Khazanah
Beranda » Berita » Cahaya Hati Menurut Al-Hikam : Melepaskan Ikatan Dunia dan Meraih Makrifat

Cahaya Hati Menurut Al-Hikam : Melepaskan Ikatan Dunia dan Meraih Makrifat

Ilustrasi seorang muslim yang bemunajat kepada Allah.
Ilustrasi seorang muslim yang bemunajat kepada Allah.

SURAU.CO-Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, melalui Kitab Al-Hikam, menjelaskan

“Bagaimana hati akan bercahaya jika gambaran-gambaran dunia melekat dalam cerminnya? Bagaimana ia akan menuju Allah Swt. jika syahwat-syahwatnya masih mengikatnya? Bagaimana ia ingin memasuki hadirat-Nya jika ia belum membersihkan dirinya dari junub kelalaian-kelalaiannya? Bagaimana ia bisa berharap mampu memahami inti rahasia-rahasia jika ia belum bertaubat dari kesalahan-kesalahannya?”

Menurut Al-Hikam, mustahil hati Anda mendapatkan cahaya Allah Swt. jika Anda masih menyekutukan-Nya dengan makhluk? Anda menempatkan dunia di atas-Nya. Anda menjalankan salat hanya demi pujian makhluk. Demikian pula, ketika bersedekah, Anda hanya mengharapkan balasan materi. Bahkan saat menunaikan haji, Anda ingin dihormati. Oleh karena itu, ikhlaskan niat Anda terlebih dahulu, sehingga semua hasrat dunia akan mengikuti Anda, meskipun Anda tidak menginginkannya.

Melepaskan Gambaran-Gambaran Dunia

Jika Anda ingin mendapatkan cahaya-Nya,  Syekh Ibnu Atha’illah meminta Anda untuk melepaskan gambaran-gambaran dunia yang ada di dalam hati Anda. Ikhlaskanlah diri Anda dalam beribadah kepada-Nya. Sebab, hati seorang hamba tidak mungkin menampung dua penguasa. Hanya satu yang berhak mendiaminya, yaitu Allah Swt.

Bagaimana mungkin Anda mencicipi manisnya mencintai Allah Swt. jika Anda masih larut dalam syahwat keduniaan? Contohnya, jika Anda tidak memiliki uang, Anda meninggalkan ibadah kepada-Nya; Anda justru menyibukkan diri dengan dunia. Sebaliknya, jika Anda memiliki harta, Anda melupakan-Nya begitu saja. Syahwat dunia telah membelenggu Anda, akibatnya, tabir menghalangi Anda mendapatkan makrifat-Nya.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Jika Anda ingin menuju-Nya, lepaskanlah ikatan itu. Jangan biarkan satu pun menempel pada diri Anda. Ikatan syahwat itu bagaikan benalu; jika Anda membiarkannya, ia akan menguasai Anda, membuat Anda sulit melepaskan diri darinya.

Bagaimana Anda bisa melihat-Nya di akhirat kelak jika Anda lalai beribadah kepada-Nya semasa di dunia ini? Hanya orang-orang yang saleh dan bersungguh-sungguh yang berhak mendapatkannya.

Oleh karena itu, kerjakanlah salat pada waktunya saat waktunya tiba. Keluarkanlah zakat segera saat waktunya datang. Dan, tunaikanlah haji segera saat kemampuan telah terpenuhi. Jangan menunda kewajiban.

Lalu, bagaimana Anda akan mampu memahami rahasia-rahasia Ilahi jika Anda tidak pernah bertaubat nasuha kepada-Nya? Bahkan ketika bertaubat, Anda biasanya hanya meninggalkan perbuatan dosa itu untuk sementara. Tidak lama berselang, Anda kembali melakukan perbuatan dosa.

