Surau.co. Pembahasan tentang keterbatasan akal manusia selalu menarik untuk diangkat, terutama ketika berkaitan dengan pandangan para ulama besar. Dalam tradisi keilmuan Islam, sedikit tokoh yang memberikan analisis sedalam Imam Abu Hamid Al-Ghazali, khususnya dalam karya terkenalnya, Al-Munqidz min ad-Dhalal. Dalam kitab ini, Al-Ghazali menguraikan perjalanan intelektualnya, pergolakan batin, dan kesadarannya bahwa akal, betapapun tajamnya, tetap memiliki batas tertentu ketika mencari kebenaran absolut.
Frasa kunci “keterbatasan akal manusia” dan sinonim seperti “kelemahan nalar” atau “batas rasionalitas” akan menjadi benang merah seluruh pembahasan. Artikel ini mencoba menjelaskan bagaimana Al-Ghazali memahami batas-batas tersebut, serta bagaimana keraguan justru menuntunnya menuju kedewasaan iman.
Akal Sebagai Anugerah, Namun Bukan Sumber Kebenaran Mutlak
Pada awalnya, Al-Ghazali sangat percaya diri dengan kekuatan akal. Ia terbiasa berdebat, mengajar, dan menulis berdasarkan kemampuan intelektualnya yang luar biasa. Namun ketika mulai merenungi hakikat pengetahuan, ia mendapati bahwa akal tidak selalu dapat diandalkan. Beliau berkata dalam Al-Munqidz:
«فَإِنِّي لَمَّا تَأَمَّلْتُ فِي أَحْوَالِ الْمَعْرِفَةِ رَأَيْتُ الْعَقْلَ قَدْ يَخُونُ فِي بَعْضِ مَا يَظُنُّهُ بَدِيهِيًّا»
“Ketika aku merenungi keadaan berbagai bentuk pengetahuan, aku melihat akal dapat keliru dalam hal-hal yang disangkanya pasti.”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Al-Ghazali sangat sadar bahwa akal dapat tertipu oleh persepsi. Bahkan, akal tidak bisa selalu memverifikasi dirinya sendiri. Sangat mudah bagi manusia merasa benar hanya karena argumen tampak logis, padahal logika bisa dibangun dari premis yang belum tentu benar.
Al-Qur’an pun mengingatkan bahwa tidak semua hal bisa disimpulkan hanya melalui nalar manusia. Allah berfirman:
﴿وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا﴾
“Dan tidaklah kalian diberi ilmu kecuali sedikit.”
(Surat Al-Isra’ ayat 85)
Ayat ini menjadi penguat bahwa akal adalah anugerah, tetapi bukan sumber yang sempurna.
Kerapuhan Pancaindra Menjadi Awal Keraguan
Sebelum meragukan akal, Al-Ghazali terlebih dahulu meragukan pancaindra. Ia mendapati bahwa indra kerap menipu. Air terlihat bergerak padahal diam, bayangan tampak terputus padahal menyatu, matahari terlihat kecil padahal jauh lebih besar dari bumi.
Beliau menerangkan:
«إِنَّ الْحَوَاسَّ تَغْتَرُّ وَتَخْدَعُ، فَكَيْفَ أَعْتَمِدُ عَلَى مَا يَخْتَلِفُ فِي نَقْلِهِ؟»
“Sesungguhnya pancaindra itu tertipu dan menipu. Bagaimana mungkin aku bergantung pada sesuatu yang berubah-ubah dalam menyampaikan informasi?”
Melalui refleksi ini, ia menyadari bahwa pancaindra bukan fondasi kokoh untuk mencari kebenaran. Jika indra yang menjadi alat utama manusia untuk mengenal dunia saja bisa keliru, maka akal yang menerima informasi dari indra juga rawan salah.
Di sinilah lahir keraguan awal yang menuntunnya pada pencarian lebih dalam. Keraguan bukan kehancuran iman; justru menjadi pintu menuju pemahaman yang lebih matang.
Akal dan Kesombongannya: Pelajaran dari Al-Ghazali
Dalam Al-Munqidz, Al-Ghazali menjelaskan bahwa akal memiliki kecenderungan untuk sombong. Ia sering merasa mampu menjangkau segala hal. Namun ketika dihadapkan pada persoalan metafisika, akal mulai limbung. Menurut Al-Ghazali, akal hanya mampu bekerja dalam wilayah yang dapat diindera atau dianalisis secara logis. Di luar itu, akal membutuhkan cahaya lain, yaitu petunjuk Ilahi.
Dalam tinjauan filosofisnya, beliau menerangkan:
«إِنَّ لِلْعَقْلِ حَدًّا يَقِفُ عِنْدَهُ، فَإِذَا تَجَاوَزَهُ ضَلَّ وَتَحَيَّرَ»
“Akal memiliki batas yang tidak bisa dilewati. Jika ia melampaui batasnya, maka ia tersesat dan bingung.”
