Surau.co. Bagi banyak orang, ibadah sering dipahami sebagai rutinitas lahiriah: berdiri, rukuk, sujud, berzikir, atau sekadar gerak badan yang diulang setiap hari. Padahal, di balik setiap gerakan itu ada getaran hati yang menjadi inti dari seluruh Ibadah menurut kitab Irsyadul Ibad.
Kitab Irsyadul ‘Ibad ila Sabilir-Rasyad, karya Syaikh Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al-Malibari — ulama besar dari Malabar, India Selatan, yang dikenal luas di pesantren Nusantara — menegaskan bahwa ibadah sejati bukan hanya perbuatan lahir, tetapi juga keadaan batin yang menghubungkan hamba dengan Tuhannya.
Syaikh Zainuddin menerangkan dalam salah satu bagian kitabnya:
ليس المقصود من العبادة الحركات الظاهرة، ولكن المقصود بها الخضوع لله والخشوع له.
“Yang dimaksud dari ibadah bukanlah sekadar gerakan lahiriah, tetapi ketundukan dan kekhusyukan kepada Allah.”
Kalimat sederhana itu seperti menampar kesadaran kita. Sebab, berapa banyak orang yang rajin shalat tapi tidak merasakan tenang? Berapa banyak yang berpuasa tapi tak menahan lidah dari menyakiti? Artinya, gerakan lahir belum tentu menunjukkan ibadah batin yang hidup.
Ibadah yang Hidup: Antara Lahir dan Batin
Dalam Islam, ibadah memiliki dua sisi yang tak terpisahkan: lahir dan batin. Lahir meliputi gerakan dan ucapan, sementara batin menyangkut niat, ikhlas, dan rasa tunduk.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ.
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa nilai ibadah bukan ditentukan oleh banyaknya gerakan, tapi oleh bagaimana hati bekerja di baliknya. Ibadah tanpa hati hanyalah bentuk kosong — seperti tubuh tanpa ruh.
Niat: Ruh Ibadah yang Tak Boleh Kosong
Setiap amal tergantung pada niat. Sabda Nabi ﷺ yang terkenal selalu dikutip di awal kitab fiqih:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى.
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai yang diniatkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam konteks ini, Irsyadul ‘Ibad menjelaskan bahwa niat bukan hanya pengucapan di bibir, tetapi penggerak batin yang menata arah ibadah. Tanpa niat yang benar, shalat menjadi olahraga, puasa menjadi diet, dan zakat menjadi sedekah tanpa ruh.
Syaikh Zainuddin menerangkan:
النية عمل القلب، وهي الأصل في كل عبادة.
“Niat adalah amalan hati, dan ia menjadi dasar bagi setiap ibadah.”
Itulah sebabnya para santri diajarkan untuk melatih niat sebelum beramal, bukan hanya menghafal lafaznya. Karena niat adalah penentu arah perjalanan ruhani — keikhlasan yang menautkan amal kepada Allah, bukan kepada pujian manusia.
Khusyuk: Diamnya Tubuh, Hidupnya Jiwa
Khusyuk adalah ruh dari shalat dan ibadah lainnya. Allah ﷻ berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
“Sungguh beruntung orang-orang beriman, yaitu mereka yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 1–2)
Khusyuk bukan berarti tubuh tidak bergerak sama sekali, melainkan hati yang hadir. Syaikh Zainuddin menguraikan bahwa khusyuk lahir dari kesadaran akan kebesaran Allah dan kesadaran diri sebagai hamba yang lemah.
Beliau menerangkan:
الخشوع هو حضور القلب مع الله، وسكون الجوارح من غيره.
“Khusyuk adalah hadirnya hati bersama Allah, dan tenangnya anggota badan dari selain-Nya.”
Santri yang khusyuk dalam ibadah akan membawa ketenangan itu ke luar sajadah: dalam berbicara, bekerja, bahkan dalam bersikap kepada sesama. Ibadah yang khusyuk memancarkan akhlak yang lembut, bukan kesombongan spiritual.
Ikhlas: Menyembah Tanpa Pamrih
Ikhlas adalah penjernih niat, pemurni Ibadah. Amal kecil yang dilakukan dengan ikhlas lebih dicintai Allah daripada amal besar yang penuh riya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ.
“Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali yang dilakukan dengan ikhlas dan hanya mengharap wajah-Nya.” (HR. An-Nasai)
Santri memahami bahwa menjaga hati agar ikhlas bukan hal mudah. Ia butuh latihan panjang, mujahadah, dan introspeksi setiap hari. Namun, di situlah nilai ibadah — perjuangan batin untuk tetap jujur di hadapan Allah.
Ibadah dan Akhlak: Dua Wajah dari Satu Ruh
Bila ibadah benar-benar tertanam di hati, ia akan memunculkan akhlak yang baik. Shalat, misalnya, bukan hanya kewajiban, tapi juga pelindung dari keburukan. Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar.” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 45)
Dalam Irsyadul ‘Ibad, dijelaskan bahwa jika seseorang rajin beribadah tapi masih gemar berbuat maksiat, maka ibadahnya belum menyentuh hati. Karena ibadah yang benar akan melahirkan kelembutan, bukan keangkuhan.
من عبد الله ببدنه ولم يطهر قلبه، فهو كمن يغسل الثوب ولا يغسل الجسد.
“Barang siapa beribadah dengan tubuhnya tanpa mensucikan hatinya, maka ia seperti orang yang mencuci baju tanpa membersihkan badannya.”
Analogi ini sederhana tapi menggetarkan. Artinya, membersihkan hati lebih penting dari memperindah bentuk ibadah lahiriah.
Ibadah sebagai Jalan Cinta
Dalam pandangan para ulama, ibadah bukan sekadar kewajiban, tapi jalan cinta antara hamba dan Tuhan. Seorang ulama besar berkata:
العبادة حبٌّ خالصٌ لله تعالى.
“Ibadah adalah cinta murni kepada Allah Ta‘ala.”
Cinta itu membuat ibadah terasa ringan. Orang yang mencintai Allah tidak merasa berat untuk berdzikir atau bangun malam. Santri yang baik memahami bahwa cinta kepada Allah bukanlah perasaan kosong, tapi kesetiaan dalam ibadah. Setiap rukuk dan sujud adalah surat cinta yang dikirimkan melalui hati yang ikhlas.
Ibadah Tanpa Hati: Gerak Tanpa Ruh
Ibadah tanpa kehadiran hati seperti tubuh tanpa nyawa. Ia bergerak, tapi tak hidup. Itulah sebabnya Nabi ﷺ bersabda:
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ، وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ.
“Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapat apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga, dan banyak orang shalat malam yang tidak mendapat apa-apa selain begadang.” (HR. Ahmad)
Hadis ini memperingatkan agar ibadah kita tidak berhenti di kulit. Gerakan shalat, puasa, atau zikir hanyalah wadah; isinya adalah keikhlasan, kesadaran, dan rasa cinta kepada Allah.
Penutup: Jadikan Ibadahmu Tempat Berjumpa
Ibadah adalah ruang pertemuan antara hamba dan Tuhannya. Di situ hati berbicara dengan keheningan, bukan dengan kata. Gerakan hanyalah jalan menuju kedalaman makna.
Irsyadul ‘Ibad mengajarkan bahwa hakikat ibadah terletak pada kehadiran hati yang tunduk dan mencintai. Ketika hati hadir, ibadah berubah menjadi cahaya.
الصلاة معراج المؤمن، فمن لم يعرج بها فقد صلّى صورةً لا حقيقةً.
“Shalat adalah mi‘raj orang beriman. Siapa yang tidak naik dengannya, maka ia hanya menunaikan bentuk tanpa hakikat.”
Maka, jangan biarkan ibadahmu berhenti di gerakan. Jadikan setiap rukuk sebagai tanda tunduk, setiap sujud sebagai penyerahan, dan setiap salam sebagai tanda cinta kepada sesama. Karena ibadah sejati bukan hanya apa yang terlihat, tapi apa yang terasa — di dalam hati yang hidup.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