Bagaimana hati akan bersinar jika dosa dan maksiat terus melumuri hati Anda? Bersihkanlah segera hati Anda dengan taubat nasuha agar menjadi bening dan mendapatkan pantulan cahaya Ilahi.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Cahaya Allah Menerangi Semesta

Kemudian Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari menjelaskan:

“Seluruh alam semesta adalah kegelapan, dan yang menyinari di dalamnya adalah keberadaan Allah Swt. Siapa pun yang melihat alam tetapi gagal melihat-Nya di dalam, di sisi, sebelum, atau sesudah dunia, berarti sinar dunia menyilaukannya dan ia terhalang dari matahari makrifat oleh awan-awan alam.”

Seorang hamba yang hatinya menggantungkan diri pada alam semesta—yaitu selain Allah Swt., baik harta, jabatan, keluarga, istri, dan lain sebagainya—tabir akan menghalanginya dari cahaya-Nya. Hatinya menjadi gelap dan tidak mampu melihat hakikat di balik suatu rahasia. Jika ia membiarkan kondisi ini dan tidak membersihkan hatinya, lama-kelamaan cahaya hati itu akan padam, akibatnya, ia tidak lagi merasakan efek dosa yang menimpanya.

Hanya ada satu Dzat yang meneranginya, yaitu keberadaan Allah Swt. Akan tetapi, ini bukanlah bermakna wihdatul wujud (hulul), yang berarti menyatunya seorang hamba dengan Allah Swt. Ini adalah paham yang melenceng dan sangat tidak dibenarkan dalam akidah Ahli Sunnah wal Jamaah. Maksudnya, ketika hati telah dihiasi oleh sifat-sifat-Nya yang layak dimiliki, seperti penyayang, pengasih, suka membantu, dan lain sebagainya, ia akan mendapatkan cahaya-Nya. Ia mampu melihat kebenaran. Hati kecilnya selalu menuntunnya pada jalan kebenaran.

Jika seorang hamba melihat alam semesta, kemudian tidak melihat kebesaran-Nya, maka itu menandakan kebutaan hati dan tertutupnya pandangan batinnya. Sebab, Allah Swt. berfirman:

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

“Dan, Dia-lah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi . . . .” (QS. az-Zukhruf [43]: 84).

Tanda kebutaan hati berikutnya ialah seseorang tidak dapat melihat Dia di sisinya, padahal Dia lebih dekat dari urat lehernya. Hal ini sesuai dengan firman-Nya:

“…Dan, Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf [50]: 16).

Selain itu, ia juga tidak dapat memahami bahwa Dia adalah Dzat Yang Maha Awal dan Maha Akhir. Tidak ada seorang pun atau apa pun sebelum dan sesudah-Nya. Ingatlah firman Allah Swt. berikut:

“Dia-lah yang awal dan yang akhir….” (QS. al-Hadiid [57]: 3).

Maksud melihat Allah Swt. di alam semesta bukanlah melihat-Nya dengan mata telanjang. Melainkan, Anda mampu menyaksikan kebesaran-Nya melalui ciptaan-Nya. Saat Anda melihat pemandangan indah, Anda takjub dan semakin mengetahui kemahabesaran-Nya. Ketika Anda menyaksikan hujan lebat disertai angin topan, Anda kagum dengan kemahadahsyatan-Nya.

Nasib Bagi yang Tertutup Hatinya

Sebaliknya, Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari meneranhkan bahwa orang yang tertutup cahaya hatinya tidak mampu memahami semua ini. Jika ia melihat pemandangan indah, ia hanya menikmatinya tanpa merenungkan Penciptanya. Jika ia mencicipi makanan enak, ia hanya merasakannya tanpa memikirkan siapa yang memberinya kenikmatan itu.

Di alam semesta ini, terbentang ayat-ayat Allah Swt. Oleh karena itu, para ulama membagi ayat-Nya menjadi dua bagian, yaitu ayat qur’aniyah dan ayat kauniyah. Ayat qur’aniyah adalah ayat-ayat yang terdapat dalam mushaf. Sedangkan ayat-ayat kauniyah adalah ayat-ayat yang terdapat di alam semesta ini. Orang-orang yang hatinya terhijab tidak akan mampu melihat dan mengetahui ayat-ayat kauniyah.(St.Diyar)

Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement