Khazanah
Beranda » Berita » Spiritualitas dan Ilmu yang Saling Menopang: Kritik Imam Ghazali terhadap Kaum Intelektual tanpa Ruhani dalam Al-Munqidz

Spiritualitas dan Ilmu yang Saling Menopang: Kritik Imam Ghazali terhadap Kaum Intelektual tanpa Ruhani dalam Al-Munqidz

Ilustrasi akademik seorang ulama modern yang diterangi cahaya spiritual di perpustakaan.
Seorang cendekia muslim duduk di antara rak buku besar, cahaya lembut turun dari atas kepalanya, sementara simbol-simbol logika dan cahaya spiritual saling berpadu di udara. Nuansa modern-akademik namun tetap bernuansa Islami.

Surau.co. Perkembangan intelektual dalam dunia modern sering menghasilkan banyak pemikir cerdas yang mampu mengurai teori rumit, memetakan logika, dan berdebat panjang. Namun dalam kenyataannya, tidak sedikit intelektual yang justru mengalami kekeringan batin. Kelelahan eksistensial muncul ketika akal bekerja tanpa cahaya spiritual. Fenomena ini bukan masalah baru. Imam al-Ghazali dalam mahakaryanya Al-Munqidz min ad-Dhalal menggambarkan sebuah kritik tajam terhadap kaum cendekiawan yang berbangga dengan logika, tetapi melupakan dimensi kebeningan hati.

Dalam paragraf awal Al-Munqidz, al-Ghazali menyentil mereka yang hanya mengandalkan nalar:

«فَلَمْ يَكْتَفُوا بِالْعَقْلِ، وَلَا رَكَنُوا إِلَى نُورِ الدِّينِ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا»
“Sebagian orang tidak mencukupkan diri dengan akal, namun juga tidak bersandar pada cahaya agama, sehingga mereka tersesat dan menyesatkan.”

Kritik al-Ghazali muncul bukan dari kebencian terhadap ilmu, tetapi dari keprihatinan mendalam. Akal tanpa spiritualitas melahirkan kesombongan intelektual, sedangkan spiritualitas tanpa akal menghasilkan kesesatan. Al-Ghazali menegaskan bahwa kebenaran sejati membutuhkan sintesis keduanya.

Akal sebagai Cahaya, namun Bukan Sumber Segala Cahaya

Akal punya peran besar tetapi bukan penentu mutlak. Al-Ghazali sangat menghargai akal. Bahkan, ia mendefinisikan akal sebagai anugerah Allah yang membawa manusia pada kehormatan. Namun akal tetap terbatas. Dalam Al-Munqidz, al-Ghazali menunjukkan bagaimana kaum intelektual sering terjebak pada rasa bangga berlebihan terhadap logika murni.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Beliau berkata:
«العَقْلُ لَهُ حَدٌّ يَقِفُ عِنْدَهُ، كَمَا لِلبَصَرِ حَدٌّ لَا يَتَعَدَّاهُ»
“Akal memiliki batas yang tidak dapat ia lewati, sebagaimana penglihatan juga memiliki batas yang tidak bisa ia lampaui.”

Penjelasan ini menunjukkan bahwa akal bagaikan mata: penting, namun tidak mampu melihat segala hal. Mata tidak mampu menembus kabut atau melihat di kegelapan. Begitu pula akal, ia tidak mampu menangkap hakikat ilahi tanpa bantuan cahaya wahyu.

Untuk memperkuat gagasannya, al-Ghazali mengutip ayat:
﴿وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا﴾
“Dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Isra’: 85)

Ayat ini mengingatkan manusia bahwa keberanian intelektual tidak boleh melampaui kerendahan hati di hadapan sumber ilmu yang sejati, yaitu Allah.

Banyak kaum intelektual pada masa al-Ghazali terjebak dalam kesombongan akademik. Mereka merasa mampu menggapai kebenaran hanya dengan logika, lalu meremehkan ilmu para ulama dan keteraturan spiritual. Fenomena tersebut terjadi lagi di zaman sekarang: orang yang pandai sering menertawakan ibadah, memandang remeh ilmu agama, dan menganggap hal-hal spiritual sebagai sesuatu yang tidak ilmiah.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Padahal Rasulullah bersabda:
«مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ رَفَعَهُ اللَّهُ»
“Siapa yang merendahkan diri karena Allah, Allah akan meninggikannya.”

Kerendahan hati menjadi kunci agar akal tetap sehat dan tidak kehilangan arah. Tanpa ketawadhu’, kecerdasan hanya melahirkan kebingungan. Al-Ghazali menyebut jenis intelektual seperti ini sebagai:

«الْمُتَفَلْسِفُونَ الَّذِينَ غَرَّهُمُ العَقْلُ»
“Para filosof yang tertipu oleh akal mereka.”

Intelektual Tanpa Ruhani: Penyakit Lama yang Menjadi Masalah Baru

Menurut al-Ghazali, masalah utama kaum intelektual bukan terletak pada kecerdasannya, tetapi pada keterputusan hubungan antara ilmu dan tazkiyah (pensucian jiwa). Orang yang banyak mengetahui teori sering menganggap dirinya sudah mencapai derajat tertentu, padahal hatinya masih penuh kegelapan.

Dalam Al-Munqidz, al-Ghazali menjelaskan kondisi itu:

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

«تَسَلَّحُوا بِالْعِلْمِ وَلَمْ يَتَزَوَّدُوا بِالتَّقْوَى فَضَلُّوا السَّبِيلَ»
“Mereka berbekal ilmu namun tidak membawa ketakwaan, sehingga tersesat dari jalan yang benar.”

Kalimat tersebut menunjukkan bahwa ilmu tanpa ruhani ibarat pedang tajam yang dipegang anak kecil — berbahaya, bukan manfaat. Bahkan al-Ghazali mengibaratkan mereka seperti orang lapar yang sibuk berbicara tentang makanan, tetapi tidak pernah benar-benar makan.

Kini kita menyaksikan fenomena serupa. Banyak cendekiawan modern yang mampu mempresentasikan teori besar, tetapi hidupnya rapuh dan mudah terserang kecemasan. Mereka memiliki gelar panjang, tetapi ruang batinnya kosong.

Hal ini membuktikan pentingnya keseimbangan. Akal memandu langkah, sedangkan spiritualitas menenteramkan jiwa. Ketika salah satu menghilang, manusia terjatuh pada kekeringan moral dan kegelisahan eksistensial.

Jalan Tengah: Integrasi Akal dan Spiritualitas Menurut Al-Ghazali

Menggunakan Akal untuk Mengenali Keterbatasannya. Salah satu kontribusi terbesar al-Ghazali adalah tawarannya untuk menggunakan akal sekaligus melampaui akal. Ia tidak meminta manusia meninggalkan logika, tetapi memintanya memahami batasan. Dalam Al-Munqidz, al-Ghazali menerangkan:

 

«العَقْلُ دَلِيلٌ، وَالنُّورُ الإِلَهِيُّ مُكَمِّلٌ لَهُ»
“Akal adalah penunjuk jalan, sedangkan cahaya ilahi adalah penyempurnanya.”

Pernyataan tersebut menjadi landasan bahwa kebenaran tidak semata-mata bersifat rasional, namun juga inklusif terhadap nur ilahi. Kebenaran sejati tidak menolak akal, tetapi juga tidak berhenti pada akal.

Ilmu yang Hidup dalam Jiwa yang Bersih. Al-Ghazali selalu menekankan bahwa ilmu yang bermanfaat hanya lahir dari hati yang bersih. Tanpa penyucian jiwa, ilmu hanya menyuburkan ego.

Bahkan al-Ghazali mengutip sabda Nabi:

«إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْقُلُوبِ مَا كَانَ خَالِصًا»
“Allah hanya menerima sesuatu yang berasal dari hati yang ikhlas.”

Ikhlas melahirkan kerendahan hati, dan kerendahan hati melahirkan keterbukaan terhadap bimbingan Allah. Inilah fondasi ruhani yang membuat seorang intelektual menemukan makna, bukan hanya data.

Kritik Al-Ghazali terhadap Intelektual Tanpa Spiritualitas: Relevansi Bagi Kita

Al-Ghazali sangat keras terhadap intelektual yang sombong. Mereka merasa sudah memahami segala hal sehingga menolak nasihat para ulama. Kerusakan terjadi ketika ilmu kehilangan etika dan keangkuhan menggantikan ketakwaan.

Al-Ghazali memberikan peringatan:

«مَنْ ظَنَّ أَنَّ العَقْلَ يُغْنِيهِ عَنْ هُدَى اللهِ فَقَدْ جَهِلَ العَقْلَ وَهُدَى اللهِ»
“Siapa yang mengira akal mencukupinya dari petunjuk Allah, sungguh ia tidak mengenal akal maupun petunjuk Allah.”

Ilmu yang Terputus dari Allah Tidak Akan Menenangkan. Kaum intelektual yang tidak berakar pada spiritualitas sering mengalami tiga penyakit:

  1. Kesombongan (ujub intelektual)
  2. Kegelisahan (hilang makna)
  3. Kesesatan rasional (logika yang menipu)

Al-Ghazali menegaskan bahwa cahaya hidayah tidak turun pada hati yang sombong. Sebagaimana firman Allah:

﴿سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ﴾
“Aku palingkan dari ayat-ayat-Ku orang-orang yang menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar.” (QS. Al-A’raf: 146)

Penutup: Ketika Akal Menemukan Cahaya

Imam al-Ghazali mengingatkan bahwa perjalanan menuju kebenaran bukan hanya perjalanan akal, tetapi juga perjalanan hati. Kaum intelektual tanpa spiritualitas ibarat bangunan megah tanpa pondasi: indah dari luar, tetapi rapuh di dalam.

Ketika akal berjalan bersama cahaya ruhani, manusia menemukan ketenangan. Kebenaran tidak menjadi perkara debat, tetapi menjadi cahaya yang menuntun langkah. Semoga kita menjadi hamba yang cerdas, tetapi tetap tawadhu’; berilmu, tetapi tetap bersujud; mencari kebenaran, tetapi tidak pernah kehilangan Allah sebagai sumbernya.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement