Surau.co. Pada zaman serbacepat seperti sekarang, menjaga kebersihan hati menjadi perjuangan penting. Di tengah derasnya percakapan digital, komentar spontan, dan budaya saling mengomentari kekurangan orang lain, empat penyakit hati—ghibah, namimah, hasad, dan takabur—kian mudah menyebar.
Kitab Washoya al-Aba Lil Abna, salah satu karya nasihat etis yang sangat relevan bagi santri dan masyarakat umum, memberikan peringatan mendalam tentang betapa bahayanya empat perilaku ini bagi kehidupan sosial maupun keselamatan akhirat. Dengan menggabungkan ajaran Al-Qur’an, hadits, serta pandangan ulama, artikel ini mengajak pembaca memahami akar masalah sekaligus jalan keluarnya.
Ghibah: Luka Sosial yang Tak Terlihat
Ghibah adalah penyakit lisan yang paling sering dianggap remeh. Namun, Al-Qur’an memperingatkan dengan perumpamaan yang sangat keras:
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا
“Dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kalian yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?” (QS. Al-Hujurat: 12)
Ayat ini menegaskan bahwa ghibah bukan sekadar ucapan tidak sopan, melainkan pelanggaran moral yang mengoyak kehormatan manusia. Karena itu, Washoya al-Aba Lil Abna menyebut ghibah sebagai
“جناية اللسان التي تحرق حسنات صاحبها”
“kejahatan lisan yang membakar pahala pelakunya.”
Dalam era media sosial, kebiasaan membicarakan kesalahan orang lain semakin normal. Setiap kekurangan langsung disebarkan, bahkan diviralkan. Padahal, kitab ini menegaskan bahwa menjaga kehormatan saudara seiman adalah bagian dari menjaga kehormatan diri. Karena itu, setiap orang perlu membiasakan menahan lisan, memperbanyak tabayyun, serta memastikan bahwa setiap kata membawa kebaikan.
Ciri-Ciri Ghibah dan Dampaknya
Ghibah tidak hanya terjadi ketika seseorang mengucapkan keburukan orang lain. Menurut kitab Washoya al-Aba Lil Abna:
“ذكر أخاك بما يكره في غيبته”
“menyebutkan sesuatu yang dibenci saudaramu saat ia tidak hadir”—
Dalam hal ini, termasuk ghibah, meskipun ucapan itu benar. Dampaknya pun sangat besar, seperti hubungan sosial renggang, rasa percaya rusak, dan hati menjadi keras.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Ia tidak menzalimi, tidak mengkhianati, dan tidak merendahkannya.”
(HR. Muslim)
Siapa yang memelihara lisannya, berarti ia sedang memelihara ketenangan hidup dan kehormatannya sendiri.
Namimah: Api Fitnah yang Menghanguskan Persaudaraan
Jika ghibah merusak kehormatan seseorang, maka namimah merusak hubungan antarindividu. Namimah adalah upaya membawa omongan satu pihak kepada pihak lain untuk memicu keretakan. Dalam Washoya al-Aba Lil Abna, perilaku ini disebut sebagai “فسادٌ في ذات البين”—kerusakan dalam hubungan manusia.
Kitab tersebut menjelaskan bahwa pelaku namimah adalah “من سعى بين الناس بالشر”—“orang yang membawa keburukan di antara manusia”. Di zaman digital, namimah dapat berupa menyebarkan chat pribadi, meneruskan screenshot, atau memotong-motong informasi sehingga memicu konflik.
Nabi ﷺ sangat keras mengecam perilaku ini. Beliau bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ
“Tidak akan masuk surga seorang penyebar namimah.”
(HR. Muslim)
Larangan ini menunjukkan betapa serius dampak sosial dari namimah.
Mengapa Namimah Sangat Berbahaya?
Namimah menciptakan permusuhan di tempat yang sebelumnya penuh kedamaian. Dua orang sahabat bisa berseteru hanya karena hasutan satu mulut. Bahkan keluarga dapat pecah karena kabar yang dibesar-besarkan. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menyebut:
النميمة أصل الشرور في العلاقات
“Namimah adalah akar keburukan dalam hubungan.”
Dengan demikian, menjaga lisan dari namimah bukan sekadar kewajiban individual, tetapi juga bentuk menjaga stabilitas sosial. Ketika umat Islam saling menjaga dari namimah, maka seluruh masyarakat menjadi lebih harmonis.
Hasad: Penyakit Hati yang Menghapus Ketenangan
Hasad atau iri hati adalah penyakit yang bekerja secara senyap. Ia bersembunyi dalam kedalaman hati, namun dampaknya terlihat dalam ucapan dan sikap seseorang. Washoya al-Aba Lil Abna menerangkan bahwa hasad adalah:
تمني زوال النعمة عن الغير
“Keinginan agar nikmat orang lain hilang.”
Inilah bentuk iri yang paling berbahaya. Seseorang yang terjangkit hasad tidak mampu menikmati kebahagiaannya sendiri. Ia terus membandingkan diri dengan orang lain, dan ketika melihat keberhasilan orang lain, ia justru gelisah.
Nabi ﷺ bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ، فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ
“Jauhilah hasad, karena hasad memakan kebaikan seperti api memakan kayu bakar.”
(HR. Abu Dawud)
Hasad tidak hanya menghilangkan kenikmatan batin, tetapi juga mengikis amal manusia.
Cara Mengobati Hasad Menurut Para Ulama
Para ulama menjelaskan bahwa hasad hanya dapat diobati dengan dua cara: syukur dan doa kebaikan bagi orang yang kita iri. Imam Ibn Rajab al-Hanbali menyebut:
دواء الحسد أن تحب لأخيك ما تحب لنفسك
“Obat hasad adalah mencintai untuk saudaramu apa yang engkau cintai untuk dirimu.”
Kitab Washoya al-Aba Lil Abna mendorong pembacanya untuk mengalihkan energi negatif hasad menjadi motivasi positif. Sebab, dunia memiliki rezeki yang luas, dan Allah tidak menciptakan keutamaan hanya untuk satu orang. Dengan membiasakan doa kebaikan untuk orang lain, hati akan menjadi lapang dan pikiran lebih tenang.
Takabur: Kesombongan yang Menghalangi Cahaya Ilahi
Kesombongan adalah akar kebinasaan yang pernah menjerumuskan Iblis ketika ia menolak sujud kepada Adam. Takabur adalah merasa lebih baik, lebih mulia, atau lebih tinggi dari orang lain. Dalam Washoya al-Aba Lil Abna menerangkan:
الكبر من المهلكات العظام
“Takabur termasuk kehancuran besar bagi jiwa.”
Dalam Al-Qur’an, Allah telah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18)
Takabur tidak hanya membuat manusia jauh dari sesama, tetapi juga menjauhkan dirinya dari rahmat Allah. Orang yang sombong menutup pintu nasihat, menolak kebenaran, dan memandang rendah siapa pun yang berbeda.
Bentuk-Bentuk Takabur dan Cara Menghindarinya
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa takabur memiliki tiga bentuk: sombong kepada Allah, sesama manusia, dan kebenaran. Bentuk ketiga inilah yang paling berbahaya karena membuat seseorang menolak petunjuk, bahkan ketika ia tahu itu benar. Kitab Washoya al-Aba Lil Abna menegaskan pentingnya “التواضع لله وللخلق”—“tawaduk kepada Allah dan manusia.”
Tawaduk bukan berarti merendahkan diri secara berlebihan, melainkan menyadari bahwa semua kelebihan adalah pemberian Allah. Dengan demikian, sikap rendah hati menjadikan seseorang lebih mudah belajar, lebih mudah memperbaiki diri, dan lebih dicintai manusia.
Empat Penyakit Hati dalam Satu Kesatuan
Jika kita memperhatikan keempat penyakit hati ini—ghibah, namimah, hasad, dan takabur—maka kita akan melihat bahwa semuanya saling berkaitan. Hasad menimbulkan ghibah, ghibah memicu namimah, dan namimah sering tumbuh dari rasa sombong atau ingin unggul. Karena itu, Washoya al-Aba Lil Abna tidak hanya mengingatkan bahaya masing-masing, tetapi juga menanamkan pentingnya memelihara hati agar tetap bersih.
Seseorang yang hatinya jernih akan lebih mudah memberi maaf, lebih mudah bersyukur, dan lebih mudah berbuat baik. Sebaliknya, hati yang dipenuhi keempat penyakit ini akan berat menerima nasihat, mudah marah, dan senang merendahkan orang lain, bahkan tanpa sadar.
Penutup: Merawat Hati agar Tetap Bening
Pada akhirnya, perjalanan spiritual seorang muslim adalah perjalanan menjaga hati. Ghibah, namimah, hasad, dan takabur hanyalah sebagian dari perangkap yang bisa muncul kapan saja. Namun, dengan ilmu, kesadaran diri, dan nasihat yang diwariskan para ulama, kita dapat berjalan di jalan yang lebih tenang.
Seorang ulama pernah berkata:
صلاح القلب أساس صلاح الحياة
“Baiknya hati adalah dasar baiknya kehidupan.”
Semoga kita selalu diberikan kekuatan untuk menjaga lisan, membersihkan hati, menenangkan pikiran, dan menghadirkan kebaikan dalam setiap langkah. Sebab, hati yang bersih adalah cahaya yang memandu kita menuju Allah.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
