Surau.co. Menuntut ilmu selalu menjadi perjalanan panjang yang bukan hanya mengasah kecerdasan, tetapi juga membersihkan hati. Dalam Bahjatul Wasail, karya monumental Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, ilmu hadir bukan sebagai informasi semata. Sebaliknya, ilmu muncul sebagai cahaya yang menerangi jiwa dan menghidupkan batin. Oleh karena itu, Syekh Nawawi menegaskan bahwa keberkahan ilmu tumbuh dari adab penuntut ilmu terhadap gurunya. Tanpa adab, ilmu justru kehilangan ruhnya.
Menuntut Ilmu: Jalan yang Lebih dari Sekadar Pintar
Dalam kehidupan modern, banyak orang merasa cukup belajar hanya dengan membaca buku, menonton video, atau mengikuti seminar. Meskipun demikian, Syekh Nawawi mengingatkan bahwa ilmu sejati memerlukan ketundukan hati. Selain itu, seseorang juga perlu kesungguhan jiwa agar ilmunya menyala. Dalam Bahjatul Wasail, beliau menulis:
وَاعْلَمْ أَنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَلَا يُعْطَى لِمَنْ عَصَاهُ
“Ketahuilah bahwa ilmu adalah cahaya yang Allah pancarkan ke dalam hati, dan tidak diberikan kepada orang yang durhaka kepada-Nya.”
(Bahjatul Wasail, hal. 17)
Kalimat ini menjelaskan bahwa ilmu bekerja dalam dua ranah sekaligus: intelektual dan spiritual. Oleh sebab itu, seseorang perlu membersihkan hatinya terlebih dahulu. Tanpa itu, cahaya ilmu tidak mungkin bertahan. Kemudian, Syekh Nawawi mengingatkan bahwa sikap sombong atau meremehkan guru dapat memudarkan cahaya tersebut.
Di zaman sekarang, semangat belajar sering melaju cepat, sementara adab tertinggal jauh. Banyak orang dengan mudah menilai atau bahkan menyerang gurunya. Padahal, menurut Syekh Nawawi, ilmu akan meredup ketika murid kehilangan rasa hormat.
Hormat kepada Guru: Syarat Ilmu Menjadi Cahaya
Syekh Nawawi al-Bantani memberikan perhatian khusus pada hubungan antara murid dan guru. Menurut beliau, guru berperan sebagai perantara cahaya Ilahi. Selain itu, guru juga memandu proses penyucian batin murid. Dalam Bahjatul Wasail, beliau menulis:
وَمَنْ لَمْ يُوَقِّرْ أُسْتَاذَهُ، حُرِمَ بَرَكَةَ الْعِلْمِ
“Barang siapa tidak menghormati gurunya, ia terhalang dari keberkahan ilmu.”
(Bahjatul Wasail, hal. 21)
Pesan ini sangat relevan di era informasi, ketika murid sering merasa lebih tahu hanya karena akses internet begitu luas. Namun Syekh Nawawi menjelaskan bahwa keberkahan tidak muncul dari banyaknya informasi. Sebaliknya, keberkahan lahir dari kerendahan hati.
Rasulullah ﷺ pun menegaskan hal serupa:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
(Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak menyayangi yang muda, dan tidak mengenal hak ulama di antara kami.)
(HR. Ahmad)
Dengan demikian, hubungan murid dan guru tidak dapat berdiri hanya pada kecerdasan. Sebaliknya, hubungan itu tumbuh dari adab yang halus dan hati yang penuh penghormatan.
Menyucikan Niat dalam Menuntut Ilmu
Selanjutnya, Syekh Nawawi menekankan pentingnya niat. Beliau menulis:
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِلدُّنْيَا فَقَدْ خَسِرَ، وَمَنْ طَلَبَهُ لِلَّهِ فَهُوَ الرَّابِحُ
“Barang siapa menuntut ilmu demi dunia, ia rugi; dan siapa menuntutnya demi Allah, dialah yang beruntung.”
(Bahjatul Wasail, hal. 23)
Banyak orang mengejar ilmu untuk memperoleh gelar atau jabatan. Namun, tujuan seperti itu justru menjauhkan seseorang dari hikmah. Sebaliknya, ketika ilmu diarahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka keberuntungan hadir. Oleh karena itu, seseorang perlu menata ulang tujuannya setiap kali ia belajar.
Ayat berikut pun menegaskan pentingnya iman dalam mengiringi ilmu:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
(QS. Al-Mujadilah: 11)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah meninggikan derajat orang berilmu ketika ilmunya menyatu dengan iman.
Ilmu dan Amal: Dua Sayap yang Tak Terpisahkan
Tidak hanya menata niat, seseorang juga perlu mengamalkan ilmunya. Syekh Nawawi berkata:
الْعِلْمُ بِلَا عَمَلٍ كَالشَّجَرَةِ بِلَا ثَمَرٍ
“Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah.”
(Bahjatul Wasail, hal. 25)
Perumpamaan ini menegaskan bahwa ilmu akan menjadi beban ketika tidak berubah menjadi amal. Oleh karena itu, tradisi pesantren selalu mendorong santri untuk mengamalkan ilmu sehari-hari—baik melalui sikap, tutur kata, maupun ibadah. Selanjutnya, amal itu akan memantapkan ilmu di dalam hati.
Di sisi lain, banyak orang modern menjadikan ilmu hanya sebagai simbol kecerdasan. Namun, tanpa amal, ilmu tidak memberi manfaat apa pun.
Menyemai Keberkahan Ilmu di Era Digital
Memasuki era digital, setiap orang dapat menyampaikan pendapat dan pengetahuannya melalui media sosial. Meskipun demikian, Syekh Nawawi mengajarkan bahwa ilmu tetap memerlukan adab. Oleh sebab itu, penuntut ilmu masa kini perlu menjaga etika digital. Misalnya, mereka perlu tabayyun sebelum menyebarkan informasi, menghormati ulama ketika berdiskusi, dan menghindari komentar yang mempermalukan pihak lain.
Selain itu, dunia digital menuntut seseorang untuk tetap rendah hati meskipun ia menguasai banyak pengetahuan. Tanpa kerendahan hati, ilmu justru melahirkan konflik.
Penutup: Ilmu yang Berkah Lahir dari Adab yang Indah
Pada akhirnya, pesan Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani dalam Bahjatul Wasail menjadi kompas yang selalu relevan. Beliau mengingatkan bahwa ilmu tidak hanya berada di kepala. Sebaliknya, ilmu tumbuh dari hati yang bersih, niat yang lurus, dan adab yang santun. Dengan demikian, seseorang dapat merasakan keberkahan ilmu dalam seluruh perjalanan hidupnya.
Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
