Surau.co. Di era media sosial, fenomena tukang debat bermunculan di mana-mana. Orang berdebat bukan untuk mencari kebenaran, tetapi untuk memenangkan argumen, menaikkan ego, atau sekadar membuat keramaian. Perdebatan tak lagi menjadi jalan menuju ilmu, tetapi berubah menjadi arena pertunjukan. Menariknya, Imam Abu Hamid al-Ghazali sudah mengkritik fenomena ini hampir seribu tahun lalu dalam Al-Munqidz min ad-Dhalal.
Melalui karya itu, ia membongkar bahaya debat yang tidak tulus, mengungkap penyakit hati para pencari popularitas, dan memperingatkan bagaimana ilmu bisa berubah menjadi perangkap jika tidak dibarengi keikhlasan. Artikel ini mengulas kritik Imam Ghazali terhadap tukang debat yang mengabaikan kebenaran, sekaligus relevansinya bagi kita hari ini.
Debat yang Kehilangan Ruh: Ketika Ilmu Menjadi Ajang Pamer
Imam Ghazali pernah berada di pusat dunia intelektual pada masanya. Ia menguasai ilmu kalam dan logika, melawan banyak kelompok pemikir, dan sering menjadi rujukan dalam perdebatan intelektual. Namun, ia kemudian menyadari bahwa banyak perdebatan hanyalah keributan kosong. Beliau mengkritik:
«أَكْثَرُ جِدَالِ النَّاسِ لَيْسَ لِطَلَبِ الْحَقِّ بَلْ لِلتَّغَلُّبِ وَالِانْتِصَارِ»
“Kebanyakan debat manusia tidak bertujuan mencari kebenaran, tetapi untuk mengalahkan dan memenangkan diri.”
Kritik ini sangat tajam dan relevan. Banyak orang masuk ke gelanggang debat karena dorongan ego, bukan karena haus ilmu. Media sosial memperburuk keadaan itu karena setiap orang ingin terlihat benar, terlihat pintar, dan terlihat lebih unggul.
Dalam Al-Munqidz, Imam Ghazali bahkan menyebut bahwa perdebatan seperti itu dapat merusak jiwa:
«وَيُثِيرُ مِنْ أَخْلَاقِ النَّفْسِ أَقْبَحَهَا»
“Debat kosong membangkitkan akhlak jiwa yang paling buruk.”
Ia mengamati bahwa debat tanpa ketulusan melahirkan sifat sombong, iri, dengki, dan keinginan untuk merendahkan lawan.
Peringatan Al-Qur’an: Debat Tanpa Landasan Hidayah
Al-Qur’an sendiri mengkritik perilaku berdebat tanpa ilmu. Allah berfirman:
﴿وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى﴾
“Dan di antara manusia ada yang berdebat tentang Allah tanpa ilmu dan tanpa petunjuk.”
(QS. Al-Hajj: 3)
Ayat ini menggambarkan bahwa debat semacam itu tidak membawa manfaat, bahkan bisa menyesatkan. Orang yang berdebat tanpa landasan ilmu berada dalam ilusi kemenangan, padahal ia semakin jauh dari hidayah.
Imam Ghazali menegaskan bahwa ilmu tanpa petunjuk hanya melahirkan kesombongan. Beliau menerangkan:
«العِلْمُ الَّذِي لَا يَزِيدُكَ خَشْيَةً لَا يَنْفَعُكَ»
“Ilmu yang tidak menambah rasa takutmu kepada Allah, tidak akan bermanfaat bagimu.”
Dengan kata lain, debat yang tidak meningkatkan ketakwaan hanyalah kesia-siaan.
Motif Buruk di Balik Debat: Ego yang Menyamar Sebagai Ilmu
Dalam Al-Munqidz, Imam Ghazali melakukan otokritik mendalam terhadap dirinya sendiri dan para ulama zamannya. Beliau berkata bahwa banyak ulama terjebak motif duniawi ketika berdebat:
«يُرِيدُونَ الْجَاهَ وَالرِّيَاسَةَ»
“Mereka menginginkan kedudukan dan kepemimpinan.”
Ia menambahkan bahwa pencari popularitas biasanya sangat rajin berdebat karena itu menjadi jalan cepat meraih pengaruh. Dengan kata lain, debat bukan lagi sarana mencapai kebenaran, tetapi panggung untuk memperkuat citra diri.
Imam Al-Ghazali menggambarkan keadaan itu dengan sangat jujur:
«فَتَبَيَّنَ لِي أَنَّ كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُ أَعُدُّهُ نِيَّةً صَالِحَةً، لَيْسَ كَذٰلِكَ»
“Ternyata banyak hal yang dulu aku kira niat baik, sama sekali bukan demikian.”
Pengakuan ini menunjukkan bahwa seorang ulama besar pun bisa tertipu oleh hawa nafsunya sendiri. Maka, wajar jika banyak orang awam di zaman sekarang terjebak di perangkap yang sama.
Hadis Nabi tentang Bahaya Debat untuk Menang
Rasulullah SAW juga telah memperingatkan pengikutnya agar menjauh dari debat yang tidak bermanfaat. Dalam sebuah hadis disebutkan:
«أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا»
“Aku menjamin sebuah rumah di pinggir surga bagi orang yang meninggalkan debat, meskipun ia berada di pihak yang benar.”
(HR. Abu Dawud)
Hadis ini sangat relevan dengan kritik Imam Ghazali. Jika orang benar saja dianjurkan meninggalkan debat, apalagi mereka yang berdebat hanya untuk memenangkan diri. Sikap meninggalkan debat yang tidak perlu menjadi tanda kerendahan hati dan kematangan spiritual.
Filsuf, Mutakallim, dan Tukang Debat: Kritik Ghazali pada Kelompok Pemikir
Dalam Al-Munqidz, Imam Ghazali mengulas empat kelompok yang pernah ia dalami: teolog (mutakallim), filsuf, batiniyah, dan sufi. Dari keempatnya, kelompok teolog dan filsuf paling sering terjebak dalam adu argumen. Ia menggambarkan mereka sebagai orang yang terlalu percaya pada kemampuan akal dan logika, namun sering mengabaikan dimensi ruhani.
Beliau berkata:
«لَا يَشْتَغِلُونَ بِتَصْفِيَةِ الْقُلُوبِ بَلْ بِتَجْوِيدِ الْخُطَبِ»
“Mereka tidak sibuk menyucikan hati, tetapi sibuk memperindah argumentasi.”
Ini adalah teguran bagi siapapun yang mengukur kebenaran dari kemampuan berbicara atau kecerdasan logika. Padahal, bagi Imam Ghazali, kebenaran sejati lahir dari hati yang bersih, bukan dari kepiawaian retorika.
Debat yang Menyebabkan Kerusakan Sosial
Debat yang tidak mencari kebenaran tidak hanya merusak diri sendiri, tetapi juga merusak masyarakat. Imam Ghazali melihat bahwa masyarakat akan terpecah jika para cendekiawan hanya saling menyerang tanpa tujuan mulia.
Beliau berkata:
«إِنَّ الْجِدَالَ يُفَرِّقُ وَلَا يَجْمَعُ، وَيُفْسِدُ وَلَا يُصْلِحُ»
“Debat itu memecah belah, bukan menyatukan; merusak, bukan memperbaiki.”
Jika kita melihat kondisi media sosial hari ini, ucapan Imam Ghazali terasa sangat nyata. Banyak orang kehilangan kemampuan berempati karena terbiasa menyerang lawan debat sebagai musuh, bukan sebagai sesama manusia.
Solusi Imam Ghazali: Kembalikan Tujuan Ilmu kepada Allah
Imam Ghazali menawarkan solusi yang sangat spiritual: kembalikan orientasi ilmu kepada Allah. Menurutnya, orang yang mencari kebenaran tidak akan terobsesi mengalahkan lawan. Ia hanya ingin hatinya terbuka terhadap petunjuk Ilahi.
Beliau menerangkan:
«الْحَقُّ يُطْلَبُ لِلْحَقِّ لَا لِلنَّفْسِ»
“Kebenaran harus dicari demi kebenaran itu sendiri, bukan demi ego.”
Jika niat itu tertanam, maka perdebatan menjadi kegiatan mulia: sarana saling mengingatkan, bukan saling mengalahkan.
Al-Qur’an pun memerintahkan agar berdiskusi dengan cara terbaik:
﴿وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ﴾
“Dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang paling baik.”
(QS. An-Nahl: 125)
Ayat ini menegaskan bahwa Islam tidak melarang debat, tetapi melarang debat yang buruk akhlaknya.
Pelajaran bagi Zaman Sekarang: Debat Harus Menghasilkan Kedamaian
Dari seluruh kritik Imam Ghazali, kita dapat menarik pelajaran penting: debat tanpa hati akan melahirkan kegelapan. Sebaliknya, debat yang berlandaskan ketulusan dapat menuntun pada ilmu yang benar. Kita perlu memperbanyak niat baik, mengutamakan akhlak, dan menghindari debat yang hanya membakar energi tanpa manfaat.
Terlebih di ruang digital, setiap kata bisa menjadi sedekah atau dosa. Setiap komentar bisa menjadi cahaya atau kegelapan. Maka, menahan diri sering kali jauh lebih mulia daripada membalas.
Penutup: Dari Debat Kosong Menuju Hening yang Mencerahkan
Imam Ghazali mengajarkan bahwa kebenaran tidak ditemukan dalam suara paling keras, tetapi dalam hati yang paling bersih. Debat yang tidak mencari kebenaran hanyalah angin kosong. Namun, ketika hati jernih, bahkan percakapan sederhana bisa menjadi pintu menuju hikmah.
Semoga kita mampu menahan ego, meninggalkan debat yang sia-sia, dan berjalan menuju cahaya ilmu sebagaimana Imam Ghazali — dengan hati yang jujur mencari kebenaran, bukan kemenangan.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
