Khazanah
Beranda » Berita » Kiat Menjaga Keikhlasan Menuntut Ilmu ala Washoya al-Aba Lil Abna

Kiat Menjaga Keikhlasan Menuntut Ilmu ala Washoya al-Aba Lil Abna

santri membaca kitab washoya al-aba lil abna di serambi pesantren saat senja
Ilustrasi santri yang tenggelam dalam bacaan kitab hikmah, menampilkan kehangatan dan keteduhan pesantren sebagai simbol keikhlasan dalam menuntut ilmu.

Surau.co. Menjaga keikhlasan dalam menuntut ilmu selalu menjadi pergulatan batin seorang pencari hikmah. Para ulama sejak dahulu mengingatkan bahwa perjalanan ilmu bukan hanya tentang kecerdasan dan ketekunan, tetapi juga tentang kemurnian hati. Kitab Washoya al-Aba Lil Abna, sebuah karya nasihat klasik yang sering dibacakan di berbagai pesantren, menawarkan pedoman berharga bagi siapa saja yang ingin belajar dengan hati jernih. Di era serba cepat dan kompetitif seperti sekarang, nasihat itu terasa semakin relevan. Karena itu, memahami kiat menjaga keikhlasan menuntut ilmu bukan lagi sekadar tuntunan spiritual, tetapi juga kebutuhan moral bagi umat.

Dalam paragraf-paragraf berikut, kita akan membahas langkah-langkah menjaga keikhlasan berdasarkan pesan kitab ini, diperkuat ayat Al-Qur’an, hadits, serta pandangan ulama. Semua ditulis secara naratif, ringan, namun tetap akademik sehingga cocok untuk pembaca NU Online.

Keikhlasan sebagai Pondasi Ilmu

Para ulama sepakat bahwa ilmu hanya dapat masuk ke hati yang bersih. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

﴿ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ ﴾
“Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Ayat ini menegaskan bahwa segala amal, termasuk belajar, harus berangkat dari ketulusan. Tanpa ikhlas, amalan berubah menjadi sekadar rutinitas tanpa ruh.  Pada bagian awal kitab Washoya al-Aba Lil Abna juga berbunyi:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

« عَلَيْكَ بِتَصْفِيَةِ نِيَّتِكَ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ »
“Wajib bagimu memurnikan niatmu dalam menuntut ilmu.”

Nasihat ini menunjukkan bahwa niat bukan hanya pintu masuk, tetapi juga energi yang menjaga konsistensi belajar. Banyak santri dan pelajar merasa semangatnya turun bukan karena kurang kemampuan, melainkan karena niatnya mulai kabur. Dengan mengingatkan diri bahwa tujuan belajar adalah mencari ridha Allah, hati menjadi lebih tenang ketika menghadapi kesulitan.

Selain itu, ikhlas membuat seorang pencari ilmu tidak mudah terobsesi pada pujian atau gelar. Ia belajar karena cinta pada ilmu, bukan karena ingin dipandang pintar. Pendekatan ini membuat proses belajar lebih rileks, mendalam, dan melahirkan keberkahan.

Menata Niat Setiap Hari

Salah satu kiat yang ditekankan dalam Washoya al-Aba Lil Abna adalah kesadaran untuk menata niat secara berulang. Niat itu seperti api kecil di dada: jika tidak dijaga, lama-lama padam. Karenanya, kitab ini menegaskan:

« وَجَدِّدْ نِيَّتَكَ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَسَاعَةٍ »
“Perbaruilah niatmu setiap hari dan setiap waktu.”

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Mengaktifkan nasihat ini dalam kehidupan modern berarti menyediakan momen singkat untuk merenung sebelum mulai belajar. Seorang santri, mahasiswa, atau pembelajar dewasa bisa memulai hari dengan kalimat sederhana: “Ya Allah, aku belajar karena-Mu.” Kalimat itu terlihat sepele, tetapi sangat kuat untuk mengatur ulang tujuan batin.

Selain itu, memperbarui niat juga berguna ketika seseorang mulai merasa jenuh. Banyak pelajar yang kehilangan fokus ketika targetnya hanya nilai atau ranking. Ketika niat diluruskan kembali, beban belajar terasa lebih ringan. Bahkan, proses belajar menjadi lebih menyenangkan karena didasari keikhlasan, bukan tekanan.

Rasulullah ﷺ mengingatkan hal ini dalam hadits mahsyur:
« إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ »
“Sesungguhnya amal itu bergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini bukan hanya pembuka bab fiqh, tetapi juga pedoman psikologis bagi siapa saja yang ingin menjaga energi belajar.

Melawan Godaan Popularitas Ilmu

Dalam dunia digital, menuntut ilmu sering bercampur dengan pencarian panggung. Banyak orang belajar untuk tampil pintar di media sosial, bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Padahal, para ulama mengingatkan bahwa mencari popularitas dapat merusak keikhlasan.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Kitab Washoya al-Aba Lil Abna juga mengingatkan:
« إِيَّاكَ أَنْ تَطْلُبَ الْعِلْمَ لِتُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ »
Jangan engkau mencari ilmu untuk menyaingi para ulama.”

Larangan ini sangat relevan hari ini ketika persaingan konten ilmu semakin ketat. Jika seseorang belajar untuk membuktikan diri, ia kehilangan ketenangan batin. Sebaliknya, jika ia fokus memperbaiki diri, belajarnya menghasilkan kedamaian.

Imam al-Ghazali juga pernah berkata:
« طَلَبْتُ الْعِلْمَ لِلْمَجْلِسِ فَمَنَعَنِي اللَّهُ، وَلَمَّا طَلَبْتُهُ لِنَفْسِي فَتَحَهُ لِي »
“Aku dulu menuntut ilmu demi kedudukan, tetapi Allah menutup pintu itu. Ketika aku menuntutnya demi memperbaiki diriku, Allah membukakan pintunya.”

Pernyataan ini mengajarkan bahwa keikhlasan bukan hanya kebutuhan spiritual, tetapi juga syarat keberhasilan intelektual.

Menghindari Riya dalam Belajar

Riya adalah penyakit hati yang paling mudah menyelinap, termasuk dalam proses menuntut ilmu. Banyak orang tidak menyadari bahwa ia sedang memamerkan kepandaiannya, bukan mengamalkan ilmunya. Karena itu, Washoya al-Aba Lil Abna memperingatkan:

« إِيَّاكَ وَالرِّيَاءَ، فَإِنَّهُ يُفْسِدُ الْقَلْبَ كَمَا تُفْسِدُ النَّارُ الْحَطَبَ »
“Hati-hati dari riya, karena riya merusak hati sebagaimana api membakar kayu.”

Dengan memahami peringatan ini, seorang pelajar dapat mengukur dirinya. Ia bertanya: “Apakah aku belajar untuk terlihat pintar?” Jika jawabannya iya, ia perlu menarik napas, berhenti sejenak, dan mengembalikan orientasinya kepada Allah.

Rasulullah ﷺ juga pernah bersabda:
« أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ »
“Yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.”

Ketika sahabat bertanya apa yang dimaksud syirik kecil, Nabi menjawab: Riya.” (HR. Ahmad)

Hadits ini menegaskan betapa seriusnya dampak riya terhadap proses spiritual. Ilmu yang seharusnya menjadi cahaya malah berubah menjadi kegelapan jika tujuannya salah.

Adab sebagai Penjaga Keikhlasan

Selain mengatur niat, seseorang juga perlu menjaga adab. Adab adalah benteng batin yang melindungi keikhlasan.

Kitab Washoya al-Aba Lil Abna menegaskan:
« فَإِنَّ الْأَدَبَ زِينَةُ الْعِلْمِ »
“Sesungguhnya adab adalah perhiasan ilmu.”

Dalam tradisi pesantren, adab menempati posisi pertama. Santri belajar bagaimana menghormati guru, menghargai teman, dan menjaga kesopanan. Semua ini bertujuan menjaga hati tetap rendah diri. Ketika seseorang merasa lebih tinggi dari orang lain, keikhlasannya mudah runtuh.

Karena itu, adab harus diperkuat di era modern. Pelajar masa kini perlu mengatur cara berbicara di media sosial, menyaring komentar, dan menghindari debat yang tidak perlu. Dengan adab yang baik, ilmu terasa manis dan membawa berkah.

Istikamah dalam Keheningan: Latihan Spiritual untuk Hati Ikhlas

Keikhlasan tidak datang tiba-tiba; ia tumbuh dari latihan spiritual. Dalam tradisi ulama, keheningan menjadi sarana penting untuk melatih kejernihan hati.

Imam al-Haddad pernah berkata:
« السُّكُوتُ نُورٌ فِي الْقَلْبِ »
“Hening adalah cahaya dalam hati.”

Dalam konteks belajar, keheningan berarti menyingkir dari hiruk pikuk sesaat untuk membaca, merenung, dan berdoa. Dengan hening, seseorang merasakan kembali tujuan belajar yang hakiki. Ia tidak lagi terjebak pada kompetisi duniawi.

Selain itu, istikamah dalam amalan kecil seperti membaca wirid, zikir pagi-sore, atau sekadar menutup belajar dengan doa membuat hati lebih stabil. Keikhlasan tumbuh ketika hati dekat dengan Allah dan jauh dari ketergesaan.

Penutup: Menuntut Ilmu dengan Hati yang Jernih

Keikhlasan adalah cahaya yang menuntun pencari ilmu melewati gelombang dunia yang penuh godaan. Nasihat Washoya al-Aba Lil Abna mengajak kita menata niat, menjauhi riya, menjaga adab, dan melatih keheningan. Semua langkah ini membentuk pribadi pelajar yang tidak hanya cerdas, tetapi juga rendah hati.

Pada akhirnya, ilmu yang ikhlas akan memantulkan ketenangan. Hati menjadi damai karena belajar bukan lagi beban, tetapi ibadah. Semoga kita semua bisa menjadi pencari ilmu yang tulus, yang menjadikan setiap halaman kitab sebagai jalan menuju Allah.

“Semoga Allah menjaga hati-hati kita agar tetap ikhlas dalam menuntut ilmu”

*Gerwin Satria N

Pegiat litersi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement