Khazanah
Beranda » Berita » Tuntunan Puasa dalam Kitab Bahjatul Wasail: Melatih Hati Menjadi Tunduk dan Sabar

Tuntunan Puasa dalam Kitab Bahjatul Wasail: Melatih Hati Menjadi Tunduk dan Sabar

ilustrasi puasa dalam Bahjatul Wasail karya Syekh Nawawi al-Bantani
Ilustrasi refleksi spiritual santri yang menahan diri dan merenungi makna puasa di alam terbuka.

Surau.co.Tuntunan puasa dalam Kitab Bahjatul Wasail – Puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga. Dalam Bahjatul Wasail, karya ulama besar Nusantara Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, puasa hadir sebagai latihan rohani yang membentuk kesabaran sekaligus menundukkan hawa nafsu. Karena itu, frasa kunci tuntunan puasa dalam kitab ini menjadi penting. Syekh Nawawi tidak sekadar menjelaskan hukum fikih, tetapi juga mengurai dimensi spiritual yang menuntun manusia menuju ketenangan dan kedekatan dengan Allah.

Menyentuh Hakikat Puasa yang Lebih Dalam

Dalam kehidupan modern yang bergerak cepat, banyak orang memahami puasa hanya sebagai ritual tahunan. Namun, menurut Bahjatul Wasail, hakikat puasa jauh lebih luas. Syekh Nawawi menegaskan bahwa puasa berarti menahan diri dari segala sesuatu yang menjauhkan dari Allah.

Beliau berkata:

قال الشيخ محمد نووي:
الصوم ليس مجرد الإمساك عن الأكل والشرب، بل الإمساك عن كل ما يبعد العبد عن ربه
“Puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari segala hal yang menjauhkan seorang hamba dari Tuhannya.”

Dari penjelasan ini, kita melihat bahwa puasa membawa unsur penyucian jiwa. Selain itu, Syekh Nawawi menekankan bahwa orang yang berpuasa tanpa mengendalikan lidah, pandangan, dan amarah, hanya memperoleh lapar, bukan kedekatan spiritual.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Menahan Nafsu, Melatih Kesabaran

Setiap hari, manusia berhadapan dengan berbagai godaan—dari aroma makanan hingga emosi yang mudah meletup. Melalui kondisi tersebut, Bahjatul Wasail mengajak pembacanya untuk tidak sekadar “menahan”, tetapi juga “melatih”. Syekh Nawawi menulis dengan kelembutan sekaligus ketegasan:

وقال أيضًا:
من لم يصبر في صيامه عن الغضب والغيبة، فصيامه ناقص المعنى وإن تمّ في الصورة
“Barang siapa tidak sabar dalam puasanya terhadap amarah dan ghibah, maka puasanya kurang bermakna meskipun secara lahir telah sempurna.”

Melalui pesan ini, kita memahami bahwa sabar bukan sekadar menahan diri dari gangguan, tetapi juga menguatkan jiwa agar tetap tenang. Terlebih lagi, pesan tersebut terasa sangat relevan pada era modern ketika kesabaran sering kali menjadi barang langka.

Fenomena Sehari-hari: Lapar yang Mengajarkan Rendah Hati

Ketika waktu berbuka tiba, banyak orang saling berbagi takjil, menunggu adzan, dan menyatu dalam kesederhanaan. Fenomena ini menunjukkan bahwa rasa lapar mampu mengajarkan kerendahan hati. Selain itu, momen tersebut memperlihatkan bagaimana puasa melembutkan hati manusia.

Syekh Nawawi menulis:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

وقال الإمام النووي البنتني:
بالجوع يعرف العبد قدر النعمة، ويزداد شكره لربه
“Dengan rasa lapar, seorang hamba mengetahui nilai nikmat dan bertambah syukurnya kepada Tuhannya.”

Oleh karena itu, puasa menjadi cara Allah mendidik manusia untuk mensyukuri setiap nikmat, sekecil apa pun. Tidak mengherankan jika banyak orang merasakan ketenangan batin setelah Ramadan, lebih dalam daripada kesenangan duniawi.

Puasa Sebagai Jalan Menuju Takwa

Tujuan tertinggi puasa adalah meraih takwa. Al-Qur’an menyatakan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
(QS. Al-Baqarah: 183)

Syekh Nawawi kemudian menafsirkannya dengan pendekatan spiritual:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

قال:
التقوى ثمرة الصيام، وهي أن يخاف العبد ربَّه في السر والعلن
“Takwa adalah buah dari puasa, yakni ketika seorang hamba merasa takut kepada Tuhannya, baik di hadapan manusia maupun dalam kesendirian.”

Dengan demikian, tuntunan puasa dalam Bahjatul Wasail tidak hanya membentuk ketakwaan pada Ramadan, tetapi menghidupkan kesadaran batin sepanjang hidup.

Menghidupkan Nilai Bahjatul Wasail di Tengah Kehidupan Modern

Puasa menurut Syekh Nawawi tidak berhenti pada ritual. Ia berkembang menjadi gaya hidup. Misalnya, kita bisa menjalani puasa lidah dari ucapan kasar di media sosial atau puasa mata dari tontonan yang merusak jiwa. Selanjutnya, kebiasaan ini dapat menguatkan kontrol diri sehingga hati lebih tenang dan tidak mudah goyah.

Ketika seseorang mampu menahan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat, jiwanya menjadi lebih damai. Pada titik itu, seseorang bisa merasakan nikmatnya kedekatan dengan Allah tanpa menunggu datangnya bulan Ramadan.

Hikmah dari Seorang Ulama Nusantara

Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani bukan sekadar ahli fikih, tetapi juga guru jiwa. Melalui Bahjatul Wasail, beliau memadukan hukum dan hikmah sehingga puasa dapat dipahami secara utuh. Beliau menegaskan:

الصوم مدرسة الإخلاص، فمن تعلمها صار قلبه مطمئناً بذكر الله
“Puasa adalah sekolah keikhlasan. Siapa yang mempelajarinya, hatinya akan tenteram dengan mengingat Allah.”

Selain itu, ajaran beliau memperlihatkan bahwa Islam di tangan ulama Nusantara menghadirkan cinta, kesadaran, dan kearifan spiritual.

Menjadi Hamba yang Lebih Tenang dan Bijak

Pada akhirnya, tuntunan puasa dalam Bahjatul Wasail mengajarkan bahwa menahan diri menjadi langkah pertama menuju kebijaksanaan. Sabar bukan berarti diam, tetapi kemampuan memilih reaksi yang tepat. Ketika hati telah tunduk, hidup terasa lebih ringan dan bermakna.

Puasa menjadi jembatan menuju ketenangan. Ia mengajak manusia memahami hikmah di balik setiap penahanan. Seperti pesan Syekh Nawawi: “Barang siapa berpuasa dengan hati yang sadar, ia telah membuka pintu surga bagi dirinya sendiri.”

Reza AS
Pengasuh Ruang Kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement