Khazanah
Beranda » Berita » Bahjatul Wasail: Jalan Terang Antara Iman, Ibadah, dan Akhlak

Bahjatul Wasail: Jalan Terang Antara Iman, Ibadah, dan Akhlak

Santri membaca kitab Bahjatul Wasail di bawah cahaya lampu minyak.
Seorang santri menunduk membaca kitab Bahjatul Wasail di serambi pesantren, diterangi sinar lampu minyak di waktu senja.

Surau.co. Pernahkah kita merasa kehilangan arah di tengah derasnya kesibukan? Ibadah terus berjalan, tetapi hati tetap hampa. Zikir pun dilafalkan, namun pikiran tak kunjung tenang. Justru pada momen seperti inilah Bahjatul Wasail hadir sebagai lentera yang mengingatkan bahwa iman bukan hanya ucapan, melainkan perjalanan panjang menuju kedalaman jiwa.

Kitab karya Syekh Nawawi al-Bantani—ulama besar asal Banten yang dihormati di Tanah Hijaz—menawarkan warisan penting bagi umat Islam Nusantara. Melalui bahasa yang lembut namun tajam, beliau menuntun kita untuk menyeimbangkan tiga pilar hidup: iman, Islam, dan ihsan. Dari urusan akidah hingga adab sehari-hari, Bahjatul Wasailmenjembatani ilmu dan kehidupan secara menyeluruh.

Menyelami Makna Bahjatul Wasail

Secara harfiah, Bahjatul Wasail berarti “Keindahan Jalan Menuju Tujuan.” Kitab ini merupakan syarah atas karya Ahmad bin Zain al-Habsyi berjudul Ar-Risalah al-Jami’ah Bayna Ushuluddin wa al-Fiqh wa al-Tashawwuf. Melalui tiga tema besar, Syekh Nawawi menata kerangka beragama yang lengkap dan terarah:

  1. Ushuluddin (Pokok Keimanan) — menjelaskan siapa Tuhan kita, apa makna iman, dan bagaimana menjaga keyakinan agar tetap kokoh.

  2. Fiqh (Ibadah dan Amal) — membimbing umat agar beribadah dengan benar, disertai kesadaran, bukan sekadar rutinitas.

    Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

  3. Tasawuf (Adab dan Penyucian Jiwa) — mengajak kita mengolah hati, melembutkan tutur kata, dan membersihkan niat.

Ketiga pilar tersebut saling menopang. Tanpa akidah yang kuat, amal mudah kehilangan arah. Tanpa adab, ibadah cepat berubah menjadi kesombongan. Karena itu, Bahjatul Wasail tampil sebagai kitab keseimbangan yang memadukan kepala, tangan, dan hati dalam irama hidup yang harmonis.

Ketika Iman Menyala dalam Amal

Dalam kehidupan modern yang serba cepat, banyak orang kesulitan menemukan makna ibadah. Kita bisa shalat lima waktu, tetapi hati sering tidak stabil. Di sinilah Syekh Nawawi menegaskan bahwa shalat, zakat, dan amal lainnya hanyalah “kulit luar” jika tidak disertai kesadaran batin.

Beliau berkata,
“Ibadah tanpa ilmu adalah kesia-siaan, dan ilmu tanpa adab adalah kehancuran.”

Jika kita renungkan, seseorang mungkin sangat rajin beribadah, tetapi bila ia mudah menyakiti orang, menggunjing, atau berlaku curang, maka ibadahnya masih berlubang. Bahjatul Wasail mengajak setiap muslim untuk menyatukan gerak tubuh dengan kemurnian hati. Setiap amal kecil pun bisa bernilai besar bila niatnya jernih.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Allah berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا ۝ وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.”
(QS. Asy-Syams: 9–10)

Ayat ini menunjukkan bahwa keberuntungan sejati muncul dari hati yang bersih, bukan dari banyaknya ritual semata.

Bahjatul Wasail dan Keseimbangan Ilmu

Kitab ini tidak berhenti pada persoalan halal–haram. Sebaliknya, Syekh Nawawi menjelaskan alasan dan hikmah di balik setiap ajaran. Karena itu, beliau menekankan pentingnya memadukan fikih dan tasawuf:

“Barang siapa mempelajari fiqh tanpa tasawuf, ia akan menjadi zindiq; dan barang siapa bertasawuf tanpa fiqh, ia akan tersesat; namun siapa yang memadukan keduanya, maka ia telah menemukan kebenaran.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Keseimbangan tersebut sangat relevan bagi umat Islam masa kini. Di satu sisi, ilmu memberi arah. Di sisi lain, tasawuf memberi kedalaman. Ketika keduanya berjalan bersama, akidah pun menjadi kokoh. Seperti burung, fikih adalah sayap, tasawuf adalah tubuh, dan akidah adalah kepala yang memandu arah terbang.

Karena itu, Bahjatul Wasail mengingatkan agar kita tidak terjebak pada dua ekstrem: merasa cukup dengan ilmu tanpa amal atau beramal tanpa pengetahuan. Islam selalu menuntut keselarasan: apa yang kita lakukan dan mengapa kita melakukannya.

Menghidupkan Nilai Bahjatul Wasail di Dunia Modern

Membaca kitab ini tidak memerlukan lingkungan pesantren. Di rumah pun bisa, asalkan hati terbuka. Berikut langkah-langkah sederhana untuk mengamalkan semangatnya:

  1. Niatkan setiap aktivitas sebagai ibadah. Bahkan bekerja, belajar, atau merawat keluarga dapat bernilai ibadah jika diniatkan karena Allah.

  2. Pelajari satu pelajaran kecil setiap hari. Tidak perlu terburu-buru; yang terpenting adalah kontinuitas.

  3. Utamakan adab sebelum ilmu. Mulai dengan menjaga tutur kata, menghormati guru, dan menghindari kebiasaan merendahkan orang lain.

  4. Lakukan refleksi harian. Tanyakan pada diri sendiri: apakah hari ini imanku bertambah atau justru melemah?

  5. Jauhi penyakit hati. Dengki, riya, dan sombong perlu diwaspadai karena sering muncul secara halus.

Spirit Ihsan: Inti Ajaran Bahjatul Wasail

Pada akhirnya, kitab ini mengajak kita menuju ihsan—puncak agama—sebagaimana sabda Nabi ﷺ dalam hadis Jibril:

“أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ”
“Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
(HR. Muslim)

Ketika hati hadir dalam ibadah, dunia terasa ringan. Ketika kesadaran akan pengawasan Allah tumbuh, setiap langkah menjadi lebih berhati-hati, lebih lembut, dan lebih penuh cinta.

Penutup: Menjadi Hamba yang Terus Bertumbuh

Bahjatul Wasail mengajarkan bahwa menjadi hamba Allah bukan sekadar menjalankan perintah, tetapi juga menyempurnakan makna. Setiap sujud merupakan perjalanan ke dalam diri, dan setiap salam menjadi doa bagi semesta.

Melalui karya ini, Syekh Nawawi al-Bantani mewariskan peta perjalanan rohani: mulai dari membersihkan hati, memperbaiki ibadah, hingga menebar adab dalam kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, hidup yang baik bukanlah hidup yang penuh pujian, melainkan hidup yang penuh kesadaran—bahwa setiap napas adalah peluang untuk semakin mendekat kepada-Nya.

Reza AS
Pengasuh Ruang Kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement