SURAU.CO – Kesalehan dalam Islam sering dipahami secara sempit, yaitu sebatas ibadah ritual shalat, puasa, tilawah, dan zikir. Namun jika ditelusuri lebih dalam, Al-Qur’an, Sunnah, serta warisan ulama klasik menegaskan bahwa kesalehan juga mencakup kepedulian terhadap lingkungan.
Salah satu bentuk kesalehan sosial yang sangat relevan dengan kondisi zaman sekarang adalah tidak merusak hutan dan menjaga kelestariannya. Dalam fiqih ekologis, yakni sebuah cabang kajian kontemporer yang menggali hubungan antara ajaran Islam dan pelestarian lingkungan, menyatakan bahwa menjaga hutan merupakan taklif syar’i yang memiliki konsekuensi hukum, moral, dan sosial.
Kesalehan Sosial dalam Perspektif Islam
Kesalehan sosial (ṣalāḥ ijtimā‘ī) adalah dimensi kesalehan yang terwujud dalam hubungan seseorang dengan sesama manusia, masyarakat, dan alam. Islam tidak pernah mengajarkan kesalehan yang bersifat individualistik. Oleh karena itu, seorang muslim tidak dianggap sempurna jika hanya rajin beribadah, tetapi membiarkan dirinya melakukan kerusakan sosial dan lingkungan.
Kesalehan sosial terlihat dalam tindakan-tindakan seperti:
- Menjaga hak orang lain
- Menghindari bahaya bagi masyarakat
- Menyediakan manfaat bagi banyak orang
- Menjaga kelestarian alam sebagai amanah dari Allah
Ketika seseorang menjaga hutan, ia bukan hanya menjaga pohon atau tanah, tetapi juga menjaga keselamatan masyarakat dari bencana, menjaga udara tetap bersih, serta menjaga kehidupan makhluk hidup lain yang juga merupakan ciptaan Allah. Oleh sebab itu, tindakan melindungi lingkungan—termasuk hutan—adalah bentuk nyata dari kesalehan sosial.
Hutan sebagai Amanah dalam Syariat
Dalam Al-Qur’an, Allah sering mengaitkan penciptaan alam dengan tanda-tanda kebesaran-Nya (ayat kauniyah). Alam bukan milik manusia, tetapi milik Allah yang dipinjamkan kepada manusia untuk dikelola dan dijaga. Allah berfirman:
“Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.”
(QS. Al-An’am: 165)
Kata khalifah menegaskan peran manusia sebagai pengelola dan penjaga bumi. Artinya, manusia bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan, sungai, gunung, udara, serta seluruh unsur alam lainnya.
Dalam konteks hutan, peran khalifah berarti:
- Tidak menebang pohon secara sembarangan
- Tidak melakukan pembakaran hutan
- Tidak mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan
- Menjaga keberlanjutan kehidupan makhluk lain
Hutan bukan sekadar area hijau, tetapi sistem ekologis yang kompleks. Merusaknya berarti merusak amanah yang Allah titipkan kepada manusia.
Larangan Fasad (Kerusakan) dalam Perspektif Fiqih Ekologis
Salah satu prinsip penting dalam fiqih ekologis adalah larangan fasad, yakni segala bentuk kerusakan yang ditimbulkan manusia di muka bumi. Allah berfirman:
“Janganlah kalian membuat kerusakan di bumi setelah Allah memperbaikinya.”
(QS. Al-A’raf: 56)
Dalam tafsir ulama klasik seperti Al-Qurthubi dan Ibn Katsir, al-fasad mencakup segala bentuk kerusakan, baik lingkungan, moral, maupun sosial.
Kerusakan hutan masuk dalam kategori fasad karena:
- Menghilangkan fungsi ekologis
Pohon menyerap karbon, menghasilkan oksigen, menahan erosi, dan mengatur tata air. Ketika hutan dirusak, semua fungsi ini hilang, menyebabkan banjir, longsor, dan kekeringan. - Mengganggu kehidupan makhluk lain
Hewan dan tumbuhan kehilangan habitatnya. Dalam hadis disebutkan bahwa menyakiti hewan tanpa hak merupakan perbuatan dosa. - Mengancam kehidupan masyarakat
Deforestasi bisa menimbulkan bencana yang merugikan banyak orang. Dalam fiqih, membahayakan nyawa atau harta masyarakat termasuk dosa besar. - Melanggar prinsip keberlanjutan (isti’mar)
Syariat mendorong manusia untuk memakmurkan bumi, bukan menghancurkannya.
Kerusakan hutan bukan hanya dosa ekologis, tetapi juga dosa sosial karena dampaknya menimpa banyak orang.
Menjaga Hutan Sebagai Ibadah dan Sedekah
Fiqih ekologis memandang bahwa tindakan menjaga kelestarian alam dapat bernilai ibadah jika diniatkan untuk kebaikan. Bahkan, menanam pohon memberikan pahala berlipat, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
“Tidaklah seorang Muslim menanam pohon, lalu dimakan oleh manusia, hewan atau burung, kecuali itu menjadi sedekah baginya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa:
- Menanam pohon termasuk amal jariyah
- Menjaga pohon berarti menjaga sumber pahala
- Menghancurkan pohon tanpa alasan syar’i berarti merusak pahala
Jika menanam satu pohon saja bernilai sedekah, apalagi menjaga jutaan pohon di hutan tetap hidup. Oleh karena itu, tidak merusak hutan bukan hanya kelakuan etis, tetapi tindakan ibadah yang mendatangkan pahala.
Kewajiban Menghindari Bahaya (La Dlarara wa La Dlarara)
Dalam salah satu kaidah fiqih paling terkenal, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh membalas bahaya dengan bahaya.”
(HR. Ibn Majah)
Kaidah ini melahirkan hukum universal yang berlaku pada seluruh aspek kehidupan, termasuk lingkungan.
Merusak hutan terbukti menimbulkan bahaya besar:
- Banjir bandang
- Longsor
- Kebakaran hutan yang mencemari udara
- Punahnya spesies
- Pemanasan global
- Krisis air
Maka, menurut kaidah fiqih, merusak hutan adalah haram karena termasuk tahqiq al-dlarar (mewujudkan bahaya) bagi masyarakat luas.
Tinjauan Ulama dan Tradisi Fiqih Klasik
Walaupun istilah “fiqih ekologis” adalah istilah kontemporer, namun konsepnya sudah lama ada dalam kitab-kitab klasik. Para ulama membahas:
- Haramnya merusak tanaman tanpa hak
- Kewajiban menjaga irigasi
- Larangan mencemari air
- Larangan memburu hewan secara berlebihan
- Larangan menebang pohon di tanah haram
Rasulullah ﷺ sendiri mendeklarasikan Hima (kawasan lindung) di Madinah—sebuah konsep yang mirip dengan konservasi modern. Pohon dan hewan di daerah tersebut dilindungi, tidak boleh ditebang atau diburu.
Ini menunjukkan bahwa Islam telah memiliki konsep konservasi alam sejak 14 abad yang lalu.
Merusak Hutan Bukan Sekadar Dosa Lingkungan, tetapi Dosa Sosial
Dosa sosial adalah dosa yang dampaknya menimpa orang banyak. Maka, deforestasi dan perusakan hutan menyebabkan kerugian yang sifatnya luas dan jangka panjang. Maka, beberapa dosanya adalah:
- Menimbulkan kerugian ekonomi
Banjir dan longsor merusak rumah, sawah, serta infrastruktur. - Mengancam nyawa
Bencana akibat kerusakan hutan bisa merenggut banyak korban jiwa. - Mencemari udara dan air
Kebakaran hutan menyebabkan polusi yang mengancam kesehatan. - Merampas hak generasi mendatang
Anak cucu kehilangan hutan dan sumber kehidupan.
Dalam Islam, merampas hak orang lain, terlebih orang banyak, termasuk dalam dosa besar.
Langkah Nyata Kesalehan Sosial dalam Menjaga Hutan
Kesalehan sosial bukan hanya teori atau pengetahuan, tetapi ia harus tampak dalam amal nyata. Berikut beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan:
1. Tidak terlibat dalam penebangan liar
Baik sebagai pelaku, pembeli, maupun pendukungnya. Maka, setiap keterlibatan dalam mata rantai kerusakan termasuk perbuatan dosa.
2. Menanam pohon
Bahkan satu pohon saja bisa menjadi sedekah yang terus mengalir.
3. Mendukung produk legal dan ramah lingkungan
Memilih produk yang bersertifikasi dan berkelanjutan adalah langkah kecil yang berdampak besar.
4. Mengurangi konsumsi kayu atau kertas
Gaya hidup minimalis dan hemat termasuk bagian dari kesalehan ekologis.
5. Melaporkan perusakan hutan
Mencegah kemungkaran adalah kewajiban Muslim, termasuk kemungkaran ekologis.
6. Ikut serta dalam program penghijauan
Terlibat dalam kegiatan penanaman pohon atau rehabilitasi hutan.
7. Edukasi keluarga dan masyarakat
Kesadaran ekologis harus diwariskan kepada anak-anak agar menjadi budaya.
Penutup
Islam adalah agama yang sangat peduli pada kelestarian alam. Tidak merusak hutan merupakan bentuk kesalehan sosial sekaligus bagian dari ibadah kepada Allah. Dalam tinjauan fiqih ekologis, menjaga hutan adalah kewajiban moral, keagamaan, dan sosial. Deforestasi bukan hanya tindakan kriminal lingkungan, tetapi juga pelanggaran syariat karena menimbulkan bahaya bagi banyak orang dan merusak amanah Allah di muka bumi.
Dengan menjaga hutan, kita menjaga kehidupan. Dengan menjaga kehidupan, kita sedang beribadah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
