Khazanah
Beranda » Berita » Bagaimana Keraguan Menuntun pada Kedewasaan Iman menurut Al-Munqidz min ad-Dhalal

Bagaimana Keraguan Menuntun pada Kedewasaan Iman menurut Al-Munqidz min ad-Dhalal

Ulama abad pertengahan sedang merenung diterangi cahaya matahari di ruang studi klasik
Ulama abad pertengahan merenung di ruang studi dengan cahaya matahari masuk dari jendela.

Surau.co. Keraguan sering dianggap sebagai sesuatu yang harus dihindari. Banyak orang takut, ketika iman bersinggungan dengan keraguan, ia akan runtuh dan melemah. Namun Imam al-Ghazali, melalui karyanya Al-Munqidz min ad-Dhalal, menunjukkan bahwa keraguan justru bisa menjadi pintu menuju kedewasaan iman. Ia menjelaskan bahwa manusia mencapai keyakinan yang matang bukan dengan menerima segalanya secara pasif, tetapi melalui perjalanan batin yang jujur.

Dalam perjalanan intelektualnya, al-Ghazali mengalami fase di mana semua fondasi pengetahuannya runtuh. Ia meragukan pancaindra, akal, bahkan keyakinannya sendiri. Tetapi justru dari kegoncangan itulah ia menemukan titik kedewasaan iman yang baru: iman yang tidak lagi sekadar warisan, tetapi hasil dari pencarian yang panjang.

Artikel ini mengalir mengikuti gagasan utama al-Ghazali: bahwa keraguan yang dihadapi dengan keberanian dapat menjadi jembatan menuju keyakinan yang lebih matang dan tenang.

Keraguan yang Jujur: Awal dari Pencarian Kebenaran

Imam al-Ghazali membuka kisah intelektualnya dengan pengakuan yang mengejutkan. Beliau mengaku mengalami kegoncangan batin selama hampir dua tahun. Beliau berkata:

«إِنِّي لَمْ أَزَلْ فِي عِلَلِ شَكٍّ وَتَقَلُّبٍ فِي طَلَبِ الْحَقِّ»
“Aku senantiasa berada dalam sakitnya keraguan dan pergolakan dalam mencari kebenaran.”

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Keraguan itu bukan keraguan yang destruktif, melainkan keraguan yang jujur. Ia mempertanyakan sumber pengetahuannya: apakah pancaindra dapat dipercaya? Apakah akal benar-benar mampu menyingkap hakikat? Ia tidak ingin hanya menjadi manusia yang mewarisi keyakinan, melainkan yang memahami alasan mengapa ia beriman.

Pada titik ini, kita melihat bahwa al-Ghazali memandang keraguan sebagai proses, bukan tujuan. Ia menyadari bahwa perjalanan menuju kedewasaan iman terkadang harus melewati badai kebingungan, karena jiwa yang belum diuji tidak akan menemukan fondasi yang kokoh.

Keraguan yang dialami al-Ghazali lahir dari kejujuran intelektual, bukan dari niat meruntuhkan agama. Ia ingin menemukan kebenaran yang tidak hanya ia dengar, tetapi ia rasakan dalam jiwa. Sikap ini sejalan dengan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 260:

﴿وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَىٰ﴾
“Ketika Ibrahim berkata: ‘Wahai Tuhanku, perlihatkan kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan yang mati.’”

Permintaan Nabi Ibrahim bukan karena tidak percaya, tetapi karena ingin mencapai tingkat keyakinan yang lebih tinggi. Allah menjawab keraguan itu dengan menunjukkan tanda-tanda-Nya. Inilah jenis keraguan yang mendewasakan, bukan yang menjauhkan.

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Ketika Pancaindra Gagal Memberikan Kepastian

Al-Ghazali memulai kritik epistemologisnya dari pancaindra. Ia menjelaskan bahwa banyak hal yang tampak benar bagi mata ternyata tidak benar. Ia memberi contoh sederhana: bayangan yang terlihat diam padahal bergerak mengikuti cahaya.

Beliau menerangkan:

«فَإِنَّ الْعَيْنَ تُبْصِرُ الظِّلَّ ثَابِتًا وَالْعَقْلُ يَحْكُمُ بِأَنَّهُ مُتَحَرِّكٌ»
“Mata melihat bayangan itu tetap, tetapi akal menetapkan bahwa ia bergerak.”

Contoh ini membuktikan bahwa pancaindra hanya menyajikan kulit realitas. Ketika manusia terlalu percaya pada pancaindranya, ia rentan salah memahami dunia. Kesadaran inilah yang membuat al-Ghazali melangkah lebih jauh: jika alat terdasar manusia saja tidak sempurna, maka keraguan merupakan hal yang wajar.

