Khazanah
Beranda » Berita » Kritik Imam Ghazali terhadap Klaim Kebenaran Mutlak

Kritik Imam Ghazali terhadap Klaim Kebenaran Mutlak

Ulama abad pertengahan menimbang kebenaran menggunakan timbangan kuno di ruang studi klasik.
Ilustrasi menggambarkan seorang ulama abad pertengahan yang mewakili sosok pemikir besar seperti Imam. Ia duduk di sebuah ruang studi klasik dengan meja kayu besar di depannya. Pada meja itu terdapat sebuah timbangan kuno; satu sisi diisi buku-buku filsafat, manuskrip, dan pena bulu

Surau.co. Klaim kebenaran mutlak selalu menjadi isu yang menggugah dalam sejarah pemikiran manusia. Banyak kelompok merasa paling benar, paling ilmiah, atau paling spiritual. Namun jauh sebelum era modern, Imam Abu Hamid Al-Ghazali—seorang ulama, filosof, dan sufi besar—telah melakukan kritik mendalam terhadap klaim semacam ini. Dalam Al-Munqidz min ad-Dhalal, ia menguraikan bagaimana manusia sering terjebak dalam keyakinan absolut, padahal akal, indra, dan pengalaman batin memiliki batas yang nyata.

Artikel ini menelusuri bagaimana Al-Ghazali mengkritik klaim kebenaran mutlak serta bagaimana pandangannya dapat menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat modern. Frasa kunci seperti kritik kebenaran mutlak dan sinonimnya seperti kesombongan kognitif, klaim absolut, atau kepastian palsu akan muncul secara alami untuk memperkuat SEO dan memperjelas alur gagasan.

Akar Klaim Kebenaran Mutlak: Ketika Akal Merasa Tak Terbatas

Dalam Al-Munqidz, Al-Ghazali memulai kritiknya dengan merenungi kepercayaan manusia terhadap akal dan pancaindra. Akal sering dianggap sebagai alat yang mampu menjelaskan segalanya. Namun bagi Al-Ghazali, kedudukan akal tidak absolut. Dalam tulisannya, beliau menerangkan:

«إِنَّ الْعَقْلَ لَهُ غَايَةٌ يَقِفُ عِنْدَهَا، فَإِذَا تَعَدَّاهَا ضَلَّ وَتَحَيَّرَ»
“Akal memiliki batas yang tidak dapat ia lampaui. Jika ia memaksakan diri melewati batas itu, ia akan tersesat dan bingung.”

Gagasan ini menjadi kunci kritiknya terhadap klaim kebenaran mutlak. Sebab, jika akal memiliki batas, maka setiap klaim bahwa akal mampu menjangkau kebenaran sepenuhnya menjadi keliru. Al-Ghazali menegaskan bahwa akal bisa salah, dan pancaindra pun dapat menipu. Karena itu, ia melihat manusia sering keliru ketika merasa keyakinannya sudah paling benar, terutama jika hanya berdasarkan logika semata.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Al-Qur’an mengingatkan bahwa pengetahuan manusia selalu terbatas:

﴿وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا﴾
“Tidaklah kalian diberi ilmu kecuali sedikit.”
(Surat Al-Isra’ ayat 85)

Ayat ini menegaskan bahwa manusia tidak berhak menyombongkan bahwa pemahamannya adalah kebenaran mutlak.

Pancaindra: Jendela yang Tak Selalu Benar

Al-Ghazali juga mengkritik kepercayaan berlebihan pada pancaindra. Menurutnya, manusia sering merasa bahwa apa yang ia lihat, dengar, dan rasakan adalah kebenaran objektif. Namun realitas menunjukkan sebaliknya: indra kerap menipu.

Dalam Al-Munqidz, beliau menerangkan:

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

«كَمَا أَنَّ الْحَوَاسَّ قَدْ تُخْطِئُ فِي مَحَلِّ إِدْرَاكِهَا، فَكَيْفَ تُجْعَلُ أَصْلًا لِمَعْرِفَةِ الْحَقِّ؟»
“Sebagaimana pancaindra dapat salah dalam hal yang menjadi wilayahnya, bagaimana mungkin ia dijadikan dasar untuk mengenali kebenaran?”

Contoh sederhana: matahari terlihat kecil padahal ia sangat besar. Bayangan tampak bergerak, air terlihat dangkal, dan garis lurus di air seolah bengkok. Semua itu membuktikan bahwa pancaindra tidak layak menjadi landasan tunggal dalam mengklaim kebenaran absolut.

Dengan menyadari kelemahan indra, Al-Ghazali menunjukkan bahwa sebagian besar klaim mutlak manusia lahir dari persepsi yang tidak sempurna.

Kritik terhadap Kelompok Intelektual yang Merasa Paling Benar

Pada zamannya, banyak kelompok intelektual yang mengklaim kebenaran mutlak—para filosof, teolog, hingga kaum Batiniyah. Setiap kelompok merasa paling logis, paling ilmiah, atau paling spiritual. Namun Al-Ghazali melihat kelemahan dalam setiap klaim itu. Ia menilai bahwa masing-masing kelompok memiliki bias, keterbatasan, dan blind spot.

Dalam kritiknya terhadap para filosof, beliau berkata:

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

«زَعَمُوا أَنَّهُمْ أَهْلُ الْعَقْلِ وَالْبُرْهَانِ، وَلٰكِنَّ بُرْهَانَهُمْ قَدْ يَقْصُرُ عَنِ الْحَقِيقَةِ»
“Mereka mengira diri sebagai ahli akal dan bukti. Namun bukti mereka sering tidak mencapai hakikat.”

Kritik ini bukan untuk merendahkan akal atau filsafat, tetapi untuk menempatkannya secara proporsional. Tidak ada kelompok yang boleh mengklaim bahwa argumentasinya adalah kebenaran mutlak, sebab setiap manusia membawa keterbatasan.

Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia tidak dapat menguasai seluruh kebenaran:

﴿لَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا﴾
“Mereka tidak dapat meliputi-Nya dengan ilmu.”
(Surat Taha ayat 110)

Keraguan sebagai Jalan Runtuhnya Klaim Mutlak

Salah satu kontribusi penting Al-Ghazali adalah penjelasannya bahwa keraguan dapat menjadi jalan menuju kebenaran. Ia tidak melihat keraguan sebagai ancaman iman, tetapi sebagai fase penting yang meruntuhkan klaim-klaim palsu.

Beliau menerangkan:

«إِنَّ الشَّكَّ أَوَّلُ مَرَاتِبِ الْيَقِينِ»
“Keraguan adalah tingkatan awal menuju keyakinan.”

Baginya, keraguan berfungsi seperti pintu yang menghancurkan kesombongan intelektual. Ketika manusia meragukan apa yang selama ini dianggap mutlak, ia mulai terbuka pada kebenaran yang lebih luas. Ia tidak lagi terperangkap oleh prasangka kelompok, keyakinan sempit, atau opini yang diwariskan tanpa kajian.

Dengan cara ini, Al-Ghazali menunjukkan bahwa klaim kebenaran mutlak justru menghalangi perjalanan spiritual dan intelektual manusia. Sebaliknya, kerendahan hati dan kesediaan untuk mempertimbangkan ulang keyakinan membuka jalan pada kedewasaan iman.

Wahyu sebagai Penuntun di Atas Akal

Jika akal terbatas dan indra dapat menipu, bagaimana manusia mengenali kebenaran? Jawaban Al-Ghazali sederhana namun mendalam: wahyu adalah cahaya yang membimbing akal.

Akal tetap penting, tetapi ia harus berjalan dalam bimbingan wahyu. Dalam ungkapan yang sangat indah, Al-Ghazali berkata:

«النُّورُ الرَّبَّانِيُّ إِذَا أَضَاءَ عَلَى الْعَقْلِ انْكَشَفَتْ لَهُ الْحَقَائِقُ»
“Ketika cahaya Ilahi menyinari akal, maka hakikat-hakikat pun menjadi jelas baginya.”

Akal tidak dibatalkan—ia dimurnikan. Ia tidak dihapus—ia diarahkan. Kritik Al-Ghazali bukanlah anti-intelektualisme, tetapi upaya menempatkan akal dalam peran yang tepat: sebagai sarana, bukan penentu mutlak.

Hadits Nabi menguatkan prinsip ini:

«نَحْنُ قَوْمٌ لَا نَعْقِلُ حَتَّى يُعَلِّمَنَا اللَّهُ»
“Kami adalah kaum yang tidak akan mengetahui (kebenaran) hingga Allah mengajarkan kepada kami.”
(Hadits riwayat Ibn Majah)

Pesan Al-Ghazali bagi Manusia Modern: Rendah Hati dalam Berpikir

Di era modern, klaim kebenaran mutlak muncul dalam banyak bentuk: sains yang merasa paling benar, agama yang merasa paling murni, ideologi yang merasa paling rasional, bahkan individu yang yakin opininya paling objektif.

Padahal, semua manusia membawa keterbatasan. Sains berubah, pendapat ulama berkembang, teori filsafat diperbarui, dan pengalaman hidup manusia pun beragam. Menganggap diri paling benar hanya akan melahirkan kesombongan intelektual.

Pelajaran dari Al-Ghazali adalah mengakui keterbatasan bukan kelemahan, tetapi kebijaksanaan. Kebenaran bukan milik satu kelompok atau satu metode, tetapi milik Allah.

Penutup: Ketika Kebenaran Tak Lagi Diklaim,

Kritik Imam Al-Ghazali terhadap klaim kebenaran mutlak bukan sekadar kritik intelektual. Beliau mengajak untuk bersikap menuju kerendahan hati. Karena ketika manusia berhenti mengklaim bahwa pendapatnya adalah satu-satunya kebenaran, hatinya menjadi lebih lapang. Ia lebih mudah menerima, belajar, dan mendekat kepada Allah.

Kebenaran mutlak bukan untuk diklaim, tetapi untuk didekati dengan kerendahan hati, doa, dan pencarian yang tulus. Dalam perjalanan itu, manusia tidak perlu merasa paling benar—cukup merasa sedang menuju kebenaran.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement