Khazanah
Beranda » Berita » Kritik Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Munqidz terhadap Kebenaran Empiris

Kritik Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Munqidz terhadap Kebenaran Empiris

ilustrasi Al-Ghazali mengkritik kebenaran empiris
Ulama berjubah duduk merenung di perpustakaan kuno, di sekitarnya tampak objek-objek empiris seperti cahaya, bayangan, dan simbol-simbol pengetahuan, sementara suasana menggambarkan pergulatan batin dalam mencari kebenaran.

Surau.co. Pembahasan tentang kebenaran empiris menjadi sangat relevan pada masa ketika manusia mengagungkan data, bukti visual, dan berbagai bentuk verifikasi fisik. Kita hidup pada zaman ketika kamera dianggap saksi paling jujur, ketika angka dianggap fakta paling tinggi, dan ketika persepsi dianggap kebenaran yang tidak terbantahkan. Namun, Imam Al-Ghazali, seorang pemikir besar abad pertengahan, telah lama mengingatkan bahwa kebenaran empiris tidak selalu memadai.

Dalam Al-Munqidz min ad-Dhalal, Al-Ghazali mengungkapkan kritik mendalam terhadap kebenaran yang bersandar pada pancaindra. Kritik tersebut bukan sekadar skeptisisme, tetapi upaya untuk menunjukkan bahwa indera memiliki batas. Pada era ketika hoaks visual, manipulasi gambar, dan data yang dipoles menjadi senjata baru, kritik Al-Ghazali terasa semakin hidup.

Tulisan ini mengajak kita menelusuri bagaimana Al-Ghazali membongkar kelemahan kebenaran empiris dan mengapa pandangannya penting bagi manusia modern.

Kritik Al-Ghazali terhadap Indera: Dasar Skeptisisme Sehat

Dalam Al-Munqidz, Al-Ghazali memulai kritiknya dengan mempertanyakan keandalan pancaindra. Beliau berkata:

فَإِنِّي قُلْتُ فِي نَفْسِي: إِنَّ مَشَاعِرِي الْحِسِّيَّةَ تُكَذِّبُهَا الْمَعْقُولَاتُ
“Aku berkata dalam diriku: sesungguhnya inderaku ini sering didustakan oleh akal.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Melalui kalimat itu, Al-Ghazali ingin menunjukkan bahwa apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan tidak selalu sama dengan kenyataan. Ia memberikan contoh sederhana: bayangan tiang yang tampak pendek pada siang hari, namun menjadi panjang pada sore hari. Mata mengabarkan dua hal yang berbeda, padahal objeknya sama.

Kritik ini juga berlaku pada fenomena modern. Foto dapat dipotong, video dapat direkayasa, grafik dapat dimanipulasi, dan sudut pandang dapat membentuk persepsi salah. Kebenaran empiris terikat pada kondisi dan konteks, sehingga ia tidak dapat berdiri sendiri.

Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan:

فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Sesungguhnya bukan mata yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 46)

Ayat ini menegaskan bahwa persoalan kebenaran tidak hanya soal melihat, tetapi soal memahami.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Mengurai Kelemahan Persepsi: Mengapa Indera Menipu?

Kritik Al-Ghazali terhadap empirisme menunjukkan bahwa indera bekerja secara terbatas. Ia tunduk pada jarak, cahaya, ilusi, bahkan kondisi psikis seseorang. Oleh karena itu, persepsi tidak selalu jernih. Imam Al-Ghazali menggambarkan keadaan ini:

وَكَمْ مِنْ حَقِيقَةٍ تَبَيَّنَ فَسَادُهَا بَعْدَ أَنْ كَانَتْ الْحِسَانُ تَحْكُمُ بِصِحَّتِهَا
“Betapa banyak hal yang dianggap benar oleh indera, ternyata kemudian terbukti rusak (salah).”

Pernyataan ini selaras dengan temuan psikologi modern, bahwa manusia kerap mengalami bias persepsi, yakni kecenderungan melihat sesuatu sesuai keinginan atau kebiasaan. Dengan kata lain, kebenaran empiris sering kali dipengaruhi oleh faktor subjektif.

Di era digital, bias menjadi semakin kuat. Algoritma media sosial memperkuat apa yang ingin kita lihat, bukan apa yang benar. Oleh karena itu, kritik Al-Ghazali mengajak kita untuk berhati-hati terhadap kesimpulan yang hanya didasarkan pada pengamatan langsung.

Akal sebagai Penimbang: Jalan Keluar dari Kelemahan Indera

Meski mengkritik empirisme, Al-Ghazali tidak menolak sepenuhnya kebenaran pancaindra. Ia hanya mengingatkan bahwa indera memerlukan penimbang, yaitu akal. Beliau berkata:

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

فَالْآنَ قَدْ تَبَيَّنَ أَنَّ الْحِسَّ لَا يُوثَقُ بِهِ
“Maka kini telah jelas bahwa indera tidak dapat sepenuhnya dipercaya.”

Akal berfungsi memeriksa informasi dari pancaindra. Melalui akal, manusia melakukan analisis, verifikasi, dan penyimpulan. Akal memberi jarak terhadap apa yang dilihat, sehingga manusia tidak langsung menerima informasi mentah.

Namun Al-Ghazali tidak berhenti di situ. Beliau berkata:

فَلَمَّا خَاضَ الْعَقْلُ فِي هَذَا الْبَحْرِ الزَّخَّارِ، عَادَ مُضْطَرِبًا
“Ketika akal terjun ke lautan pemikiran yang luas ini, ia kembali dalam keadaan bingung.”

Pernyataan itu menunjukkan bahwa akal pun memiliki batas. Kesimpulan akal dapat berubah ketika premis berubah. Ia juga terpengaruh oleh preferensi pribadi, lingkungan, dan kebiasaan berpikir.

Dengan demikian, kebenaran empiris dan kebenaran rasional sama-sama tidak mutlak.

Hadis Nabi menegaskan perlunya kehati-hatian dalam menerima informasi:

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang berdusta bila ia menceritakan semua yang ia dengar.” (HR. Muslim)

Nabi mengajarkan bahwa kebenaran bukan sekadar soal menerima, tetapi soal memilih.

Dari Indera Menuju Cahaya Batin: Jalan Gnosis ala Al-Ghazali

Setelah mengkritik indera dan akal, Al-Ghazali menyimpulkan bahwa kebenaran tertinggi hanya dapat dicapai melalui pembersihan hati. Beliau menerangkan:

فَإِذَا نُقِّيَ الْقَلْبُ وَصَفَا تَجَلَّى فِيهِ نُورُ الْحَقِّ
Jika hati telah bersih dan jernih, maka cahaya kebenaran akan tampak di dalamnya.”

Konsep ini bukan menolak rasionalitas, tetapi melengkapinya. Kebenaran empiris membutuhkan akal, dan akal membutuhkan kejernihan hati. Tanpa hati yang bersih, seseorang bisa saja memanipulasi data atau menafsirkan fakta secara bias.

Bagi Al-Ghazali, kebenaran sejati tidak hanya tentang melihat dunia luar, tetapi juga tentang memahami gerak batin. Kebenaran batin memberikan kerangka moral untuk menimbang kebenaran empiris.

Ayat Al-Qur’an menyatakan:

وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ
“Dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang berilmu.” (QS. Al-Ankabut: 43)

Ilmu di sini bukan sekadar pengetahuan, tetapi juga kebijaksanaan.

Kritik Empirisme dalam Konteks Modern: Mengapa Relevan?

Kritik Al-Ghazali terhadap kebenaran empiris sangat relevan dalam dunia modern. Kita sering kali menganggap data sebagai sesuatu yang netral. Padahal, data diproduksi oleh manusia dengan tujuan tertentu. Dalam banyak kasus, angka memotret, tetapi tidak selalu menjelaskan. Foto merekam, tetapi tidak selalu jujur. Video menampilkan, tetapi tidak selalu utuh.

Ketika seseorang percaya sepenuhnya pada empirisme, ia mudah terperangkap pada manipulasi visual. Hoaks bekerja bukan karena manusia bodoh, tetapi karena manusia terlalu percaya pada apa yang tampak. Kebenaran empiris hanya menjadi bijak ketika ia dipandu oleh akal dan hati.

Pelajaran Etis dari Kritik Al-Ghazali: Tabayyun, Kesabaran, dan Keadilan

Tiga pelajaran penting dapat kita petik dari kritik Al-Ghazali terhadap empirisme:

  1. Tabayyun sebagai kewajiban moral

Verifikasi menjadi laku spiritual, bukan sekadar aktivitas intelektual.

  1. Kesabaran dalam menyimpulkan

Al-Ghazali mengajarkan agar kita tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Indera harus diperiksa, akal harus menimbang, dan hati harus jernih.

  1. Keadilan dalam menerima dan menyampaikan

Kebenaran bukan sekadar informasi, tetapi juga amanah. Ketika seseorang menyampaikan fakta tanpa memeriksa, ia merusak tata nilai.

Penutup: Ketika Cahaya Kebenaran Mengetuk Hati

Kebenaran empiris hanyalah pintu pertama dalam perjalanan panjang menuju pemahaman hakiki. Indera memberikan gambaran permukaan, akal memberikan kerangka berpikir, tetapi hati memberi cahaya. Kritik Imam Al-Ghazali mengajarkan bahwa manusia baru akan menemukan kebenaran sejati ketika ia melihat dunia dengan mata yang bekerja, akal yang jernih, dan hati yang bersih.

Dalam kegaduhan informasi modern, kita membutuhkan kebijaksanaan Al-Ghazali: bahwa kebenaran bukan hanya soal apa yang tampak, tetapi soal apa yang kita pahami dengan kejernihan dan kerendahan hati. Ketika hati terbuka, cahaya kebenaran akan mengetuk, menenangkan, dan menuntun langkah kita.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement