaskan bahwa pencarian ilmu, pengelolaan harta, dan pemenuhan kebutuhan hidup bukan sesuatu yang berlawanan dengan spiritualitas. Hal yang perlu dijaga terletak pada arah hati dan tujuan ibadah, bukan sekadar aktivitas lahiriah.

Dalam Al-Munqidz, Imam Ghazali menggambarkan kondisi manusia yang sering terhanyut oleh ambisi dunia. Kalimat berikut menggambarkan proses refleksi mendalam:

“فأبصرت نفسي مشغوفة بالدنيا”
“Aku menyadari diriku begitu terpikat oleh dunia.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Ungkapan tersebut menggambarkan kesadaran bahwa dominasi ambisi dunia mampu menguasai batin apabila tidak dikendalikan. Namun, refleksi itu tidak membawa seseorang pada sikap anti-dunia. Justru sebaliknya, kesadaran itu melahirkan kebutuhan untuk menata kembali hubungan antara kebutuhan dunia dan tujuan akhirat.

Al-Qur’an menegaskan keseimbangan ini dalam firman Allah:

﴿ وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ﴾
“Carilah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu negeri akhirat, namun jangan lupa bagianmu di dunia.”
(QS. Al-Qashash: 77)

Ayat tersebut menguatkan gagasan Imam Ghazali: dunia bukan penghalang, melainkan ladang mengumpulkan bekal akhirat.

Kritik Imam Ghazali terhadap Sikap Berlebihan dalam Urusan Dunia

Kehidupan duniawi sering memancing kesibukan yang tidak berkesudahan. Jabatan, harta, dan popularitas menjadi magnet kuat yang menyita energi seseorang. Dalam Al-Munqidz, terdapat kritik keras terhadap berkubangnya manusia pada ambisi. Imam Ghazali menyebut bahwa keterikatan pada dunia memiliki sifat menjerat batin, bahkan mampu menghalangi seseorang untuk merasakan kedekatan dengan Allah.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Dalam sebuah bagian, terdapat ungkapan:

“حبّ الدنيا أصل كل خطيئة”
“Cinta dunia menjadi akar segala kesalahan.”
(Penjelasan ulama sufi klasik yang sering dikutip Imam Ghazali)

Peringatan itu menggambarkan bahaya apabila dunia menjadi tujuan utama, bukan sekadar sarana. Berlebihan dalam mengejar dunia mengikis kekuatan spiritual. Di sinilah relevansi ajaran Imam Ghazali bagi generasi modern yang hidup di tengah budaya produktivitas, tuntutan prestasi, dan tekanan hidup.

Penguatan terhadap kritik itu terlihat dalam hadits Nabi Muhammad ﷺ:

“الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ، مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا ذِكْرَ اللَّهِ…”
“Dunia itu terlaknat, terlaknat segala yang ada di dalamnya kecuali zikir kepada Allah…”
(HR. Tirmidzi)

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Hadits tersebut mempertegas bahwa dunia tidak memiliki nilai pada dirinya sendiri. Nilai itu hanya muncul ketika dunia dijadikan jalan menuju Allah. Kritik Imam Ghazali bukan sekadar kecaman moral, melainkan ajakan untuk menjaga keseimbangan batin.

Urgensi Mengelola Hati di Tengah Kesibukan Duniawi

Keseimbangan duniawi dan ukhrawi tidak mungkin tercapai tanpa pengerjaan hati. Imam Ghazali meyakini bahwa hati merupakan pusat orientasi kehidupan manusia. Ketika hati bersih, kesibukan dunia tidak memberi dampak negatif. Sebaliknya, ketika hati kotor, bahkan aktivitas ibadah sekalipun dapat kehilangan cahaya.

Dalam Al-Munqidz, terdapat ungkapan yang menggambarkan kedalaman pentingnya hati:

“لا يُدرك النور إلا بنور من الله”
“Cahaya kebenaran tidak dapat diraih kecuali dengan cahaya dari Allah.”

Ungkapan tersebut menekankan bahwa pengelolaan hati membutuhkan bantuan ilahi. Dalam konteks ini, aktivitas duniawi perlu dijalankan dengan niat yang lurus. Kerja, belajar, berdagang, atau mengembangkan karier dapat menjadi ibadah jika disertai orientasi akhirat.

Al-Qur’an mempertegas pentingnya hati melalui firman Allah:

﴿ يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ، إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ ﴾
“Pada hari ketika harta dan anak tidak berguna, kecuali orang yang datang dengan hati yang bersih.”
(QS. Asy-Syu’ara: 88–89)

Ayat ini menegaskan bahwa pencapaian duniawi tidak memiliki nilai bila tidak dibarengi kejernihan batin.

Keseimbangan sebagai Jalan Tengah antara Zuhud dan Aktivitas Sosial

Imam Ghazali tidak mendorong umat Islam untuk menjauhi dunia sepenuhnya. Dalam Ihya’ Ulumiddin maupun Al-Munqidz, terdapat penekanan bahwa hidup membutuhkan interaksi sosial, tanggung jawab keluarga, dan peran publik. Namun, seluruh aktivitas itu harus diarahkan untuk meraih keberkahan.

Sikap zuhud dipahami bukan sebagai meninggalkan dunia, tetapi melepaskan ketergantungan hati pada dunia. Konsep tersebut terlihat dalam penjelasan ulama sufi:

“ليس الزهد أن تترك الدنيا، إنما الزهد أن لا يملكك شيء منها”
“Zuhud bukan meninggalkan dunia, melainkan memastikan bahwa dunia tidak menguasaimu.”

Ajaran ini sangat sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern yang memiliki kesibukan tinggi. Kehidupan sehari-hari dapat tetap produktif, namun tetap terjaga orientasi ruhaniahnya.

Dalam konteks ini, Imam Ghazali menawarkan jalan tengah: seseorang memegang dunia di tangan, tetapi menjaga agar dunia tidak masuk ke dalam hati.

Relevansi Konsep Keseimbangan bagi Generasi Modern

Generasi modern hidup dalam dunia yang serba cepat. Informasi datang tanpa jeda, tuntutan karier terus meningkat, dan standar hidup terus berubah. Kondisi tersebut membuat banyak orang merasa kehilangan arah, meskipun memiliki pencapaian material yang besar. Ajaran Imam Ghazali tentang keseimbangan duniawi dan ukhrawi menawarkan alternatif yang sehat dan menenangkan.

Keseimbangan dalam pemikiran Imam Ghazali tidak mengajarkan seseorang untuk menghindari teknologi, pekerjaan, atau aktivitas sosial. Ajaran ini mengajak manusia modern untuk mengatur prioritas, mengelola hati, serta menjaga hubungan dengan Allah di tengah kesibukan.

Generasi muda yang bergelut dalam pendidikan, karier, atau aktivitas digital dapat mengambil pelajaran bahwa pencapaian duniawi akan terasa hampa tanpa nilai spiritual.

Penutup

Perjalanan manusia di dunia tidak ubahnya perjalanan panjang menuju rumah abadi. Dunia menjadi tempat singgah yang sementara, sementara akhirat menjadi tujuan terakhir. Imam Ghazali mengajarkan bahwa ketenangan batin muncul ketika seseorang mampu membawa dunia dalam genggamannya, namun menyerahkan hatinya hanya kepada Allah.

Keseimbangan duniawi dan ukhrawi bukan sekadar slogan, melainkan jalan hidup. Siapa pun yang mampu menjaga hati di tengah derasnya arus kehidupan modern akan menemukan ketenangan, kejernihan, serta cahaya yang menuntun pada kebenaran. Pada akhirnya, keberhasilan sejati bukan hanya tercermin pada pencapaian dunia, tetapi juga pada kemampuan menjaga orientasi akhirat di setiap langkah kehidupan.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement