Surau.co. Anak muda hari ini hidup di tengah dunia yang serba cepat, serba kompetitif, dan serba penuh pencitraan. Di media sosial, semuanya tampak gemerlap. Namun di balik segala kilau itu, banyak jiwa yang merasa hampa dan kehilangan arah. Di sinilah tiga pesan sederhana dari Wasiatul Musthofa—puasa, sedekah, dan kesederhanaan—hadir sebagai penuntun hidup yang membumi, menenangkan, sekaligus meneguhkan karakter spiritual. Tiga pesan ini tampak sederhana, tetapi sesungguhnya sangat relevan bagi generasi yang selalu berlari mengejar validasi.
Dalam artikel ini, kita akan menyusuri makna tiga wasiat itu dengan pendekatan akademik-populer, merangkainya dengan ayat-ayat Al-Qur’an, hadits Nabi, serta penjelasan para ulama. Semoga menjadi jendela bagi anak muda untuk melihat kehidupan dengan lebih jernih dan tenang.
Puasa: Melatih Kendali Diri di Tengah Godaan Tanpa Henti
Ketika kita melihat kehidupan anak muda saat ini. Godaan datang dari segala arah: hiburan tanpa batas, makanan berlebih, konsumerisme, dan pola hidup yang sering menempatkan kesenangan sebagai pusat kehidupan. Dalam situasi seperti itu, puasa bukan sekadar ibadah; ia menjadi latihan intensif untuk mengendalikan diri.
Dalam Wasiatul Musthofa, salah satu nasihatnya berbunyi:
وَصِيَّتِي لَكَ أَنْ تُدَاوِمَ عَلَى الصِّيَامِ فَإِنَّهُ جُنَّةٌ لَكَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Wasiatku untukmu: biasakanlah berpuasa, karena ia adalah perisai bagimu di dunia dan akhirat.”
Puasa mengajarkan kita menahan lapar, tetapi lebih dari itu, ia melatih kontrol terhadap pikiran dan nafsu. Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2]: 183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.”
Ayat ini menegaskan tujuan utama puasa: tumbuhnya takwa, yaitu kemampuan mengontrol diri saat tidak ada yang melihat. Bagi anak muda, kontrol diri adalah fondasi karakter. Tanpa kontrol diri, kecerdasan hanyalah keberuntungan, dan bakat hanya menjadi dekorasi. Dengan kontrol diri, seseorang bisa membangun masa depan yang tertata.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menjelaskan:
إِنَّ الصِّيَامَ يُضَيِّقُ مَجَارِي الشَّيْطَانِ مِنَ الْإِنْسَانِ
“Sesungguhnya puasa mempersempit jalan masuk setan pada diri manusia.”
Ketika anak muda mudah terseret oleh emosi atau impuls sesaat, puasa adalah cara untuk mempersempit pintu itu. Puasa membentuk jiwa yang lebih kukuh, tidak mudah terombang-ambing oleh nafsu, tren, atau tekanan sosial. Dengan demikian, puasa menjadi fondasi spiritual yang membebaskan.
Sedekah: Mengubah Kecemasan Menjadi Keberkahan
Banyak anak muda hidup dengan kecemasan: takut miskin, takut gagal, takut tidak diterima. Dalam kondisi seperti itu, sedekah tampak kontradiktif—mengeluarkan apa yang sedikit ketika kebutuhan banyak. Tetapi justru di situlah letak keajaibannya.
Wasiatul Musthofa juga menekankan pentingnya sedekah. Salah satu pesannya berbunyi:
وَأَكْثِرْ مِنَ الصَّدَقَةِ فَإِنَّهَا تُطَهِّرُ الْقَلْبَ وَتَجْلِبُ الرِّزْقَ
“Perbanyaklah sedekah, karena ia membersihkan hati dan menarik rezeki.”
Sedekah mengubah pola pikir dari kekurangan menuju kelimpahan. Saat tangan memberi, hati merasakan lega. Sedekah mengikis sifat kikir dan menyembuhkan rasa takut kehilangan. Nabi Saw. bersabda:
الصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ
“Sedekah adalah bukti (keimanan).”
Hadits singkat ini (HR. Muslim) mempertegas bahwa sedekah adalah cermin keyakinan seseorang terhadap janji Allah. Bagi anak muda, sedekah adalah terapi sosial-spiritual yang membuat batin lebih lapang dan pikiran lebih jernih.
Al-Qur’an memberikan jaminan luar biasa:
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ
“Apa pun yang kalian berikan (di jalan Allah), Dia pasti menggantinya.”
(QS. Saba’ [34]: 39)
Ayat ini menyatukan dua hal yang dicari anak muda: ketenangan dan keberkahan. Dengan sedekah, seseorang tidak hanya menolong orang lain, tetapi juga menolong dirinya sendiri. Ia belajar bahwa rezeki bukan tentang berapa banyak yang kita kumpulkan, tetapi tentang seberapa luas manfaat kita bagi dunia.
Ulama kontemporer sering menegaskan bahwa sedekah memiliki dimensi psikologis. Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi pernah berkata:
إِذَا أَنْفَقْتَ فِي سَبِيلِ اللهِ عَوَّضَكَ اللهُ مِمَّا هُوَ خَيْرٌ لَكَ
“Ketika engkau menginfakkan sesuatu di jalan Allah, Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik bagimu.”
Bagi generasi yang sering dihantui rasa tidak aman, sedekah adalah latihan mempercayai hidup. Ia membuat hati tenang dan pikiran lebih optimis.
Kesederhanaan: Jalan Sunyi yang Menguatkan Jiwa
Kesederhanaan berarti tidak dikuasai oleh dunia. Anak muda sering berada di bawah tekanan untuk tampil sempurna: pakaian branded, gaya hidup mahal, perjalanan mewah, dan kehidupan yang harus terlihat menarik di media sosial. Namun, kenyataannya, semua itu sering menimbulkan stres dan ketergantungan.
Wasiatul Musthofa memberikan pesan yang sangat relevan:
وَعَلَيْكَ بِالزُّهْدِ فِي الدُّنْيَا فَإِنَّهُ رَاحَةٌ لِقَلْبِكَ
“Berpeganglah pada sikap sederhana terhadap dunia, karena ia adalah ketenangan bagi hatimu.”
Kesederhanaan di sini bukan berarti hidup miskin atau menolak kenikmatan. Karena kesederhanaan mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam balapan yang tidak berujung. Ia mengajari kita menikmati hidup tanpa beban. Nabi Muhammad Saw. hidup sederhana, padahal beliau pemimpin dunia. Dalam sebuah hadits disebutkan:
مَا امْتَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ
“Tidak ada wadah yang lebih buruk diisi oleh manusia selain perutnya.”
(HR. Tirmidzi)
Hadits ini menekankan bahwa kesederhanaan bukan hanya gaya hidup, tetapi juga cara berpikir. Ketika seseorang hidup sederhana, ia lebih fokus, lebih tenang, dan lebih mudah bersyukur.
Imam Al-Junaid pernah berkata:
الزُّهْدُ تَفْرِيغُ الْقَلْبِ مِمَّا لَا يَنْفَعُ
“Zuhud adalah mengosongkan hati dari hal-hal yang tidak bermanfaat.”
Ini sangat cocok untuk anak muda masa kini, yang sering kelelahan bukan karena bekerja keras, tetapi karena menguras energi untuk hal-hal yang tidak menambah nilai hidup. Dengan kesederhanaan, seseorang menemukan ruang untuk bernafas dan kembali kepada jati dirinya.
Mengikat Tiga Wasiat dalam Kehidupan Anak Muda
Jika tiga wasiat ini—puasa, sedekah, dan kesederhanaan—kita gabungkan, terbentuklah kerangka hidup yang seimbang. Puasa melatih kontrol diri, sedekah melatih kelapangan hati, dan kesederhanaan melatih kejernihan hidup. Ketiganya membentuk karakter spiritual yang kuat, tetapi tetap stabil dan realistis.
Bagi anak muda, tiga wasiat ini dapat menjadi panduan praktis menghadapi tantangan zaman: tekanan sosial, ambisi yang tak habis-habis, dan gempuran hedonisme. Was-was pada masa depan bisa diredam oleh puasa; kecemasan tentang rezeki dapat dilembutkan dengan sedekah; sementara tekanan sosial dapat ditenangkan oleh kesederhanaan.
Tiga amalan ini dapat diterapkan tanpa perlu menunggu matang usia. Mereka bukan teori. Mereka adalah praktik harian yang membentuk pribadi tangguh, fokus, rendah hati, dan bijak dalam mengambil keputusan.
Penutup: Jalan Sunyi yang Mengantar pada Cahaya
Hidup tidak selalu harus gemerlap. Kadang cahaya justru muncul dari hal-hal sederhana: menahan lapar demi Allah, berbagi sedikit rezeki, dan memilih hidup yang tidak berlebih-lebihan. Wasiatul Musthofa mengajak kita kembali ke akar kehidupan—akar yang menumbuhkan ketenangan, kelapangan, dan kedewasaan.
Anak muda yang mampu mengamalkan tiga wasiat ini akan menemukan bahwa kebahagiaan tidak bergantung pada jumlah likes, barang mahal, atau pencitraan digital. Kebahagiaan tumbuh dari dalam diri: dari hati yang jernih, dari hidup yang ringan, dan dari jiwa yang selalu terhubung dengan Allah. Semoga kita semua diberi kekuatan untuk menapaki jalan sunyi ini dengan istiqamah.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
