Surau.co. Ada satu kisah yang begitu terkenal di kalangan santri dan ulama. Kisah itu disebut Hadis Jibril, yaitu ketika malaikat Jibril datang kepada Nabi Muhammad ﷺ dalam rupa seorang lelaki asing. Ia duduk sopan di hadapan Rasulullah, lututnya menempel pada lutut Nabi, dan mulai bertanya. Pertanyaan-pertanyaan itu tampak sederhana, tapi sejatinya merangkum seluruh fondasi ajaran Islam: Islam, Iman, dan Ihsan.
Kisah inilah yang kemudian menjadi dasar bagi para ulama dalam menjelaskan hakikat agama, termasuk oleh Syekh Zainuddin al-Malibari dalam kitab Irsyadul Ibad. Di sana, beliau menegaskan bahwa agama tidak berhenti pada gerakan lahiriah, tetapi juga mencakup keyakinan batin dan kehalusan sikap hati.
Artikel ini mengajak kita memahami kembali pesan besar dari hadis ini dengan menelusuri penjelasan para ulama dalam Irsyadul Ibad, agar ibadah dan kehidupan beragama kita tidak kering dari makna.
Hadis Jibril: Fondasi Tiga Pilar Agama
Hadis Jibril diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya. Rasulullah ﷺ bersabda:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ ذَاتَ يَوْمٍ، إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ، شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ، لا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ، فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ، وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلامِ…
(HR. Muslim)
Dalam hadis itu, malaikat Jibril bertanya empat hal: tentang Islam, Iman, Ihsan, dan tanda-tanda kiamat. Rasulullah ﷺ menjawab dengan penjelasan ringkas tapi sangat dalam.
“Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan berhaji jika mampu.”
“Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan takdir yang baik maupun yang buruk.”
“Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak mampu melihat-Nya, maka yakinlah bahwa Dia melihatmu.”
Di akhir hadis, Rasulullah menjelaskan kepada para sahabat:
“Itulah Jibril, ia datang untuk mengajarkan kalian tentang agama kalian.”
(Hādā Jibrīlu ataakum yu‘allimukum dīnakum.)
Islam: Gerakan Lahir yang Menyatakan Kepatuhan
Dalam Irsyadul Ibad, Syekh Zainuddin al-Malibari menjelaskan makna Islam bukan sekadar pengakuan lisan, tetapi perwujudan nyata dalam amal. Beliau menerangkan:
قال الشيخ زين الدين المليباري:
الإسلام هو الانقياد الظاهر لأوامر الله تعالى، والامتثال بالأركان الخمس كما جاء في الحديث.“Islam adalah ketundukan lahir terhadap perintah Allah Ta‘ala, yang diwujudkan dengan melaksanakan lima rukun sebagaimana disebutkan dalam hadis.”
Artinya, Islam adalah sisi lahir dari agama: syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji. Namun, Irsyadul Ibad menegaskan bahwa amal-amal itu tidak bermakna tanpa niat yang ikhlas dan pemahaman yang benar.
Syekh Zainuddin memberi contoh: seseorang yang salat dengan sempurna gerakannya, tapi hatinya lalai, sejatinya belum menyentuh hakikat Islam. Maka dari itu, beliau menasihati agar amal lahir selalu diiringi kesadaran batin.
وَإِنَّمَا تُقْبَلُ الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَالإِخْلاصِ، وَبِهُمَا يَتِمُّ الإِسْلامُ.
“Sesungguhnya amal diterima karena niat dan keikhlasan; dengan keduanya Islam menjadi sempurna.”
Iman: Keyakinan yang Menumbuhkan Keteguhan
Jika Islam adalah gerak lahir, maka Iman adalah getar batin. Ia tak tampak oleh mata, tetapi terasa dalam keyakinan dan konsistensi seseorang.
Dalam Irsyadul Ibad, Syekh Zainuddin menerangkan bahwa iman adalah pondasi yang menegakkan amal. Tanpa iman, amal hanya menjadi rutinitas kosong.
الإيمان هو تصديق القلب بما أخبر الله به ورسوله، لا مجرد قول اللسان.
“Iman adalah pembenaran hati terhadap apa yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya, bukan sekadar ucapan lisan.”
Penjelasan ini menegaskan bahwa iman memiliki kedalaman psikologis dan spiritual. Ia menumbuhkan rasa aman, tenang, dan harapan kepada Allah. Ketika iman kuat, amal menjadi ringan. Namun ketika iman lemah, ibadah terasa berat dan kering dari makna.
Rasulullah ﷺ bersabda:
« لاَ يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ »
“Tidaklah seorang pencuri mencuri dalam keadaan dia beriman.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini mengajarkan bahwa iman bukan hanya pengakuan, tetapi kekuatan moral yang mencegah dosa. Iman sejati menumbuhkan rasa malu kepada Allah — rasa takut sekaligus cinta yang menjaga diri dalam setiap keadaan.
Ihsan: Hadirnya Hati di Hadapan Allah
Puncak dari perjalanan spiritual seorang mukmin adalah Ihsan. Dalam hadis Jibril, Rasulullah ﷺ mendefinisikannya sebagai beribadah seolah-olah engkau melihat Allah. Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, maka yakinlah bahwa Dia melihatmu.
Syekh Zainuddin dalam Irsyadul Ibad menjelaskan:
الإحسان هو مراقبة الله تعالى في السر والعلانية، وأن يعبد العبد ربه كأنه يراه.
“Ihsan adalah kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan, dan bahwa seorang hamba beribadah seakan-akan ia melihat Tuhannya.”
Inilah maqam (tingkatan) tertinggi dalam agama. Seorang yang beribadah dengan ihsan tidak lagi digerakkan oleh kewajiban, tapi oleh cinta. Ia tidak sekadar shalat karena perintah, tapi karena rindu untuk dekat dengan Allah.
Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin juga menjelaskan:
العبادة بلا حضور القلب جسد بلا روح.
“Ibadah tanpa kehadiran hati adalah jasad tanpa ruh.”
Maka, ketika seseorang mencapai ihsan, setiap gerakannya menjadi zikir, setiap pandangannya menjadi tafakur, dan setiap diamnya menjadi penghambaan.
Tiga Pilar yang Tak Terpisahkan
Irsyadul Ibad mengajarkan bahwa Islam, Iman, dan Ihsan bukan tiga jalan berbeda, tapi tiga tingkatan yang saling melengkapi. Islam menata perilaku, Iman menegakkan keyakinan, dan Ihsan menyempurnakan jiwa.
Syekh Zainuddin menerangkan:
فمن جمع الإسلام والإيمان والإحسان فقد استقام دينه، ومن فقد واحداً منها نقص حاله.
“Barang siapa menghimpun Islam, Iman, dan Ihsan, maka sempurnalah agamanya. Barang siapa kehilangan salah satunya, maka berkuranglah kesempurnaan keadaannya.”
Pesan ini relevan bagi para santri dan umat Islam di masa kini. Banyak orang tekun beramal lahir, namun kurang mengasah makna batin. Sebaliknya, ada yang semangat bicara tentang iman, tapi malas beramal. Padahal keduanya harus bersatu, seperti tubuh dan ruh yang tak terpisahkan.
Menumbuhkan Sikap Iman, Islam, dan Ihsan dalam Kehidupan
Di era modern, memahami tiga pilar ini menjadi semakin penting. Islam tidak cukup hanya sebagai identitas, tetapi harus menjadi perilaku nyata. Iman bukan sekadar keyakinan pribadi, tetapi sumber kekuatan moral. Ihsan bukan sekadar ideal spiritual, tetapi cara kita memaknai setiap aktivitas dengan kehadiran Allah.
Syekh Zainuddin memberi nasihat sederhana tapi dalam:
عليك بمراقبة الله في جميع أحوالك، فإنها روح العبادة ومفتاح السعادة.
“Jagalah kesadaran akan pengawasan Allah dalam setiap keadaanmu, karena itu adalah ruh ibadah dan kunci kebahagiaan.”
Ketika seorang santri membaca, menulis, atau bekerja dengan rasa diawasi Allah, maka semua aktivitasnya bernilai ibadah. Inilah hakikat “agama sebagai jalan hidup”, bukan sekadar ritual.
Penutup: Cahaya dari Pertanyaan Malaikat
Hadis Jibril bukan sekadar dialog antara malaikat dan Nabi. Ia adalah pelajaran terbuka bagi seluruh umat Islam tentang bagaimana menata diri lahir dan batin.
Jika Islam adalah tubuh, Iman adalah jantungnya, dan Ihsan adalah napas yang menghidupinya. Tanpa salah satu, manusia beragama hanya menjadi makhluk ritual tanpa ruh.
Semoga kita termasuk orang yang memelihara ketiganya, sebagaimana diajarkan Rasulullah ﷺ dan diterangkan oleh para ulama seperti Syekh Zainuddin dalam Irsyadul Ibad.
اللهم اجعلنا من المحسنين، المؤمنين، المسلمين الصادقين.
“Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang berbuat ihsan, beriman, dan Islam yang sejati.”
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
