Surau.co. Dalam dunia akhlak dan spiritualitas Islam, Imam Ghazali dikenal sebagai sosok yang mencapai puncak hikmah dan kejernihan hati. Namun tidak banyak yang mengetahui bahwa perjalanan ini tidak dimulai dari ketenangan, melainkan dari keraguan yang mengguncang keyakinan dasarnya sejak muda. Dalam karya otobiografinya yang monumental, Al-Munqidz min ad-Dhalal, ia mengungkap bagaimana pencarian kebenaran membuatnya mempertanyakan apa yang selama ini ia yakini.
Di masa kini, ketika banyak orang merasakan kegelisahan spiritual, kisah kebimbangan Imam Ghazali dapat menjadi cermin sekaligus penuntun. Artikel ini menghadirkan frasa kunci seperti keraguan Imam Ghazali, iman yang diuji, serta perjalanan spiritual dalam Al-Munqidz, untuk membantu pembaca memahami bahwa proses menemukan iman yang matang sering kali dimulai dari pertanyaan yang mengusik.
Awal Keraguan: Ketika Hati Muda Ghazali Mulai Bertanya
Imam al Ghazali pada masa muda memiliki rasa ingin tahu yang luar biasa kuat. Ia mempelajari berbagai ilmu dan membandingkan pandangan para cendekia. Namun, semakin banyak ia mempelajari pengetahuan manusia, semakin besar keraguan yang tumbuh dalam dirinya. Dalam Al-Munqidz, beliau berkata dengan jujur:
«إِنِّي لَمْ أَزَلْ فِي طُورِ الِاقْتِبَاسِ مِنْ عُلُومِ الصِّبَا، أَتَجَرَّعُ غَصَصَ الشُّبُهَاتِ»
“Sejak masa belia aku menekuni ilmu, sambil menelan pahit getirnya berbagai keraguan.”
Ghazali menolak menerima kebenaran begitu saja tanpa bukti yang kokoh. Ia merasakan bahwa sebagian manusia hidup beragama hanya berdasarkan kebiasaan, bukan kesadaran. Keraguan itu membuatnya gelisah, tetapi juga membuatnya terus bergerak mencari kepastian.
Keraguan Imam Ghazali bukan sekadar kebimbangan emosional, tetapi kritik intelektual terhadap pengetahuan yang dianggapnya dangkal. Ia ingin menemukan dasar yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Beliau berkata:
«وَلَمْ تَزَلْ هِمَّتِي تَنْبَعِثُ إلَى فَهْمِ حَقَائِقِ الأُمُورِ»
“Semangatku tidak henti terdorong untuk memahami hakikat segala perkara.”
Ia merenungkan kembali apakah akal manusia cukup kuat sebagai landasan iman, ataukah ada cahaya lain yang lebih dalam. Pencarian inilah yang kemudian menjadi fondasi perubahan besar dalam hidupnya.
Akal dan Iman: Dua Cahaya yang Harus Saling Menguatkan
Ghazali menyadari bahwa akal memiliki peran penting dalam membedakan kebenaran. Namun akal memiliki batas. Baginya, iman tidak cukup jika hanya diwariskan, namun harus tersentuh cahaya batin yang dianugerahkan Allah. Beliau berkata:
«النُّورُ يَقْذِفُهُ اللّٰهُ فِي الْقَلْبِ، وَهُوَ مِفْتَاحُ أَكْثَرِ الْمَعَارِفِ»
“Cahaya kebenaran adalah sesuatu yang Allah lemparkan ke dalam hati, dan itu kunci dari banyak pengetahuan.”
Pernyataan ini sejalan dengan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 213:
﴿فَهَدَى اللّٰهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ﴾
“Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman terhadap kebenaran yang diperselisihkan itu.”
Ayat ini menguatkan bahwa hidayah bukan semata hasil kerja logika, tetapi anugerah dari Allah bagi hati yang mencari.
Keraguan yang awalnya mengguncang keyakinan Ghazali akhirnya membuka jalan baginya untuk memahami bahwa akal dan iman harus bersatu. Ia menyadari bahwa iman yang matang akan melahirkan akhlak yang baik. Bahkan ia menemukan bahwa tanpa pondasi iman yang kokoh, seseorang mudah terombang-ambing oleh pandangan dunia yang menyesatkan.
Keputusan Ghazali untuk memadukan akal, disiplin spiritual, dan koneksi batin kepada Allah kemudian menjadikannya tokoh besar yang berpengaruh hingga hari ini.
Mengapa Keraguan Penting dalam Pembentukan Akhlak?
Keraguan Sebagai Tangga Menuju Keyakinan. Salah satu kata Imam Ghazali :
«الشَّكُّ أَوَّلُ دَرَجَاتِ الْيَقِينِ»
“Keraguan adalah tangga awal menuju keyakinan.”
Keraguan yang benar tidak menjauhkan seseorang dari Allah. Justru keraguan dapat menjadi pintu untuk menemukan keyakinan yang lebih dalam dan sadar. Ghazali mengingatkan bahwa keyakinan tanpa proses pencarian sering kali rapuh.
Dalam Hadis riwayat Muslim, Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
«الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ»
“Kebaikan adalah apa yang menenangkan jiwa, dan dosa adalah apa yang membuat hatimu gelisah.”
Hadis ini menunjukkan bahwa kegelisahan hati kadang merupakan panggilan untuk memperbaiki iman. Demikian pula pengalaman Ghazali: keraguan mendorongnya mendalami ilmu, memperbaiki akhlak, dan mengokohkan keyakinan.
Pelajaran Akhlak dari Kebimbangan Imam Ghazali
Pelajaran utama dari kisah ini adalah kejujuran Imam Al Ghazali. Ia tidak menutupi keraguan intelektualnya meskipun ia adalah ulama besar. Kejujuran ini adalah akhlak mulia: keberanian mengakui keterbatasan diri demi mencapai cahaya kebenaran.
Dengan melalui proses panjang antara akal dan hati, Ghazali menunjukkan bahwa iman yang matang tumbuh dari pencarian yang tulus. Ia mengajarkan bahwa akhlak yang baik bukan hanya hasil hafalan, tetapi kesadaran batin yang tumbuh dari hubungan mendalam dengan Allah.
Penutup: Gelisah Adalah Pertanda Cahaya Sedang Mengetuk
Perjalanan Ghazali membuktikan bahwa kegelisahan bukanlah kegagalan. Ia adalah tanda bahwa Allah sedang mengetuk hati hamba-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Ar-Ra’d ayat 28:
﴿أَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ﴾
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”
Semoga kisah Imam Ghazali ini membuat kita berani menghadapi keraguan, sebab di balik keraguan ada jalan menuju keyakinan yang lebih jernih dan akhlak yang lebih matang.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
