Surau.co. Tata cara membaca Bahjatul Wasail bukan sekadar menelaah kitab klasik. Sejak awal, kegiatan ini menjadi proses spiritual yang menghubungkan santri dengan samudra ilmu para ulama terdahulu. Karena itu, tata cara membacanya selalu menuntut adab, ketekunan, dan keikhlasan untuk mencari ridha Allah.
Kitab Bahjatul Wasail karya Syekh Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi al-Bantani—atau Syekh Nawawi al-Bantani—menguraikan berbagai aspek ibadah dan akhlak. Kitab ini memadukan fiqih dasar dengan nilai tasawuf, sehingga banyak pesantren tradisional menjadikannya pegangan penting. Oleh sebab itu, proses membacanya tidak boleh tergesa-gesa. Diperlukan ketulusan hati, bimbingan guru, dan metode yang tepat agar maknanya meresap dengan utuh.
Memahami Kitab sebagai Jalan Menyatu dengan Ilmu
Di pesantren, segala ritual keilmuan dimulai dari niat. Para santri belajar untuk membersihkan hati sebelum membuka halaman pertama kitab. Para guru mengajarkan bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya hanya masuk ke hati yang jernih.
Rasulullah ﷺ bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Dengan demikian, kewajiban itu tidak hanya berkaitan dengan akademik, tetapi juga menjadi tuntunan spiritual. Ketika seorang santri membaca Bahjatul Wasail, setiap huruf membawa keberkahan bila dilandasi niat ibadah.
Biasanya, para santri duduk bersila di depan kitab yang sudah mereka beri makna gandul—makna kecil hasil penjelasan guru. Melalui metode bandongan dan sorogan, guru membaca, santri menyimak, dan mereka mengulang dengan suara lirih. Dalam suasana itulah seakan terjadi dialog senyap antara pembaca dan para ulama masa lalu.
Langkah-Langkah Praktis Membaca Bahjatul Wasail
Setiap metode dalam tradisi pesantren tidak berdiri sendiri. Semua langkah memiliki tujuan spiritual sekaligus pedagogis.
1. Berniat dengan Lurus dan Bersih
Pertama, pembaca menata niat: mencari ridha Allah, mengharap keberkahan ilmu, dan menumbuhkan akhlak mulia. Para kiai sering mengingatkan bahwa ilmu hanya menetap pada hati yang ikhlas. Tanpa itu, bahkan kitab seagung Bahjatul Wasail pun tidak akan membuka pintu maknanya.
2. Memulai dengan Doa dan Menghormati Guru
Selanjutnya, santri memulai ngaji dengan doa:
اللّٰهُمَّ انْفَعْنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا وَعَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا وَزِدْنَا عِلْمًا
Setelah itu, mereka memperlihatkan adab setinggi-tingginya kepada guru. Para ulama sepakat bahwa keberkahan ilmu sangat bergantung pada hormatnya murid kepada pengajar. Syekh Nawawi juga menegaskan bahwa ilmu tidak akan menetap pada hati yang merasa tinggi di hadapan gurunya.
3. Memahami Makna Tekstual dan Kontekstual
Saat membaca, santri memaknai kata per kata dengan sabar. Struktur bahasa Arab klasik menuntut ketelitian, sementara konteks fiqih dan tasawuf mengharuskan pembaca memahami maksud spiritual di balik teks. Karena itu, pemaknaan selalu bergerak dari tekstual, lalu naik ke kontekstual.
4. Menuliskan Catatan dan Tafsir Singkat
Setiap santri biasanya membuat ta’liq berupa catatan kecil di tepi halaman. Melalui catatan ini, mereka mengikat kembali pemahaman yang baru saja diterima dari guru. Cara ini sekaligus melatih fokus dan kehadiran batin dalam proses belajar.
5. Mengamalkan Isi Kitab
Akhirnya, seluruh ilmu dari kitab diarahkan untuk diamalkan. Banyak ajaran Bahjatul Wasail menyentuh adab ibadah dan etika sosial, sehingga pembaca dapat menerapkannya langsung dalam kehidupan sehari-hari.
Allah ﷻ berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Ayat ini menguatkan bahwa ilmu harus hadir dalam perilaku, bukan hanya dalam ucapan.
Kehidupan Santri dan Keberkahan Kitab Kuning
Dalam keseharian, kegiatan membaca Bahjatul Wasail selalu menyisakan romantika. Suara ngaji yang bergetar di malam hari, aroma kopi yang menemani kajian, dan cahaya lampu minyak yang redup—semuanya menghadirkan suasana sakral. Melalui ritme itu, para santri menanamkan ilmu dengan cinta dan kesungguhan.
Para kiai sering berkata, “Setiap huruf dalam kitab ini adalah doa.” Karena itu, membaca dengan benar berarti menyalakan cahaya dalam hati.
Kini, ketika dunia bergerak cepat, banyak anak muda kembali mencari kedalaman spiritual. Mereka mendekat lagi kepada kitab kuning—baik melalui pembelajaran daring maupun belajar langsung di pesantren.
Bahjatul Wasail dan Tantangan Zaman Modern
Meskipun kitab ini lahir berabad-abad lalu, relevansinya tetap kuat. Tantangan terbesar pembaca modern terletak pada kemampuan menyeimbangkan teks klasik dengan konteks kekinian. Oleh sebab itu, guru kerap menekankan agar santri tidak hanya melihat aspek hukum, tetapi juga menangkap nilai moral, sosial, dan spiritual yang menyertainya.
Dengan pendekatan seperti itu, Bahjatul Wasail mampu menjadi pedoman hidup yang menuntun keseimbangan antara ibadah dan kemanusiaan.
Penutup: Membaca dengan Hati, Bukan Sekadar Mata
Akhirnya, membaca Bahjatul Wasail menjadi latihan untuk menyatukan intelektual dan spiritual. Setiap huruf seharusnya memperhalus jiwa, menumbuhkan cinta terhadap ilmu, dan menambah ketundukan kepada Allah.
Syekh Nawawi menulis:
“Ilmu adalah warisan para nabi, dan siapa yang mengambilnya dengan niat yang lurus akan memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat.”
Karena itu, membaca kitab ini bukan semata proses memahami isi, tetapi perjalanan batin untuk menumbuhkan cahaya. Dengan adab, kesabaran, dan bimbingan guru, Bahjatul Wasail akan terus menjadi pelita bagi para pencari ilmu.
Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