Pancaindra sering membuat manusia salah menilai sesuatu—warna yang berubah karena cahaya, suara yang terdengar berbeda karena jarak, bahkan rasa yang tertipu oleh persepsi. Kelemahan ini mengajarkan satu hal penting menurut al-Ghazali: manusia harus rendah hati dalam menilai. Ia tidak boleh merasa telah memahami segala sesuatu hanya karena melihat atau merasakannya.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Kesadaran akan kelemahan pancaindra menuntun manusia pada pemahaman yang lebih mendalam: bahwa kebenaran tidak hanya berada di permukaan.

Akal yang Kuat Tetapi Tidak Sempurna

Setelah pancaindra runtuh dalam ujiannya, al-Ghazali mengalihkan perhatiannya kepada akal. Akal memang lebih tajam, lebih kuat, dan lebih mampu menyingkap kesalahan pancaindra. Tetapi, menurut al-Ghazali, akal pun memiliki batas.

Beliau berkata:

«وَرَاءَ الْعَقْلِ مَرْتَبَةٌ لَا يُدْرِكُهَا الْعَقْلُ»
“Di balik akal terdapat tingkatan lain yang tidak dapat dijangkau oleh akal.”

Akal bisa memahami hukum alam, logika, dan matematika, tetapi tidak mampu menyingkap hakikat ruh, takdir, atau hakikat ketuhanan. Ketika manusia memaksakan akalnya ke wilayah yang tidak mampu dijangkaunya, ia justru tersesat.

Kedewasaan Iman Dimulai Ketika Akal Menyadari Batasnya. Allah menegaskan keterbatasan akal dalam Surat Al-Isra ayat 85:

﴿وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا﴾
“Dan tidaklah kalian diberi ilmu kecuali sedikit.”

Ayat ini tidak merendahkan akal, tetapi menempatkannya pada posisi yang tepat. Kesadaran bahwa akal memiliki batas membuat manusia berhenti sombong. Inilah salah satu bentuk kedewasaan iman yang ditekankan al-Ghazali. Orang yang dewasa dalam iman tidak menolak akal, tetapi menggunakannya dengan bijaksana.

Cahaya Ilahi: Ketika Keraguan Berbuah Keyakinan

Setelah segala upaya rasionalnya tidak lagi memberikan jawaban, al-Ghazali mengalami fase lain dalam kehidupan spiritualnya: datangnya cahaya iman. Beliau menggambarkan peristiwa itu dengan:

«النُّورُ يَقْذِفُهُ اللّٰهُ فِي الْقَلْبِ»
“Cahaya yang Allah lemparkan ke dalam hati.”

Cahaya ini bukan sekadar keyakinan emosional. Ia hadir setelah perjalanan panjang, setelah keraguan, pencarian, dan kelelahan hati. Kebenaran yang muncul dari cahaya ini lebih kokoh daripada keyakinan yang datang dari pancaindra ataupun akal.

Iman yang dewasa adalah iman yang melewati ujian. Ia bukan iman yang dipaksakan, melainkan iman yang ditemukan. Dalam konteks inilah keraguan justru memiliki peran penting. Tanpa keraguan, manusia mungkin tidak pernah merenung, tidak pernah bertanya, dan tidak pernah mencari. Allah berfirman dalam Surat Ar-Ra’d ayat 28:

﴿أَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ﴾
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”

Keraguan membuat manusia mencari, dan pencarian membuat manusia menemukan ketenangan.

Pelajaran Akhlak dari Perjalanan Keraguan al-Ghazali

Salah satu pelajaran akhlak terpenting dari perjalanan al-Ghazali adalah kejujuran intelektual. Ia tidak menyembunyikan keraguannya, tidak membiarkan dirinya tenggelam dalam kepalsuan keyakinan. Ia berniat menemukan kebenaran, dan niat itulah yang menggerakkannya.

Keraguan yang diolah dengan benar melahirkan kerendahan hati. Orang yang tahu bahwa akal dan pancaindranya memiliki batas tidak akan sombong. Ia akan bersikap lembut, hati-hati, dan penuh kasih. Inilah tanda kedewasaan iman yang sesungguhnya.

Penutup: Ketika Keraguan Mengubah Arah Hati

Keraguan bukan selalu tanda lemahnya iman. Terkadang ia adalah panggilan agar manusia berhenti sejenak, menengok ulang keyakinannya, dan memperkuatnya dengan pemahaman yang lebih dalam. Seperti imam al-Ghazali, kita mungkin harus melalui badai kebingungan sebelum menemukan ketenangan.

Pada akhirnya, keraguan adalah jalan sunyi menuju kedewasaan iman. Dan ketika cahaya Allah memenuhi hati, semua yang sebelumnya gelap menjadi terang.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement