Khazanah
Beranda » Berita » Adab dan Hikmah dalam Shalat Jumat Berdasarkan Kitab Bahjatul Wasail

Adab dan Hikmah dalam Shalat Jumat Berdasarkan Kitab Bahjatul Wasail

Jamaah masjid mendengarkan khutbah Jumat dalam suasana damai dan religius.
Gambaran atmosfer khidmat dalam masjid tradisional Nusantara, menonjolkan nilai kebersamaan dan spiritualitas umat di hari Jumat.

Surau.co. Shalat Jumat merupakan salah satu ibadah yang memiliki kedudukan istimewa dalam Islam. Dalam Bahjatul Wasail karya Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, pembahasan tentang shalat Jumat tidak hanya menyangkut hukum dan syarat sahnya, tetapi juga menjangkau adab, hikmah, serta dimensi spiritual yang mendalam. Melalui kitab ini, umat diarahkan untuk memahami bahwa shalat Jumat bukan sekadar kewajiban mingguan. Sebaliknya, ia hadir sebagai momentum penyucian diri, penguatan ukhuwah, dan pengingat akan tanggung jawab sosial seorang hamba.

Makna Shalat Jumat sebagai Cermin Kehidupan Kolektif

Syekh Nawawi al-Bantani menegaskan bahwa shalat Jumat melambangkan kesatuan umat. Beliau menyampaikan:

“وَفِي الْجُمُعَةِ تَجْتَمِعُ الْقُلُوبُ كَمَا تَجْتَمِعُ الْأَبْدَانُ”
“Dalam Jumat, hati manusia berkumpul sebagaimana tubuh mereka berkumpul.”

Kutipan ini menunjukkan bahwa kebersamaan dalam Jumat jauh melampaui formalitas. Selain itu, shalat berjamaah beserta khutbahnya menjadi ruang spiritual yang menyatukan pandangan umat. Di era modern, ketika manusia sering terjebak dalam ritme hidup individualistik, makna tersebut semakin terasa. Jumat mengingatkan bahwa hidup membutuhkan harmoni sosial, bukan sekadar pencapaian pribadi.

Di masjid, status sosial tidak lagi memiliki tempat. Pengusaha berdiri sejajar dengan petani, pejabat sujud di sisi rakyat biasa. Fenomena ini menegaskan ruh egalitarian Islam yang terus dihidupkan setiap pekan.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Adab Menghadiri Shalat Jumat: Disiplin dan Keikhlasan

Selanjutnya, Syekh Nawawi menekankan pentingnya adab sebelum dan saat melaksanakan shalat Jumat. Beliau mengutip sebuah hadis:

“مَنْ بَكَّرَ وَاغْتَسَلَ، وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ، وَدَنَا وَلَمْ يُفَرِّقْ، وَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ، كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ.”
“Barang siapa mandi pada hari Jumat, berangkat lebih awal, berjalan kaki dan tidak berkendaraan, mendekat ke imam dan tidak memisah, serta mendengarkan khutbah tanpa berbicara, maka setiap langkahnya bernilai pahala satu tahun.”

Hadis tersebut memperlihatkan bahwa disiplin waktu, kesiapan hati, serta ketenangan sikap memiliki nilai spiritual yang sangat besar. Selain itu, adab-adab Jumat membentuk karakter muslim yang tertib, sabar, dan sadar akan pentingnya menghargai waktu.

Dalam konteks sosial, adab Jumat juga menumbuhkan rasa tanggung jawab. Jamaah belajar datang tepat waktu, menjaga kebersihan, dan menghindari tindakan sia-sia. Semua itu merupakan pelatihan karakter yang selaras dengan ajaran syariat.

Hikmah Spiritual: Jumat sebagai Cermin Diri dan Momentum Taubat

Lebih jauh, Syekh Nawawi mengutip sabda Nabi ﷺ:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

“يَوْمُ الْجُمُعَةِ سَيِّدُ الأَيَّامِ، فِيهِ خُلِقَ آدَمُ، وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ، وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا.”
“Hari Jumat adalah pemimpin hari-hari; pada hari itu Adam diciptakan, dimasukkan ke surga, dan dikeluarkan darinya.”

Kutipan ini membuka ruang tafakur tentang asal-usul manusia dan perjalanan hidupnya. Oleh karena itu, Jumat menjadi kesempatan untuk memperbarui niat, mengakui kelemahan, serta memperbaiki hubungan dengan Allah maupun sesama. Selain itu, khutbah Jumat yang berisi nasihat moral bukan hanya rangkaian kata. Ia hadir sebagai cermin batin yang menegur dan menuntun.

Syekh Nawawi menulis:

“الْخُطْبَةُ تَنْبِيهٌ لِلْغَافِلِينَ وَتَذْكِيرٌ لِلسَّاهِينَ”
“Khutbah adalah peringatan bagi yang lalai dan pengingat bagi yang alpa.”

Di tengah kehidupan modern yang penuh distraksi, khutbah memanggil manusia untuk berhenti sejenak. Ia mengajak jamaah mengevaluasi arah hidup: apakah masih menuju ridha Allah, atau justru bergeser jauh dari cahaya iman?

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Dimensi Sosial dan Moral dalam Shalat Jumat

Selain dimensi spiritual, Syekh Nawawi juga menekankan dimensi sosial Jumat. Dalam Bahjatul Wasail, beliau menyampaikan bahwa khutbah tidak hanya membahas pahala dan dosa. Lebih dari itu, ia mengingatkan tanggung jawab sosial seorang muslim.

Beliau menegaskan:

“مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلاتُهُ فِي الْجُمُعَةِ عَنِ الْمُنْكَرِ فَقَدْ ضَيَّعَ مَقْصَدَهَا.”
“Siapa yang shalat Jumatnya tidak mencegahnya dari kemungkaran, maka ia telah mengabaikan tujuannya.”

Pesan ini sangat relevan di tengah krisis moral publik. Oleh karena itu, shalat Jumat tidak boleh berhenti pada gerakan fisik. Ia harus berubah menjadi perilaku sosial yang mencerminkan keadilan, kejujuran, kepedulian, dan keberanian menegakkan kebaikan.

Ketika jamaah pulang dari masjid dengan hati lapang dan tekad baru untuk memperbaiki diri, maka hakikat Jumat benar-benar hidup.

Refleksi Akhir: Menghidupkan Ruh Jumat dalam Kehidupan Modern

Akhirnya, Syekh Nawawi melalui Bahjatul Wasail mengingatkan bahwa hakikat Jumat terletak pada perpaduan antara ibadah dan kehidupan sosial. Nilainya tidak berhenti pada rukuk dan sujud. Sebaliknya, ia meresap ke dalam perilaku sehari-hari.

Dalam ritme kehidupan modern yang serba cepat, spirit Jumat mengajak manusia untuk melambat sejenak—mendengarkan suara hati, merenung, dan memperbaiki diri. Selain itu, Jumat menuntun agar kemajuan duniawi tetap seimbang dengan kedalaman spiritual.

Seorang muslim yang memahami Jumat menurut Syekh Nawawi bukan hanya sibuk datang ke masjid. Ia membawa cahaya Jumat ke dalam keluarganya, pekerjaannya, dan masyarakatnya. Sebab pada akhirnya, Jumat bukan hanya ritual, tetapi panggilan untuk memperbarui iman dan memperkuat kemanusiaan.

Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement