Khazanah
Beranda » Berita » Empiris, Dogmatis, Mistis: Jalan Mana yang Paling Benar? Menurut Kitab Al-Munqidz

Empiris, Dogmatis, Mistis: Jalan Mana yang Paling Benar? Menurut Kitab Al-Munqidz

Ilustrasi tiga jalan kebenaran menurut Al-Munqidz: empiris, dogmatis, mistis.
Seorang pencari ilmu berdiri di persimpangan tiga cahaya: cahaya data empiris, cahaya tradisi keilmuan, dan cahaya spiritual. Di belakangnya tampak perpustakaan, masjid tua, dan horizon cahaya.

Surau.co. Dalam sejarah pencarian kebenaran, manusia terus bergulat dengan tiga jalan besar: jalan empiris, jalan dogmatis, dan jalan mistis. Ketiganya menawarkan cara berbeda untuk memahami realitas, tetapi tidak semuanya mampu menuntun manusia pada ketenangan batin dan kejernihan berpikir. Perdebatan ini tidak hanya hidup di ruang akademik modern, tetapi juga telah dibahas secara mendalam oleh Imam al-Ghazali dalam karyanya Al-Munqidz min ad-Dhalal, sebuah kitab yang menggambarkan pergulatan intelektual dan spiritual seorang ulama besar dalam mencari kebenaran hakiki.

Artikel ini mengajak pembaca menelusuri tiga jalan tersebut secara populer namun tetap berpijak pada tradisi ilmiah, terutama melalui kaca mata Imam al-Ghazali. Pada paragraf awal kitab Al-Munqidz, al-Ghazali menegaskan bahwa manusia tidak cukup puas dengan kebenaran yang turun-temurun. Setiap hati yang jernih akan bertanya, siapakah yang benar, jalan manakah yang paling lurus? Dalam bahasa Arab, al-Ghazali menggambarkan kegelisahannya:

« فطال تفكّري في تجسس حقائق الأمور »
“Pikiranku terus-menerus bergerak mencari hakikat dari segala perkara.”

Ungkapan ini menunjukkan bahwa pencarian kebenaran bukan sekadar aktivitas ilmiah, tetapi kebutuhan eksistensial. Di era modern ini, pencarian itu tidak kalah relevan. Banyak orang terjebak pada data empiris tanpa makna, pada dogma tanpa pemahaman, atau pada pengalaman mistis tanpa bimbingan syariat.

Karena itu, memahami tiga jalan ini membantu kita menimbang sudut pandang yang sering kali bertabrakan, namun sama-sama mengklaim kebenaran.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Jalan Empiris: Antara Cahaya Data dan Keterbatasannya

Jalan empiris, yang mengandalkan observasi dan pengalaman inderawi, menjadi primadona zaman sekarang. Banyak orang percaya bahwa sesuatu baru dianggap benar jika dapat diukur dan dibuktikan. Dalam dunia sains, pendekatan ini sangat penting. Namun, al-Ghazali mengingatkan bahwa data inderawi tidak selalu memberi kesimpulan yang final.

Dalam Al-Munqidz, beliau menjelaskan keraguan mendasarnya terhadap pancaindra:

« فقلت: الدليل العقلي يحكم بفساد إدراك الحس »
“Aku memahami bahwa akal menunjukkan bahwa pancaindra dapat keliru dalam penilaiannya.”

Contoh sederhana ialah ilusi optik: air yang tampak bergetar di kejauhan padahal hanya fatamorgana. Al-Ghazali mengajak kita menyadari bahwa empirisme penting, tetapi tidak mampu menjawab semua pertanyaan terdalam manusia.

Dalam konteks spiritualitas, Al-Qur’an mengingatkan bahwa kebenaran tidak hanya terletak pada apa yang terlihat oleh mata:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

﴿ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ ﴾
“Sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 46)

Ayat ini menegaskan bahwa pengalaman empiris harus diiringi kejernihan hati.

Empirisme tidak mampu menjawab pertanyaan metafisik: tujuan hidup, hakikat jiwa, atau arah moral manusia. Data laboratorium tidak memberikan nilai, hanya informasi. Karena itu, meskipun al-Ghazali telah mempelajari berbagai disiplin logika dan filsafat, beliau menyadari bahwa observasi saja tidak cukup untuk mencapai kebenaran yang menenteramkan batin. Dengan kata lain, empirisme bisa menjadi cahaya, tetapi tidak selalu menentu. Ia menerangi sebagian jalan, namun sering tidak mampu menjelaskan bagaimana manusia harus melangkah.

Jalan Dogmatis: Kekuatan Tradisi dan Bahayanya

Jalan dogmatis merujuk pada keyakinan yang berdasarkan otoritas—baik itu guru, kitab, atau tradisi kelompok. Dalam dunia agama, dogma diperlukan agar ajaran tidak berubah setiap generasi. Namun, al-Ghazali menegaskan bahwa keyakinan yang hanya diwariskan tanpa verifikasi dapat menjadi bahaya.

Beliau menggambarkan keadaan banyak orang yang mengikuti pendapat kelompok semata:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

« نشأتُ فوجدت نفسي متعصبًا لمذهبي الذي نشأت عليه »
“Aku mendapati diriku membela mazhab yang aku dapat sejak kecil.”

Ungkapan ini tidak menolak tradisi, tetapi mengingatkan bahwa membela kebenaran harus didasari kesadaran, bukan sekadar ikut-ikutan.

Al-Qur’an pun memperingatkan fenomena ini:

﴿ وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ﴾
“Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang Allah turunkan’, mereka menjawab: ‘Kami mengikuti apa yang kami dapati dari nenek-moyang kami.’” (QS. Al-Baqarah: 170)

Ayat ini menunjukkan bahaya dari kepatuhan buta.

Dogma yang benar dapat menjadi kompas moral yang kuat. Tradisi para ulama, sanad ilmu, dan warisan keilmuan Islam merupakan contoh dogma yang menuntun pada kebaikan. Namun, dogma juga bisa menjerumuskan jika dijalankan tanpa akal kritis.

Karena itu, al-Ghazali mengajarkan keseimbangan: tradisi harus dihormati, tetapi akal dan hati tetap berperan untuk memahami makna terdalam agama. Keyakinan sejati lahir dari pemahaman, bukan sekadar pengulangan.

Jalan Mistis: Ketika Cahaya Hati Mengalahkan Cahaya Akal

Dalam Al-Munqidz, al-Ghazali menggambarkan titik balik perjalanan intelektualnya ketika ia berjumpa dengan jalan mistik kaum sufi. Jalan ini menekankan penyucian hati, mujahadah, zikir, dan mendekat kepada Allah. Menurut al-Ghazali, kebenaran sejati hanya dapat dirasakan jika hati bersih dan terhubung dengan Tuhan.

Beliau menerangkan:

« وعلمتُ يقينًا أنّ الصوفية هم السالكون لطريق الله على الحقيقة »
“Aku mengetahui dengan pasti bahwa kaum sufi adalah orang-orang yang benar-benar berjalan di jalan Allah.”

Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman batin dapat membuka cakrawala yang tidak dijangkau akal murni.

Al-Qur’an menguatkan pentingnya penyucian jiwa:

﴿ قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا ﴾
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya.” (QS. Asy-Syams: 9)

Meskipun jalan mistis menawarkan kedalaman spiritual, ia bukan tanpa potensi kesalahan. Banyak pengalaman batin yang keliru jika tidak dipandu oleh syariat. Karena itu, al-Ghazali menegaskan bahwa spiritualitas harus disandarkan pada Al-Qur’an, hadis, dan bimbingan ulama.

Dengan demikian, jalan mistis tidak menggantikan akal ataupun tradisi, tetapi melengkapinya. Pengalaman batin yang benar justru memperkuat pemahaman agama, bukan memisahkannya dari rambu-rambu wahyu.

Jalan Mana yang Paling Benar Menurut Al-Munqidz?

Menurut Imam al-Ghazali, kebenaran tidak terletak pada salah satu jalan saja. Empirisme penting untuk memahami dunia fisik, dogma (dalam arti ajaran wahyu) penting untuk mendapat petunjuk ilahi, dan spiritualitas penting untuk menghidupkan hati.

Kebenaran paling utuh hadir ketika ketiganya berpadu. Al-Ghazali menunjukkan bahwa akal, wahyu, dan hati tidak boleh berdiri sendiri. Ketika ketiganya bekerja bersama, manusia menemukan:

  • kejernihan berpikir,
  • keteguhan keyakinan,
  • dan kelembutan spiritual.

Inilah jalan tengah yang membuat umat Islam kokoh sepanjang sejarah.

Sejumlah ulama mengikuti pandangan al-Ghazali. Syekh Ibn ‘Aṭā’illah al-Sakandari berkata:

« من لم يذق طعم الحقيقة بالعلم ضلّ، ومن لم يذق طعم الحقيقة بالعمل زلّ »
“Siapa yang mencari kebenaran hanya dengan ilmu akan tersesat, dan siapa yang mencarinya hanya dengan amal akan tergelincir.”

Ungkapan ini sejalan dengan pesan imam al-Ghazali: jalan menuju kebenaran harus mencakup dimensi ilmu, akal, dan penyucian batin.

Penutup

Pada akhirnya, kitab Al-Munqidz tidak memaksa kita memilih salah satu dari tiga jalan. Imam al-Ghazali mengajak kita meresapi bahwa kebenaran adalah cahaya yang Allah pancarkan ke hati manusia yang jujur, sabar, dan terus mencari. Data empiris, pemikiran dogmatis, dan pengalaman mistis menjadi tiga tangga menuju cahaya itu.

Perjalanan kebenaran tidak selalu mudah. Kadang kita tersesat dalam data, kadang terjebak dalam dogma, kadang terbuai oleh rasa. Namun, selama hati tetap mencari Allah, cahaya itu tidak akan padam.

Semoga kita selalu diberi kekuatan untuk menempuh jalan ilmu, jalan iman, dan jalan ihsan secara seimbang. Ketika tiga jalan ini berpadu, manusia menemukan kedamaian yang sulit dijelaskan oleh kata, tetapi sangat mudah dirasakan oleh hati.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement