Khazanah
Beranda » Berita » Solusi Moderat antara Akal dan Iman menurut Imam al-Ghazali dalam Kitab Al-Munqidz

Solusi Moderat antara Akal dan Iman menurut Imam al-Ghazali dalam Kitab Al-Munqidz

Ilustrasi ulama duduk di perpustakaan kuno dengan cahaya akal biru dan cahaya iman emas bertemu di atas kitab Al-Munqidz.
Seorang ulama berjubah duduk di perpustakaan kuno. Di sisi kiri muncul cahaya biru sebagai simbol akal, di sisi kanan cahaya emas sebagai simbol iman. Keduanya menyatu di atas kitab Al-Munqidz yang terbuka

Surau.co. Perdebatan tentang hubungan akal dan iman sering muncul dalam sejarah pemikiran Islam, terlebih saat manusia menghadapi derasnya informasi dan logika digital. Banyak orang mempertanyakan: apakah akal harus menjadi hakim atas iman, atau iman justru harus membatasi akal? Di tengah pertanyaan itu, warisan epistemologi Imam al-Ghazali dalam Al-Munqidz min ad-Dhalal hadir sebagai solusi moderat yang menghubungkan dua jalan besar tersebut.

Imam al-Ghazali menggambarkan kegelisahan intelektual secara jujur. Beliau menerangkan:

«فَلَمْ أَزَلْ فِي عَذَابٍ مِنَ النَّظَرِ فِي الْمَعْقُولَاتِ»
“Terus-menerus mengalami kegelisahan ketika meneliti perkara-perkara rasional.”

Kegelisahan itu tidak mematikan akal, namun justru menuntunnya menuju kedalaman iman yang tenang. Pada titik ini, pembahasan tentang moderasi akal dan iman menjadi sangat relevan, terutama bagi generasi yang hidup di tengah pusaran hoaks, keragu-raguan, dan kelelahan berpikir.

Akal sebagai Jalan Pencarian, Iman sebagai Cahaya Penuntun

Imam al-Ghazali memposisikan akal sebagai alat penting dalam memahami realitas. Akal memberdayakan manusia untuk menguji klaim kebenaran, memeriksa struktur logika, dan menimbang argumentasi. Namun, al-Ghazali juga menegaskan bahwa akal memiliki batas. Ketika akal berdiri sendirian, ia mudah tersesat dalam keraguan.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Dalam Al-Munqidz, al-Ghazali menerangkan:

«الْعَقْلُ لَهُ غَايَةٌ يَقِفُ عِنْدَهَا»
“Akal memiliki batas yang menyudahinya.”

Kalimat ini penting, sebab al-Ghazali tidak menolak akal sebagaimana sebagian ekstrem tasawuf yang mengabaikannya, dan juga tidak mendewakannya seperti sebagian kelompok rasionalis abad pertengahan. Al-Ghazali menyeguhkan prinsip bahwa akal harus bekerja, namun tetap sadar bahwa wilayah metafisik, hakikat ruh, dan perkara gaib tidak dapat dijangkau sepenuhnya dengan logika.

Dalam konteks modern, posisi ini menjadi penyeimbang bagi masyarakat yang terlalu percaya pada data tanpa kebijaksanaan, atau terlalu mengandalkan intuisi tanpa argumentasi.

Akal dapat berjalan, tetapi iman memberi arah. Iman menjadi cahaya yang menerangi langkah pencarian intelektual, bukan pembatas yang mengekang. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

﴿أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ﴾
“Tidakkah mereka memperhatikan bagaimana unta itu diciptakan?” (QS. Al-Ghāsyiyah: 17)

Ayat ini menjadi peneguh bahwa akal dianjurkan untuk bekerja. Namun, Allah juga menyebut iman sebagai cahaya:

﴿اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ﴾
“Allah adalah penolong orang-orang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya.” (QS. Al-Baqarah: 257)

Cahaya dalam ayat ini menjadi simbol bahwa iman tidak menghapus akal, tetapi justru menuntunnya keluar dari kegelapan keraguan.

Imam al-Ghazali menjelaskan hubungan ini dengan ungkapan:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

«نُورٌ يُقْذَفُ فِي الصَّدْرِ»
“Sebuah cahaya yang dilemparkan ke dalam dada.”

Cahaya ini bukan pengganti akal, tetapi pelengkapnya.

Empat Kelompok Pencari Kebenaran dan Kelemahan Akal Murni

Dalam Al-Munqidz, al-Ghazali membagi pencari kebenaran ke dalam empat kelompok: teolog (mutakallimun), filsuf, batiniyyah, dan sufi. Ia mempelajari masing-masing jalan dengan serius, bukan sekadar membaca ringkasan.

Dalam penjelasan beliau:

«فَأَقْبَلْتُ بِجِدٍّ بَالِغٍ عَلَى طَرِيقَةِ الْكَلَامِ»
“Aku menghadapkan kesungguhan mendalam pada metode ilmu kalam.”

Akal memainkan peran penting pada tahap ini. Al-Ghazali meneliti logika para filsuf, argumentasi para teolog, dan penafsiran para batiniyyah. Akan tetapi, penelitian itu justru membawanya pada kesimpulan bahwa akal—meski penting—tidak dapat menjadi raja dalam pencarian spiritual.

Akal dapat mengantar ke gerbang, tetapi tidak mampu memasuki ruang terdalam hakikat.

Ada dua alasan utama:

  1. Akal dapat salah ketika berhadapan dengan hal-hal metafisik.
    Contoh klasik adalah perdebatan tentang alam azali atau makhluq—perdebatan panjang yang tidak menghasilkan kesepakatan.
  2. Akal bekerja berdasarkan data indrawi.
    Sementara banyak kebenaran ruhani berada di luar jangkauan indera.

Hadis Nabi ﷺ menegaskan keterbatasan manusia dalam melihat realitas:

«إِنَّمَا الْعَيْنُ تُدْرِكُ وَلَا تُدْرِكُ الْقُلُوبُ»
“Yang dilihat mata hanyalah bagian, tetapi hati dapat melihat apa yang mata tidak mampu.”

Hadis ini mengisyaratkan bahwa penglihatan hati—ditopang oleh iman—mampu melampaui jangkauan logika.

Moderasi ala Imam al-Ghazali: Akal sebagai Jalan, Iman sebagai Tujuan

Menggabungkan rasio dan spiritualitas Solusi moderat menurut al-Ghazali adalah menjadikan akal sebagai alat untuk memulai pencarian, dan iman sebagai tujuan untuk menyempurnakannya. Beliau tidak menolak ilmu, tidak juga memutlakkan rasa. Moderasi ini membuat Al-Munqidz menjadi lebih relevan dari sekadar teks klasik.

Al-Ghazali menegaskan:

«مَنْ لَمْ يَشْتَغِلْ بِالْعَقْلِ لَمْ يَصِلْ إِلَى الْحَقِّ»
“Barangsiapa tidak menggunakan akal, ia tidak akan sampai pada kebenaran.”

Namun di bagian lain beliau menegaskan:

«الطَّرِيقُ إِلَى الْحَقِّ مَفْتُوحٌ بِنُورِ الْإِيمَانِ»
“Jalan menuju kebenaran terbuka oleh cahaya iman.”

Kedua pernyataan ini membentuk sintesis yang indah: akal membuka pintu, iman menerangi jalan.

Relevansi Moderasi Ini di Era Digital. Di zaman ketika informasi berseliweran tanpa henti, banyak orang terjebak dalam dua ekstrem:

  1. Ekstrem rasionalisme: menolak agama bila tidak dapat dibuktikan secara ilmiah.
  2. Ekstrem anti-intelektual: menolak logika dan sains karena dianggap melemahkan iman.

Moderasi al-Ghazali memandu masyarakat untuk memadukan keduanya secara seimbang: gunakan akal untuk memilah informasi, gunakan iman untuk meneguhkan arah hidup. Pandangan ini sangat penting bagi pembaca online yang hidup dalam dunia penuh hoaks, ilusi, dan informasi tanpa otoritas.

Saat Akal Menemukan Ketenangan dalam Iman

Pada akhirnya, perjalanan al-Ghazali membawa pada kesadaran bahwa pengalaman spiritual memiliki wilayah yang tidak dapat dihitung oleh akal. Beliau mengatakan:

«طَرِيقُ الصُّوفِيَّةِ هُوَ الْحَقُّ»
“Jalan kaum sufi adalah jalan kebenaran.”

Kesimpulan ini tidak berarti menolak akal, namun menempatkannya pada posisi yang benar: akal membuka, iman mengokohkan, dan pengalaman spiritual menyempurnakan.

Intuisi—atau dzauq menurut tradisi sufi—menjadi dimensi yang melengkapi nalar. Dalam banyak kesempatan, intuisi menghadirkan ketenangan ketika rasio mengalami kebingungan. Inilah bentuk tertinggi dari moderasi: bukan menghilangkan satu sisi, tetapi menggabungkan keduanya menjadi jalan yang seimbang.

Penutup

Moderasi yang ditawarkan Imam al-Ghazali bukan sekadar teori klasik. Ia adalah panduan hidup untuk siapa saja yang ingin meniti jalan kebenaran tanpa terseret ekstrem rasionalisme maupun ekstrem spiritualisme.

Ketika akal diarahkan oleh iman, hidup menjadi tenang dan terarah. Pada akhirnya, manusia membutuhkan keduanya. Akal memberi struktur, iman memberi makna. Keduanya bertemu dalam cahaya yang sama—cahaya kebenaran yang menenangkan jiwa.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement