Surau.co. Di tengah derasnya arus informasi, perdebatan di media sosial, dan gempuran gaya hidup serba instan, banyak santri Gen Z mengalami tantangan baru dalam menjaga ketenangan hati dan kejernihan pikiran. Mereka belajar kitab, mengaji setiap malam, tetapi sering merasa gelisah, mudah tersinggung, dan sulit menerima nasihat. Dalam kondisi inilah pesan emas dari kitab Washoya al-Aba Lil Abna menjadi sangat relevan, terutama nasihat agar tidak menutup hati ketika guru memberi wejangan.
Tulisan ini mengajak santri Gen Z menyimak kembali pesan para ulama terdahulu—pesan yang hangat, lembut, tetapi penuh tenaga spiritual. Dengan bahasa akademik-populer yang ringan, artikel ini mencoba menghadirkan kembali hikmah klasik yang bisa menjadi penyejuk jiwa dan penuntun langkah.
Hati yang Terbuka: Pintu Ilmu untuk Santri Gen Z
Ilmu bukan sekadar memahami teks atau menghafal dalil, tetapi juga menghadirkan kesiapan batin untuk menerima bimbingan. Tanpa hati yang terbuka, ilmu tidak akan meresap. Ia akan menguap sebelum sempat mengubah karakter seseorang.
Dalam kitab Washoya al-Aba Lil Abna, terdapat pesan penting:
وَافْتَحْ قَلْبَكَ لِمَوَاعِظِهِ فَإِنَّهَا مِفْتَاحُ بَرَكَةِ عِلْمِكَ
“Bukalah hatimu untuk nasihat-nasihat gurumu, karena itu adalah kunci keberkahan ilmumu.”
Di era Gen Z, banyak santri berada dalam situasi yang membingungkan. Mereka terbiasa dengan informasi cepat, ringkas, dan instan. Akibatnya, ketika mendapat nasihat panjang atau teguran halus dari guru, sebagian merasa berat menerimanya. Padahal, nasihat itulah yang menjadi jembatan untuk memperkokoh akhlak dan memperindah adab.
Al-Qur’an pun mengingatkan:
فَذَكِّرْ إِن نَّفَعَتِ الذِّكْرَىٰ
“Maka ingatkanlah, karena sesungguhnya nasihat itu bermanfaat.”
(QS. Al-A’la [87]: 9)
Ayat ini menegaskan bahwa manfaat nasihat akan dirasakan oleh mereka yang membuka hati. Terbuka pada bimbingan berarti siap menerima keberkahan. Sebaliknya, ketika hati tertutup, ilmu menjadi kering dan tidak berdampak.
Dulu, para ulama terbiasa menjaga adab sebelum mendalami ilmu. Imam Malik berkata:
تَعَلَّمُوا الْأَدَبَ قَبْلَ أَنْ تَتَعَلَّمُوا الْعِلْمَ
“Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu.”
Santri Gen Z perlu kembali menyerap spirit ini. Adab membuka pintu ilmu, dan ilmu membuka pintu hikmah. Sementara hati yang tertutup menutup semua pintu itu.
Mengapa Hati Bisa Tertutup?
Membahas nasihat “jangan menutup hati” berarti memahami juga apa yang membuat hati itu tertutup. Dalam dunia digital yang penuh distraksi, banyak sekali faktor yang membuat batin seseorang mudah keras.
Pertama, terlalu banyak paparan hiburan. Gawai yang terus berbunyi, video pendek tanpa henti, dan drama tanpa batas membuat jiwa sibuk melompat-lompat tanpa sempat hening. Ketika hati terlalu bising, ia kehilangan kemampuan untuk mendengarkan.
Kedua, ego yang tumbuh tanpa disadari. Di media sosial, semua orang bisa berpendapat, merasa benar, dan sulit menerima kritik. Kebiasaan ini perlahan membentuk karakter: sulit menerima nasihat dari siapa pun, termasuk guru. Padahal, guru memberi nasihat bukan untuk merendahkan, tetapi untuk mengarahkan.
Ketiga, rasa malu yang berlebihan. Banyak santri Gen Z merasa takut dianggap buruk ketika dinasihati. Mereka lupa bahwa nasihat adalah tanda perhatian, bukan tanda keburukan. Kitab Washoya al-Aba Lil Abna bahkan menegaskan:
نَصِيحَةُ الْمُعَلِّمِ نُورٌ يُضِيءُ ظُلْمَةَ طَالِبِهِ
“Nasihat seorang guru adalah cahaya yang menerangi kegelapan muridnya.”
Dengan memahami sebabnya, santri bisa lebih mudah menyembuhkan hati yang mulai tertutup dan membuka diri untuk bimbingan.
Nasihat Guru Sebagai Jalan Kearifan
Santri Gen Z sering bertanya: Mengapa kita harus begitu taat pada nasihat guru? Jawabannya sederhana tetapi mendalam—guru adalah mata air kearifan. Mereka melihat jalan yang tidak dilihat murid. Mereka membaca tanda-tanda yang tidak sanggup dibaca jiwa-jiwa muda.
Nabi Muhammad Saw. bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ مُعَلِّمًا
“Sesungguhnya aku diutus sebagai seorang guru.”
(HR. Ibn Majah)
Hadits ini menunjukkan bahwa fungsi utama seorang pemimpin spiritual adalah mendidik. Para ulama pewaris para nabi pun meneruskan peran itu. Ketika guru menasihati, hakikatnya cahaya kenabian sedang bekerja untuk memperbaiki keadaan batin murid.
Dalam Washoya al-Aba Lil Abna dijelaskan bahwa nasihat guru memiliki keberkahan:
وَمَنْ لَمْ يَسْتَفِدْ مِنْ مَوَاعِظِ أُسْتَاذِهِ فَهُوَ مَحْرُومٌ مِنْ بَرَكَةِ عِلْمِهِ
“Barangsiapa tidak mengambil manfaat dari nasihat gurunya, maka ia telah terhalang dari keberkahan ilmunya.”
Nasihat guru adalah jembatan yang mengantar murid menuju kedudukan mulia. Ketika santri Gen Z mau membuka hati, ilmu yang dipelajari tidak hanya menambah pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter, memperhalus hati, dan menenangkan jiwa.
Belajar Mendengar Tanpa Membantah
Salah satu tantangan zaman ini adalah budaya membantah. Banyak anak muda terbiasa menanggapi nasihat dengan sanggahan. Padahal, sebagian besar nasihat justru baru terasa manfaatnya ketika dipahami dengan tenang.
Imam Syafi’i pernah berkata:
مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا إِلَّا وَدَدْتُ أَنَّ اللهَ أَظْهَرَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِهِ
“Aku tidak pernah berdebat dengan siapa pun kecuali aku berharap Allah menampakkan kebenaran melalui lisannya.”
Jika ulama sebesar Imam Syafi’i saja siap menerima kebenaran dari siapa pun, seharusnya santri Gen Z lebih siap menerima kebenaran dari guru mereka sendiri. Mendengar nasihat tanpa membantah bukan berarti pasif, tetapi menunjukkan kerendahan hati. Dari kerendahan hati itulah tumbuh kecerdasan spiritual.
Nasihat Guru sebagai Penjaga Langkah Hidup
Santri Gen Z sering berada di masa pencarian jati diri. Banyak pilihan hidup, banyak jalan terbuka, tetapi tidak semuanya aman. Guru hadir sebagai pemandu langkah agar seseorang tidak tersesat.
Kitab Washoya al-Aba Lil Abna menyebutkan:
إِذَا سَارَ الطَّالِبُ بِغَيْرِ دَلِيلٍ ضَلَّ طَرِيقَهُ
“Jika seorang murid berjalan tanpa penunjuk jalan, ia pasti tersesat.”
Guru menjadi “dalil” yang menunjukkan arah. Nasihat mereka bukan untuk membatasi, tetapi untuk melindungi. Ketika hati terbuka, seseorang akan merasakan betapa banyak bahaya yang sebenarnya berhasil dihindarkan berkat bimbingan itu.
Keteladanan Guru dan Pengaruhnya bagi Jiwa Santri
Selain nasihat lisan, guru memberikan teladan yang jauh lebih kuat. Santri Gen Z yang membuka hati akan merasakan ketenangan hanya dengan melihat cara guru berjalan, berbicara, atau menghadapi masalah.
Dalam hadis Nabi disebutkan:
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلَاقًا
“Orang yang paling aku cintai dan paling dekat denganku nanti adalah yang paling baik akhlaknya.”
(HR. Tirmidzi)
Guru adalah model akhlak, sementara nasihatnya adalah penjelasan tentang akhlak itu sendiri. Ketika keduanya diikuti, santri memiliki dua bekal besar: pengetahuan yang benar dan karakter yang kuat. Kombinasi inilah yang membentuk pribadi unggul.
Penutup: Buka Hati, Biarkan Cahaya Masuk
Menjadi santri berarti siap belajar sepanjang hidup. Namun belajar tidak akan bermakna tanpa hati yang terbuka. Washoya al-Aba Lil Abna mengajarkan bahwa nasihat guru bukan sekadar kata-kata, melainkan cahaya yang mampu menuntun murid melewati gelapnya kehidupan.
Santri Gen Z memiliki potensi besar, masa depan luas, dan energi yang melimpah. Namun tanpa bimbingan, semua itu bisa hilang dalam kebisingan dunia. Maka jangan menutup hati. Buka ruang dalam jiwa agar nasihat guru bisa masuk.
Izinkan cahaya itu menuntun, menenangkan, dan memperindah perjalanan hidup. Karena hati yang terbuka selalu menemukan jalannya. Dan santri yang membuka hati akan selalu menemukan keberkahannya.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
