Opinion
Beranda » Berita » Feodalisme Baru dan Rasa Malu yang Hilang

Feodalisme Baru dan Rasa Malu yang Hilang

Feodalisme Baru dan Rasa Malu yang Hilang
Feodalisme Baru dan Rasa Malu yang Hilang

 

SURAU.CO – “NEGARA INI MILIK RAKYAT, BUKAN PENGUASA”. Catatan tentang Feodalisme Baru dan Rasa Malu yang Hilang.

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” — Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945.

Setiap zaman melahirkan bentuk baru dari feodalisme.

Dulu orang sujud pada raja, sekarang mereka sujud pada citra: wajah di baliho, suara di televisi, atau narasi “pemimpin penyelamat bangsa.”

Fenomena Flexing Sedekah di Medsos: Antara Riya dan Syiar Dakwah

Bedanya cuma kemasan, tapi logikanya sama: rakyat diajarkan untuk tunduk, bukan berpikir.

Feodalisme modern tak lagi menuntut lutut, cukup menuntut rasa takut.

Takut dikira pembenci kalau mengkritik.

Takut disebut provokator kalau bertanya.

Padahal dari ketakutan macam itulah lahir generasi yang kehilangan haknya sebagai pemilik negara.

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

“PEMIMPIN ITU MANDAT, BUKAN TUHAN KECIL”

Presiden, menteri, parlemen—semuanya cuma menjalankan mandat rakyat.

Mereka bekerja atas nama kepercayaan, bukan keabadian.
Begitu rakyat diam, kekuasaan lupa diri.

Begitu rakyat sadar, sejarah bergeser.

Maka berbahagialah bangsa yang rakyatnya cerewet.

Karena diam itu bukan tanda dewasa, tapi tanda menyerah.
Negara ini berdiri bukan karena kita punya pemimpin hebat, tapi karena dulu ada rakyat yang berani melawan feodalisme dalam segala bentuknya.

Riyadus Shalihin: Antidot Ampuh Mengobati Fenomena Sick Society di Era Modern

“SUARA RAKYAT ADALAH API SEJARAH”

Bung Karno pernah berkata, “Rakyat tidak bisa dibungkam selama keadilan belum ditegakkan.” — Ir Soekarno, Indonesia Menggugat (1930).

Kalimat itu bukan lahir dari podium megah, tapi dari ruang sempit penjara Banceuy (1930) di Bandung.

Di situ, di balik tembok lembap dan bau besi karat, ia menulis pidato pembelaannya Indonesia Menggugat—sebuah jeritan nalar melawan kekuasaan kolonial.

Tak lama kemudian ia dipindahkan ke Penjara Sukamiskin (1931), tempat ia terus menulis dan mengasah keyakinan bahwa keadilan hanya bisa tumbuh dari keberanian rakyat untuk berpikir dan bersuara.

Namun Belanda tahu, tubuh Bung Karno bisa dikurung, tapi gagasannya tidak.

Maka pada (1934–1938), ia dibuang ke Ende, Nusa Tenggara Timur, jauh dari hiruk-pikuk politik Jawa.

Di kota kecil itulah, di bawah rindang pohon sukun yang masih berdiri hingga kini, Bung Karno merenungi arti persatuan. Di sana ia menatap laut Flores dan menulis, berdialog dengan pastor Katolik, merajut benih awal Pancasila—sebuah ide besar yang lahir dari sunyi, bukan dari panggung.

Belum puas juga, pada (1938–1942) Belanda kembali memindahkannya, kali ini ke Bengkulu, agar suaranya benar-benar terhapus dari telinga rakyat.

Tapi sejarah, seperti air, selalu menemukan jalannya. Di Bengkulu, Bung Karno justru bertemu rakyat biasa, guru, dan kaum muda yang menyalakan lagi semangat perjuangan.

Di tempat yang dianggap pembuangan itulah tekad kemerdekaan justru disempurnakan.

TAKHAYUL KEKUASAAN

Bagi Bung Karno, rakyat bukan pengikut, tapi sumber tenaga revolusi. Ia tahu betapa berbahayanya kultus individu.

Karena begitu rakyat menuhankan pemimpinnya, perjuangan berubah jadi perbudakan.

Pemikiran itu sejalan dengan Tan Malaka dalam Madilog, yang menolak tunduk pada takhayul kekuasaan.

Ia mengajak bangsa ini berpikir dengan logika dan ilmu, bukan rasa takut dan fanatisme.
Tan menulis:

“Logika adalah senjata rakyat melawan kebodohan yang diorganisir.”

—Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika (1943)

Sebuah peringatan tajam: jika rakyat berhenti berpikir, maka penguasa akan berpikir untuknya—dan itu awal dari penjajahan baru.

Begitu pula Hamka, dalam Falsafah Hidup, menulis dengan nada lembut tapi tegas:

“Kemerdekaan bukanlah kebebasan tanpa batas, tapi kemampuan manusia untuk berdiri dengan akalnya sendiri.” —Hamka, Falsafah hidup (1950)

Hamka ingin rakyat punya harga diri spiritual: tunduk hanya kepada kebenaran, bukan kepada manusia.

Dari penjara kolonial sampai meja tulis para pemikir, benang merah mereka ialah: akal adalah bentuk tertinggi dari keberanian.

Dan tiga nama besar ini—Soekarno, Tan Malaka, dan Hamka—datang dari latar belakang berbeda, tapi bersuara dalam nada yang sama:

“Rakyat harus sadar, bahwa diam adalah bentuk pengkhianatan paling halus terhadap kemerdekaan.” — Blue Emotion Soul, 2025

CINTA TANPA TAKLID BUTA

Menghormati pemimpin itu adab, tapi memuja pemimpin itu penyakit.

Feodalisme baru tumbuh dari rasa kagum yang tak diimbangi logika.

Di situ letak jebakannya: cinta yang lupa batas, berubah jadi rantai.

Kita bilang cinta bangsa, tapi diam ketika bangsa disakiti.
Kita bilang dukung pemimpin, tapi marah ketika pemimpin diingatkan.

Filsuf Spinoza pernah menulis,

“Manusia sering berjuang demi perbudakannya seolah itu kebebasan.”
— Baruch Spinoza, Ethics (1677)

Dan kata-kata itu kini terasa nyata: rakyat mengira dirinya merdeka, padahal pikirannya dikunci oleh rasa kagum yang membutakan.

Kecanduan figur itu candu paling halus—meninabobokan logika, menidurkan nurani.

REFLEKSI TANAH AIR: SAAT RAKYAT LUPA DIRINYA

Negeri ini sering lupa siapa majikannya.

Setiap pajak, setiap keringat, setiap antrean di rumah sakit negeri—semua itu bukti bahwa rakyatlah yang menanggung beban republik ini.

Tapi di banyak kepala, rakyat masih dianggap “bawahan.”
Media menyanjung pejabat, rakyat disuruh bersyukur.

Feodalisme tak selalu datang dari istana.

Kadang ia tumbuh di hati rakyat yang terlalu kagum untuk sadar.
Kalau kita terus mabuk figur, bangsa ini akan kehilangan jiwa kritisnya.

Dan tanpa jiwa kritis, demokrasi cuma jadi panggung sandiwara—rakyat tepuk tangan, elit yang menulis naskahnya, 1945.

PENUTUP

Sudah waktunya rakyat berhenti menyembah simbol, dan mulai menegakkan akal sehat.

Karena bangsa besar bukan yang punya banyak pemimpin, tapi yang punya rakyat yang tahu dirinya berdaulat.

Ingat, jabatan di negeri ini hanya berlaku lima tahun.

Tapi keputusan yang mereka ambil bisa berdampak sampai anak cucu kita kelak.

Kalau kita sungguh mencintai negeri ini, kalau kita benar ingin menjaga cita-cita kemerdekaan, maka bersikaplah dari sekarang.

UUD 1945 Pasal 28E Ayat (3) dengan jelas menyebut:

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Artinya, mengingatkan janji pejabat bukan tindakan makar—itu hak rakyat yang dijamin oleh konstitusi.

Kita hanya menagih, bukan menjatuhkan.

Kita hanya mengingatkan, bukan melawan.

Sebab kedaulatan rakyat bukan bentuk perlawanan, tapi bukti kecintaan pada republik.

“Kekuasaan itu pinjaman, tapi kedaulatan rakyat adalah permanen.”
— Blue Emotion Soul, 2025. (Atu bahrudin)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement