Surau.co. Pembahasan tentang kritik Imam al-Ghazali terhadap akal dan pancaindra dalam Al-Munqidz min ad-Dhalal selalu menarik karena menyentuh bagian paling mendasar dari kehidupan manusia: bagaimana kita mengetahui kebenaran. Pada masa mudanya, Ghazali bergulat dengan pertanyaan yang mengganggu hati dan pikirannya. Ia merasakan bahwa dunia yang ia lihat dengan pancaindra dan pahami dengan akal ternyata tidak selalu memberi jawaban yang memuaskan.
Frasa seperti “keterbatasan akal”, “kritik pancaindra”, dan “keraguan epistemologis Ghazali” sering muncul dalam pembahasan akademik karena memang inilah titik balik perjalanan intelektual dan spiritualnya. Namun bagi kita hari ini, refleksi Ghazali justru menawarkan sesuatu yang lebih lembut: ajakan untuk menyadari bahwa kebenaran tidak selalu bisa disentuh oleh mata atau diraih oleh logika.
Dengan gaya naratif yang mengalir, artikel ini mengajak pembaca menelusuri jejak renungan Ghazali, sekaligus memetik nilai akhlak di balik kegelisahan seorang pencari kebenaran.
Kelemahan Pancaindra: Saat Apa yang Terlihat Tidak Selalu Benar
Ghazali memulai kritiknya dari hal yang paling dasar: pancaindra. Ia menilai bahwa pancaindra sering keliru dalam menangkap realitas. Beliau menerangkan secara sederhana dalam Al-Munqidz sebagai sebuah contoh:
«فَالْحِسُّ يَقْضِي بِثُبُوتِ الظِّلِّ وَالْعَقْلُ يَقْضِي بِأَنَّهُ مُتَحَرِّكٌ»
“Pancaindra menetapkan bahwa bayangan itu tetap, tetapi akal menetapkan bahwa ia bergerak.”
Ketika seseorang melihat bayangan pohon di tanah, ia merasa bayangan itu diam. Namun setelah dipikirkan lebih jauh, bayangan itu sebenarnya bergerak seiring gerak matahari dan bumi. Pancaindra menyajikan potret yang menipu.
Ghazali ingin menunjukkan bahwa manusia tidak boleh terlalu percaya pada apa yang ia lihat. Ia mengajak pembaca menyadari bahwa pancaindra dapat menjadi jembatan untuk mengetahui sesuatu, tetapi tidak bisa dijadikan pondasi mutlak kebenaran.
Ghazali juga berbicara tentang bagaimana pendengaran bisa tertipu oleh gema, bagaimana warna tampak berubah ketika cahaya berubah, dan bagaimana jarak membuat sesuatu tampak lebih kecil. Semua ini menandakan bahwa pancaindra hanya menyajikan kulit luar realitas.
Manusia yang terlalu bergantung pada pancaindra mudah terjebak pada penilaian permukaan. Pada titik ini, refleksi Ghazali menuntun kita kepada akhlak berupa kehati-hatian dalam menilai seseorang atau sesuatu. Sebab apa yang tampak belum tentu menggambarkan apa yang sejatinya ada.
Menguji Akal: Ketika Logika Tidak Selalu Menembus Hakikat
Setelah membuktikan kelemahan pancaindra, Ghazali tidak berhenti. Ia beralih kepada akal. Ia mengakui bahwa akal lebih tinggi kedudukannya, lebih tajam, dan lebih mampu menyingkap kesalahan pancaindra. Namun ia juga melihat bahwa akal mempunyai batas yang tidak dapat ia langkahi.
Beliau menerangakan bahwa:
«وَرَاءَ الْعَقْلِ مُدْرِكٌ آخَرُ يُظْهِرُ بُطْلَانَ حُكْمِ الْعَقْلِ»
“Di atas akal masih ada daya tangkap lain yang dapat menyingkap kesalahan akal.”
Dengan kata lain, meski akal mampu meluruskan kesalahan pancaindra, bukan berarti ia tidak pernah keliru. Ada wilayah yang tidak mampu dijangkau oleh akal, seperti hakikat ruh, kehidupan setelah mati, atau cara kerja kehendak Allah.
Imam Ghazali menjelaskan bahwa akal adalah alat yang sangat bermanfaat untuk memahami dunia nyata, tetapi tidak bisa mengetahui apa yang tidak bisa diamati atau diuji secara rasional. Di sinilah akal menemukan batasnya.
Allah menegaskan hal ini dalam Surat Al-Isra ayat 85:
﴿وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا﴾
“Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: ruh adalah urusan Tuhanku, dan kalian tidak diberi ilmu melainkan sedikit.”
Ayat ini meneguhkan gagasan Ghazali bahwa manusia diberi akal, tetapi tidak diberi seluruh kebenaran. Ada wilayah yang hanya dapat dibuka oleh Allah kepada hamba-Nya.
Ketika Cahaya Ilahi Mengisi Kekosongan yang Tidak Dijangkau Akal
Imam Ghazali tidak pernah bermaksud melemahkan fungsi akal. Justru ia ingin menempatkannya secara proporsional. Ia mengakui bahwa pancaindra berguna, akal pun sangat bermanfaat. Namun ia menekankan bahwa kebenaran tertinggi datang dari cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati.
Beliau berkata:
«النُّورُ يَقْذِفُهُ اللّٰهُ فِي الْقَلْبِ، وَهُوَ مِفْتَاحُ الْمَعْرِفَةِ»
“Cahaya yang Allah lemparkan ke dalam hati adalah kunci pengetahuan.”
Cahaya ini tidak muncul begitu saja. Ia datang kepada orang yang membersihkan hati, mengasah akal, dan memanfaatkan pancaindra sebagai pintu awal saja, bukan sebagai tujuan akhir.
Para ulama klasik mendukung pandangan Ghazali. Abdullah ibn Mubarak berkata:
«رُبَّ عِلْمٍ كَثِيرٍ لَا يَنْفَعُ، وَإِنَّمَا يَنْفَعُ الْعِلْمُ الَّذِي يَقْعُدُ فِي الْقَلْبِ»
“Banyak ilmu tidak memberi manfaat; ilmu yang bermanfaat adalah yang menetap di dalam hati.”
Penjelasan ini menguatkan gagasan Ghazali bahwa pengetahuan bukan hanya tentang logika dan teori, tetapi tentang hadirnya cahaya kebenaran dalam diri seseorang.
Pelajaran Akhlak di Balik Kritik Imam Ghazali
Kritik imam Ghazali mengajarkan akhlak yang sangat penting: kerendahan hati. Ketika seseorang menyadari bahwa akalnya memiliki batas, ia tidak akan sombong dengan argumentasinya. Ketika ia menyadari bahwa pancaindranya sering keliru, ia tidak akan menilai orang atau situasi secara tergesa-gesa.
Kerendahan hati intelektual ini membuat seseorang lebih tenang, lebih bijak, dan lebih dekat kepada Allah. Pelajaran lain adalah pentingnya menyeimbangkan rasionalitas dan spiritualitas. Ghazali tidak mendorong orang untuk meninggalkan akal, tetapi menempatkannya pada posisi yang tepat. Ia ingin manusia berpikir, menimbang, dan merenung, tetapi tetap membuka hati kepada petunjuk Allah Keseimbangan inilah yang melahirkan iman yang matang dan akhlak yang halus.
Penutup: Ketika Akal Bertanya, Hati Menjawab
Perjalanan kritik imam Ghazali mengajarkan bahwa kebenaran bukan sesuatu yang bisa dipegang hanya dengan satu tangan. Ia memerlukan mata untuk melihat, akal untuk menimbang, dan hati untuk menerima cahaya yang datang dari Allah.
Saat akal menyadari keterbatasannya, ia akan merendah. Dan ketika hati merendah, Allah membuka pintu-Nya. Firman Allah dalam Surat Ar-Ra’d ayat 28 menguatkan hal ini:
﴿أَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ﴾
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”
Semoga kita termasuk orang-orang yang menggunakan pancaindra dengan hati-hati, menggerakkan akal dengan bijak, dan membuka hati kepada cahaya kebenaran yang datang dari Allah.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