Pandangan ini tidak bermaksud merendahkan akal. Justru sebaliknya, Al-Ghazali ingin menempatkan akal pada posisi terhormat namun proporsional. Akal adalah kendaraan, bukan tujuan akhir. Ia alat, bukan sumber kebenaran mutlak.
Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan bahwa tidak semua rahasia dapat diungkap melalui kemampuan rasional manusia:
﴿لَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا﴾
“Mereka tidak dapat meliputi-Nya dengan ilmu.”
(Surat Taha ayat 110)
Ini menguatkan posisi akal sebagai makhluk terbatas.
Krisis Epistemologi: Ketika Al-Ghazali Merasa Akal Tak Lagi Kokoh
Al-Ghazali mengalami masa krisis yang sangat mendalam. Seluruh keyakinan intelektualnya runtuh. Ia tidak percaya pada pancaindra, dan ia mulai meragukan akal. Dalam keadaan itu, ia mengaku tidak bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Beliau berkata:
«فَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ بِاخْتِيَارِي، بَلْ كَانَ ذَلِكَ بِفَضْلِ اللَّهِ الَّذِي شَفَى صَدْرِي»
“Pemulihan itu bukan karena usahaku, tetapi karena karunia Allah yang menyembuhkan hatiku.”
Di sinilah titik baliknya. Beliau menyadari bahwa akal dapat menunjukkan jalan, tetapi tidak mampu memberikan ketenangan batin. Ketentraman hanya datang dari cahaya hidayah, bukan dari kemampuan logika.
Ayat Al-Qur’an yang sangat sesuai dengan pengalaman ini adalah:
﴿أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ﴾
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”
(Surat Ar-Ra’d ayat 28)
Ketenangan yang ia cari bukan terletak pada argumentasi, tetapi pada kedekatan dengan Allah.
Wahyu sebagai Cahaya yang Menuntun Akal
Akal tidak dimatikan dalam pandangan Al-Ghazali. Ia justru dituntun, diarahkan, dan dicahayai oleh wahyu. Wahyu bukan musuh akal, tetapi sumber bimbingannya. Tanpa wahyu, akal ibarat kapal tanpa kompas; cerdas namun mudah tersesat dalam lautan luas.
Al-Ghazali menjelaskan bahwa akal memiliki kemampuan luar biasa, tetapi hanya dapat bekerja maksimal ketika berjalan dalam cahaya petunjuk Ilahi. Beliau menegaskan:
«النُّورُ الرَّبَّانِيُّ إِذَا أَشْرَقَ عَلَى الْعَقْلِ اتَّضَحَتْ لَهُ الْحَقَائِقُ»
“Ketika cahaya Ilahi menyinari akal, maka hakikat-hakikat akan terlihat jelas olehnya.”
Inilah salah satu intisari terpenting dalam Al-Munqidz: akal adalah lentera, tetapi lentera membutuhkan cahaya. Cahaya itu adalah wahyu.
Pelajaran Bagi Pembaca Modern: Antara Logika dan Tunduk kepada Allah
Di era modern, manusia sering memuja rasionalitas. Semua diukur dengan data, logika, dan analisis. Namun Al-Ghazali mengingatkan bahwa ada hal-hal yang melampaui kemampuan akal. Banyak pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh statistik atau teori. Pertanyaan tentang makna hidup, keadilan Tuhan, takdir, dan ketenangan batin tidak bisa dipahami hanya melalui nalar.
Justru ketika manusia menyadari keterbatasan akalnya, ia menjadi lebih rendah hati. Ia tidak lagi sombong atas pengetahuan, tetapi tunduk kepada yang Maha Mengetahui.
Penutup: Ketika Akal Merunduk, Hati Menemukan Cahayanya
Pada akhirnya, hikmah terbesar dari perjalanan Al-Ghazali adalah kesadaran bahwa akal adalah anugerah yang harus digunakan, tetapi tidak disembah. Ketika akal mencapai batasnya, hati dibimbing oleh cahaya Ilahi. Inilah titik di mana kedewasaan iman lahir: bukan ketika manusia tahu segalanya, tetapi ketika ia mengakui keterbatasannya.
Dalam kerendahan akal, tumbuhlah kebijaksanaan. Dalam pengakuan akan keterbatasan, muncullah cahaya keyakinan. Dan dalam kesadaran bahwa ilmu manusia sedikit, terbukalah ruang bagi hidayah untuk masuk dan menenangkan jiwa.
Semoga kita dapat belajar dari perjalanan intelektual dan spiritual Imam Al-Ghazali, serta menjadikan keterbatasan akal sebagai pintu menuju kedalaman iman.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
