SURAU.CO – Kemaksiatan dan kelalaian bukanlah sekadar perbuatan buruk yang lewat begitu saja tanpa meninggalkan jejak. Ia adalah sesuatu yang tumbuh, berkembang, dan berbuah. Dan buahnya… pahit. Sangat pahit. Tidak hanya bagi pelakunya, tetapi juga bagi hati, kehidupan, dan hubungan seorang hamba dengan Allah Ta’ala. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang meremehkan dampak maksiat dan menganggapnya sebagai hal kecil—“cuma sedikit”, “semua orang juga melakukannya”, atau “nanti aku tobat lagi.” Namun kenyataannya, kemaksiatan dan kelalaian memikul konsekuensi yang lebih dalam daripada yang terlihat pada permukaan.
Tulisan ini mengajak kita merenungi apa saja “buah” dari kemaksiatan dan kelalaian, agar kita sadar bahwa setiap langkah menjauhi Allah pasti membawa kerugian, sementara setiap langkah mendekat kepada-Nya pasti membawa keberkahan.
Buah Pertama: Hati Menjadi Gelap dan Tertutup
Hati ibarat cermin. Ia dapat memantulkan cahaya petunjuk jika bersih. Namun ketika terkena noda-noda maksiat, cermin itu mulai buram hingga akhirnya tak mampu lagi memantulkan cahaya.
Para ulama salaf mengatakan:
“Sesungguhnya dosa itu menimbulkan gelap dalam hati. Dan tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali cahaya taat.”
Setiap dosa yang dilakukan akan menutup satu titik cahaya dalam hati. Sekali, dua kali, tiga kali… hingga akhirnya hati benar-benar tertutup kabut pekat. Inilah kondisi di mana kebaikan terasa berat dan keburukan terasa ringan. Ibadah menjadi beban. Al-Qur’an tidak lagi menyentuh rasa. Nasehat tak lagi menggugah.
Inilah kondisi paling berbahaya bagi seorang hamba. Sebab hati yang gelap tidak lagi mampu membedakan mana jalan keselamatan dan mana jalan kebinasaan.
Buah Kedua: Hilangnya Keberkahan dalam Hidup
Kemaksiatan adalah penghapus keberkahan. Kadang bukan rezekinya yang berkurang, tetapi keberkahannya yang hilang. Di luar tampak banyak, namun sedikit manfaatnya. Ada uang, tapi habis begitu saja. Lowong waktu, tapi terasa sempit dan terbuang percuma. Ada kesempatan, namun selalu gagal termanfaatkan. Ada keluarga, tapi sering bermasalah.
Orang yang bermaksiat kadang tidak menyadari bahwa ketidaktenangan hidup yang ia rasakan adalah akibat dari ulahnya sendiri. Ia mengira bahwa masalahnya berasal dari orang lain, keadaan, atau kondisi ekonomi. Padahal keberkahan itu seperti air—ketika maksiat dilakukan, ia akan menetes hilang perlahan-lahan.
Sebaliknya, ketaatan membuat sesuatu yang kecil menjadi besar. Membuat sesuatu yang sedikit menjadi cukup. Membuat hidup yang sederhana menjadi bahagia.
Buah Ketiga: Hilangnya Rasa Nikmat dalam Ibadah
Kemaksiatan ibarat racun yang membunuh kenikmatan ibadah. Seorang hamba mungkin masih salat, membaca Al-Qur’an, atau berzikir. Namun kenikmatannya hilang. Ketenangan itu sirna. Khusyuk tak lagi terasa.
Hati yang dipenuhi maksiat tidak akan mampu merasakan manisnya beribadah, sebagaimana lidah yang sakit tidak mampu merasakan lezatnya makanan. Banyak orang mengeluh: “Mengapa salatku kosong? Mengapa aku tidak bisa khusyuk? Mengapa zikirku hambar?” Mereka lupa bahwa maksiat—betapa pun kecilnya—dapat menutup jalan menuju kenikmatan ibadah.
Buah Keempat: Sulitnya Mendapat Hidayah
Allah tidak memberikan hidayah begitu saja kepada orang yang tidak menjaganya. Hidayah harus dipelihara dengan menjauhi maksiat dan memperbanyak ketaatan. Jika seseorang terus-menerus bermaksiat, hidayah akan menjauh darinya.
Seperti seseorang yang sedang memegang pelita, kemudian ia berjalan ke arah angin kencang. Sedikit demi sedikit cahaya itu meredup sampai akhirnya padam. Kemaksiatan menghilangkan kemauan untuk berubah, memupuskan semangat untuk memperbaiki diri, dan membuat pelakunya semakin nyaman dalam keburukan.
Hingga pada akhirnya ia tersesat, namun merasa bahwa jalan yang dilaluinya adalah benar.
Buah Kelima: Terjadinya Musibah dan Kesempitan Hidup
Tidak setiap musibah adalah hukuman. Kadang ia adalah ujian. Kadang ia adalah penyucian. Tetapi sebagian musibah adalah buah dari perbuatan maksiat.
Allah berfirman:
“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh apa yang telah kalian kerjakan.”
(QS. Asy-Syura: 30)
Kesempitan hati, sulitnya rezeki, rusaknya hubungan, hilangnya ketenangan, dan datangnya masalah bertubi-tubi kadang merupakan peringatan dari Allah agar hamba-Nya kembali. Namun manusia sering tidak sadar. Ia menyalahkan keadaan, padahal kesalahan ada pada diri sendiri.
Buah Keenam: Kemaksiatan Mengundang Kemaksiatan Lain
Maksiat itu seperti rantai yang saling menyambung. Ia tidak berdiri sendiri. Satu maksiat akan menarik maksiat berikutnya. Seseorang yang awalnya hanya lalai dalam ibadah, kemudian terdorong menunda salat. Setelah itu, ia mulai meninggalkan salat. Lalu hatinya semakin keras. Setelah itu, ia mulai mengikuti hawa nafsu. Kemudian terjatuh pada maksiat yang lebih besar.
Demikian pula sebaliknya: ketaatan mengundang ketaatan lain. Siapa yang membiasakan diri salat tepat waktu, Allah akan memudahkan hatinya untuk zikir. Siapa yang membiasakan membaca Al-Qur’an, Allah akan memudahkan hatinya untuk mencintai ilmu.
Maka berhati-hatilah, karena setiap maksiat—sekecil apa pun—adalah pintu bagi maksiat berikutnya.
Buah Ketujuh: Jauh dari Allah, Dekat dengan Kegelapan
Inilah buah paling berbahaya.
Tidak ada musibah yang lebih besar selain dijauhkan Allah dari rahmat-Nya. Tidak ada murka yang lebih dahsyat selain ketika Allah tidak lagi mempedulikan hamba-Nya. Dan tidak ada hukuman yang lebih menakutkan selain hati yang dibiarkan tenggelam dalam gelapnya kemaksiatan tanpa petunjuk.
Ketika seseorang mulai merasakan jauh dari Allah, sulit berdoa, malas beribadah, tidak tersentuh oleh nasihat, dan mulai senang pada keburukan—itu adalah tanda bahaya besar.
Karena sejatinya… orang yang jauh dari Allah tidak pernah benar-benar hidup.
Bagaimana Menghindari Buah Pahit Kemaksiatan?
Menghindari kemaksiatan bukan berarti menjadi manusia sempurna. Tidak ada manusia tanpa dosa. Namun ada perbedaan besar antara orang yang berdosa tetapi berusaha kembali, dan orang yang berdosa lalu menikmatinya.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan:
- Mulai dari hati yang bertaubat sungguh-sungguh. Taubat yang jujur akan membersihkan noda dan membuka pintu-pintu kebaikan.
- Perbanyak ibadah, bahkan jika hati belum siap. Ibadah adalah cahaya. Cahaya akan sedikit demi sedikit menghapus kegelapan.
- Jauhkan diri dari lingkungan dan sebab-sebab maksiat. Maksiat itu tumbuh dari kebiasaan dan lingkungan.
- Sibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat. Keburukan mudah merasuki hati yang kosong.
- Berdoalah agar Allah menjaga kita dari maksiat dan kelalaian. Tanpa pertolongan Allah, kita tak akan mampu menjaga diri sendiri.
Kembali Sebelum Terlambat
Kemaksiatan dan kelalaian tidak langsung merusak hidup seseorang secara drastis. Ia merayap perlahan-lahan, tidak disadari, sampai suatu hari seseorang terbangun dan mendapati dirinya jauh dari Allah, jauh dari ketenangan, dan jauh dari kebahagiaan yang hakiki.
Setiap maksiat memiliki buah. Dan setiap kelalaian memiliki akibat. Namun Allah adalah Maha Pengampun. Tidak peduli seberapa jauh seseorang tersesat, pintu taubat masih terbuka. Tidak peduli seberapa pekat kegelapan hati, selalu ada cahaya bagi orang yang mau kembali.
Semoga Allah menjaga kita dari kemaksiatan, membimbing kita menuju ketaatan, dan menjadikan kita hamba yang selalu sadar bahwa hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dalam kelalaian.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
