Khazanah
Beranda » Berita » Dari Wasiatul Musthofa: Belajar Jujur di Zaman Serba “Filter”

Dari Wasiatul Musthofa: Belajar Jujur di Zaman Serba “Filter”

Ilustrasi belajar jujur di era filter menurut Wasiatul Musthofa.
Gambar seorang pemuda memegang cermin, wajahnya tampak alami dalam cermin tetapi penuh filter di layar ponselnya. Nuansa realistik, artistik, lembut, dengan cahaya hangat yang menggambarkan ketenangan batin

Surau.co. Di era serba filter kehidupan dapat tampak sempurna hanya dengan satu unggahan. Padahal, harusnya kejujuran menjadi harta paling berharga dalam kehidupan. Banyak orang merasa harus tampak selalu baik, selalu bahagia, dan selalu berhasil. Namun di balik itu, hati kerap letih karena terus berpura-pura. Pada titik inilah pesan kejujuran yang ditanamkan oleh para ulama, terutama yang tertuang dalam Wasiatul Musthofa, kembali bersinar sebagai pedoman yang sangat relevan.

Kejujuran bukan sekadar etika individual. Tetapi fondasi kesehatan mental, sosial, dan spiritual. Ketika filter digital menutupi kekurangan kita, sering kali kita lupa merawat kejujuran batin. Padahal, dalam ajaran Islam, kejujuran (ṣidq) adalah jalan utama menuju ketenangan hidup.

Kejujuran sebagai Pilar Kehidupan: Pesan dari Wasiatul Musthofa

Kejujuran bukan hanya kewajiban moral. Tetapi juga obat bagi kegelisahan batin. Ketika seseorang hidup apa adanya, ia terbebas dari tekanan untuk tampak sempurna. Dalam konteks digital, pesan ini sangat relevan karena banyak orang memoles identitas daringnya secara berlebihan. Media sosial yang tampak gemerlap sering menipu diri dan orang lain dengan ilusi kesempurnaan.

Dalam Wasiatul Musthofa, terdapat nasihat yang sangat menyejukkan:

“عَلَيْكَ بِالصِّدْقِ فَإِنَّهُ مَنْجَاةُ النَّفْسِ وَزِينَةُ الْمُؤْمِنِ”
“Hendaklah engkau senantiasa jujur, karena sesungguhnya kejujuran adalah keselamatan jiwa dan perhiasan seorang mukmin.”

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Di sisi lain, Wasiatul Musthofa juga mengingatkan bahwa kebenaran akan memancarkan cahaya dan menenteramkan hati. Kejujuran bukan hanya tentang ucapan, tetapi tentang menampilkan diri sesuai realitas. Ini bukan berarti kita harus membuka semua hal pribadi, tetapi lebih kepada menjaga keselarasan antara identitas daring dan identitas diri yang sejati. Ketika seseorang mengedepankan kejujuran, ia tidak mudah terombang-ambing oleh ekspektasi publik.

Kejujuran dalam Al-Qur’an dan Hadis: Pedoman Abadi untuk Zaman Digital

Al-Qur’an menjadikan kejujuran sebagai tanda ketakwaan. Dalam surah At-Taubah ayat 119, Allah berfirman:

﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan jadilah kalian bersama orang-orang yang jujur.”

Ayat ini bukan sekadar perintah moral, melainkan penegasan bahwa kejujuran merupakan penopang keimanan. Dalam kehidupan kini, ketika hoaks menyebar lebih cepat daripada kebenaran, ayat tersebut menjadi kompas moral yang sangat penting. Bersama orang-orang yang jujur berarti ikut menjaga ruang digital dari informasi palsu, manipulasi citra, dan pencitraan kosong.

Rasulullah ﷺ juga menegaskan keutamaan kejujuran dalam hadis sahih:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

“عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ…”
“Hendaklah kalian berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini memberi arah bahwa kejujuran tidak pernah merugikan pelakunya. Dalam konteks zaman serba filter, kejujuran melindungi seseorang dari jebakan hidup palsu yang menggerus identitas diri. Orang yang jujur tidak mudah tertipu oleh citra digital orang lain, sebab ia memahami bahwa sejatinya setiap orang memiliki kekurangan.

Zaman Serba Filter: Ketika Identitas Menjadi Ilusi

Era digital membentuk budaya visual yang sangat memengaruhi persepsi diri. Filter kamera mampu merapikan kulit, meniruskan wajah, bahkan mengubah ekspresi. Dampaknya, banyak orang menyerah pada ilusi karena merasa tampilan aslinya tidak cukup. Hal ini menyebabkan tekanan psikologis dan kegelisahan yang tidak sedikit.

Dalam dua paragraf pertama ini, kita melihat tantangan terbesar generasi hari ini: kejujuran diri. Banyak anak muda merasa harus mengikuti standar kecantikan atau kesuksesan yang tidak realistis. Padahal, dalam Islam, nilai seseorang tidak ditentukan oleh tampilan luar, tetapi oleh ketulusan hati dan amal saleh. Ulama besar Imam Al-Ghazali pernah menerangkan:

“إِنَّمَا يَنْظُرُ اللهُ إِلَى قُلُوبِكُمْ لَا إِلَى صُوَرِكُمْ”
“Sesungguhnya Allah melihat hati kalian, bukan rupa kalian.”

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Pernyataan ini menyentuh inti dari krisis kejujuran digital. Kita hidup dalam budaya yang terlalu fokus pada “gambar diri”, bukan “isi diri”. Maka, kejujuran menjadi tameng agar kita tidak terjebak dalam pencitraan. Menyaring foto itu boleh saja, tetapi menipu diri dan orang lain bukanlah pilihan yang sehat secara spiritual maupun psikologis.

Belajar Jujur kepada Diri Sendiri: Fondasi Membangun Identitas Sejati

Kejujuran terhadap diri sendiri merupakan langkah pertama dalam membentuk identitas yang kokoh. Ketika seseorang berani mengakui kekurangan, ia akan lebih mudah memperbaikinya. Sebaliknya, ketika seseorang terus menutupinya dengan filter citra, ia akan terperangkap dalam dunia yang tidak nyata. Wasiatul Musthofa menegaskan bahwa orang yang jujur akan menemukan keselamatan dirinya, karena ia tidak dirundung oleh beban kepalsuan.

Pada bagian ini, kita dapat memahami bahwa kejujuran bukan hanya tentang berbicara benar, tetapi juga tentang memahami siapa diri kita sebenarnya. Ulama seperti Syaikh Ibnu Atha’illah berkata:

“مَنْ صَدَقَ مَعَ اللهِ صَدَقَهُ اللهُ”
“Siapa yang jujur kepada Allah, maka Allah akan membenarkannya.”

Kejujuran kepada diri sendiri mempermudah seseorang untuk jujur kepada Allah dan sesama manusia. Dengan cara ini, hidup menjadi lebih ringan dan penuh makna. Ketika kita tidak terbebani oleh pencitraan, energi kita tersalurkan untuk hal-hal produktif, bukan untuk menjaga tampilan palsu.

Menjaga Kejujuran dalam Interaksi Digital

Interaksi digital menuntut kebijaksanaan moral. Bahkan hal kecil seperti membagikan foto, menulis komentar, atau memilih filter bisa memengaruhi citra diri dan persepsi orang lain. Karena itu, prinsip kejujuran harus hadir dalam setiap keputusan digital. Media sosial dapat menjadi ladang kebaikan jika digunakan dengan niat yang lurus dan hati yang jujur.

Dalam Wasiatul Musthofa, terdapat pesan yang sangat relevan:

“وَاجْعَلْ لِسَانَكَ صَادِقًا وَقَلْبَكَ نَقِيًّا”
“Jadikanlah lisanmu jujur dan hatimu bersih.”

Pesan ini mengajak kita untuk tidak hanya jujur secara verbal, tetapi juga menjaga kebersihan niat. Di zaman serba filter, niat menjadi aspek penting, karena terkadang seseorang menampilkan kebaikan hanya untuk pujian. Jika kejujuran menjadi kompas moral penyaring niat, maka interaksi digital berubah menjadi amal saleh, bukan sekadar ajang pamer.

Penutup: Menjadi Cahaya Kejujuran di Tengah Dunia Penuh Filter

Kejujuran adalah cahaya yang tidak dapat dipadamkan, sekalipun dunia dipenuhi filter dan ilusi visual. Ketika seseorang berpegang pada nilai kejujuran, ia akan menemukan ketenangan yang tidak dapat diberikan oleh dunia yang gemerlap. Wasiatul Musthofa mengajarkan bahwa kejujuran adalah keselamatan, dan keselamatan itu hadir melalui hidup apa adanya—bukan hidup sebagai bayangan.

Mari menjadi pribadi yang jujur, yang berani menampilkan diri apa adanya, yang menjadikan ruang digital sebagai ladang kebaikan, bukan panggung kepalsuan. Dengan kejujuran, kita bukan hanya menyelamatkan diri, tetapi juga menghadirkan keteduhan bagi lingkungan kita.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement