Surau.co. Shalat dalam pandangan Bahjatul Wasail karya Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani bukan sekadar kewajiban ritual. Lebih dari itu, ia menjadi jembatan antara hamba dan Allah yang menuntun hati menuju kesadaran spiritual tertinggi. Dalam kitab ini, Syekh Nawawi tidak hanya menjabarkan hukum dan syarat sah shalat, tetapi juga menggerakkan batin agar setiap gerakan serta bacaan memancarkan cinta sekaligus pengakuan penuh terhadap keagungan Sang Pencipta.
Fenomena menarik di masyarakat saat ini ialah munculnya kecenderungan sebagian orang menjadikan shalat sebagai rutinitas semata. Waktu-waktu shalat dikejar layaknya daftar tugas harian, bukan sebagai momentum penyucian jiwa. Padahal, menurut Syekh Nawawi, inti shalat terletak pada hudhūrul qalb—kehadiran hati dalam seluruh ibadah.
Dalam Bahjatul Wasail, beliau menulis:
“الصلاة معراج المؤمن، بها يتقرّب إلى الله تعالى ويستنير قلبه بنور المعرفة.”
“Shalat adalah mi’raj bagi orang beriman. Dengan shalat, seseorang mendekat kepada Allah dan hatinya diterangi cahaya pengetahuan.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa shalat bukan kewajiban kosong, melainkan pengalaman spiritual yang mengangkat manusia menuju kesadaran Ilahi.
Shalat Sebagai Jalan Kedekatan dengan Allah
Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa shalat memiliki dua dimensi: lahir dan batin. Dimensi lahir meliputi tata cara serta rukun yang sesuai syariat. Namun, dimensi batin jauh lebih mendalam, sebab ia menyentuh bagaimana hati hadir dalam setiap rukuk dan sujud.
Beliau menulis:
“من لم يحضر قلبه في الصلاة، فلا صلاة له وإن أتى بأركانها.”
“Barang siapa yang hatinya tidak hadir dalam shalat, maka ia belum benar-benar shalat, meski ia telah melaksanakan seluruh rukunnya.”
Karena itu, banyak muslim yang merasa telah beribadah, namun tidak menemui ketenangan. Kesibukan sering mendorong seseorang untuk terburu-buru. Akan tetapi, Syekh Nawawi mengingatkan bahwa shalat bukan pekerjaan yang harus diselesaikan, melainkan pertemuan yang patut dinikmati.
Ketika seseorang memandang shalat sebagai ruang dialog dengan Tuhannya—bukan sekadar ritual—maka makna terdalam dari ketenangan akan muncul dengan sendirinya.
Makna Sujud: Menundukkan Ego dan Menyatu dengan Kehadiran Ilahi
Sujud menjadi titik puncak kedekatan hamba dengan Allah. Syekh Nawawi menegaskan:
“أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد، فاحذر أن تسجد بجسدك دون قلبك.”
“Sedekat-dekatnya seorang hamba dengan Tuhannya ialah saat ia bersujud. Maka berhati-hatilah agar jangan bersujud hanya dengan jasad, tanpa hati.”
Pesan ini menampar lembut kesadaran kita. Banyak orang menundukkan tubuh, tetapi tidak menundukkan hatinya. Ego tetap berdiri, bahkan tumbuh lebih tinggi. Padahal, hakikat sujud justru menuntun manusia untuk meleburkan ego dan meninggikan kehambaan.
Dalam kehidupan nyata, sujud menjadi waktu terbaik untuk memohon, mengadu, dan menenangkan batin. Selain itu, di tengah hiruk-pikuk dunia modern, Syekh Nawawi seakan mengingatkan bahwa kesejatian hidup hanya dapat ditemukan ketika hati bersandar pada tanah sujud.
Shalat Sebagai Penjernih Jiwa dan Penghapus Dosa
Syekh Nawawi juga menjelaskan dimensi penyucian dalam shalat:
“الصلاة تطهّر النفس من أدران الذنوب كما يطهّر الماء الجسد من الأوساخ.”
“Shalat membersihkan jiwa dari noda dosa sebagaimana air membersihkan tubuh dari kotoran.”
Analogi ini sangat kuat. Setiap kali seseorang berwudhu lalu berdiri di hadapan Allah, ia sebenarnya sedang mencuci hatinya dari debu dunia. Seperti air yang mengalir lembut, shalat pun mengalirkan kejernihan dan meredam gejolak batin.
Terlebih lagi, dalam dunia modern yang penuh distraksi, banyak orang mencari ketenangan melalui metode meditasi tertentu. Namun, Syekh Nawawi menegaskan bahwa shalat yang dijalankan dengan kesadaran penuh sudah cukup menjadi penjernih hati yang sangat kuat dan sangat sederhana.
Menghidupkan Spirit Shalat dalam Kehidupan Harian
Spirit shalat yang diajarkan Syekh Nawawi tidak berhenti di atas sajadah. Sebaliknya, ia justru memancar dalam perilaku, tutur kata, dan interaksi sosial.
Allah berfirman:
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-‘Ankabut: 45)
Oleh karena itu, ketika seseorang menjalankan shalat dengan hati yang hadir, perilakunya berubah secara alami. Ia menjadi lebih sabar, lebih lembut, dan lebih sadar terhadap kehadiran Allah dalam setiap langkah.
Pada akhirnya, shalat bukan hanya lima kali panggilan ibadah, tetapi juga lima kali kesempatan untuk memperbarui kesadaran diri dan kembali pulang kepada fitrah Ilahi.
Penutup: Shalat sebagai Cermin Kehidupan Spiritual
Melalui Bahjatul Wasail, Syekh Nawawi mengajak kita melihat shalat sebagai perjalanan batin. Ketika hati hadir, setiap rakaat menjadi jembatan menuju Allah. Ketika jiwa bersih, sujud menjadi titik damai yang tak tertandingi.
Syekh Nawawi seakan mengingatkan bahwa shalat bukan beban, melainkan anugerah. Dalam dunia yang semakin riuh, shalat menyediakan ruang sunyi untuk berdialog dengan Sang Pemilik Kehidupan.
Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
