Khazanah
Beranda » Berita » Biografi Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani: Ulama dari Tanara yang Menyinari Dunia Lewat Bahjatul Wasail

Biografi Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani: Ulama dari Tanara yang Menyinari Dunia Lewat Bahjatul Wasail

Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani menulis kitab Bahjatul Wasail di Makkah dengan cahaya lembut.
Ilustrasi ulama besar Syekh Nawawi al-Bantani tengah menulis karya di Makkah dengan ketulusan, menggambarkan semangat ilmu dan pengabdian.”

Surau.co. Biografi Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani menjadi salah satu kisah paling menginspirasi dalam sejarah Islam Nusantara. Lahir di Tanara, Banten, sekitar tahun 1813 M, beliau tumbuh di lingkungan sederhana yang sarat cinta ilmu dan agama. Ayahnya, KH Umar bin Arabi—seorang penghulu alim dan berakhlak mulia—mendorong anak-anaknya untuk mencintai ilmu sejak dini.

Sejak kecil, Nawawi menunjukkan kecerdasan dan rasa ingin tahu yang kuat. Alih-alih bermain seperti anak-anak lain, ia memilih menekuni kitab dan menirukan cara ayahnya mengajar. Masyarakat pun mengenalnya sebagai anak tekun dan rendah hati. Dari desa kecil inilah kemudian lahir seorang ulama besar dunia Islam yang karya-karyanya melampaui batas ruang dan waktu.

Frasa kunci Biografi Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani menggambarkan figur berilmu tinggi sekaligus memiliki keteladanan spiritual mendalam. Ia menulis ratusan kitab, dan salah satu karya pentingnya, Bahjatul Wasail, terus mengalirkan cahaya ilmu bagi banyak pesantren di Nusantara.

Perjalanan Panjang Menuntut Ilmu di Tanah Suci

Ketika beranjak remaja, Syekh Nawawi meninggalkan kampung halaman untuk belajar di berbagai pesantren di Jawa. Namun, semangat menuntut ilmu mendorongnya melangkah lebih jauh. Pada usia sekitar lima belas tahun, ia berangkat menuju Makkah al-Mukarramah, menempuh perjalanan panjang penuh tantangan demi meraih ridha Allah.

Setibanya di Tanah Suci, ia berguru kepada para ulama besar Haramain, seperti Syekh Ahmad Khatib Sambas dan Syekh Zaini Dahlan. Melalui bimbingan mereka, Nawawi muda tidak hanya mendalami fikih dan tafsir, tetapi juga memahami inti tasawuf—ilmu yang menata jiwa. Ketekunan dan kecemerlangannya membuat namanya melambung hingga para ulama Makkah menjulukinya Imam Nawawi Ats-Tsani (Imam Nawawi kedua).

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah: Wahai Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.” (QS. Thaha: 114)

Ayat ini menjadi prinsip hidup Syekh Nawawi al-Bantani. Baginya, menuntut ilmu merupakan jalan panjang menuju Allah dan bentuk ibadah yang tidak pernah berhenti.

Menulis Kitab dalam Kesederhanaan dan Doa

Setelah menetap di Makkah, Syekh Nawawi mengajar sekaligus menulis. Ia menghasilkan lebih dari seratus kitab dalam berbagai bidang—tafsir, fikih, tasawuf, dan akidah. Di antara karya terkenalnya, Bahjatul Wasail bi Syarh al-Masailmenempati posisi istimewa karena menyuguhkan pemahaman agama secara menyeluruh.

Melalui kitab tersebut, beliau tidak hanya menjelaskan hukum-hukum lahiriah, tetapi juga mengajak pembaca merenungkan makna batin dari ibadah. Perpaduan fikih yang kuat dan sentuhan tasawuf yang lembut membentuk gaya penulisan yang sederhana namun kaya hikmah. Banyak santri merasa seperti sedang berdialog dengan seorang guru yang sabar dan penuh kasih.

Di berbagai pesantren Nusantara, kitab ini terus mengalirkan manfaat. Para santri mempelajari isi kitab sekaligus meresapi ketulusan penulisnya.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Menghidupkan Ilmu dalam Kehidupan Sehari-hari

Kisah hidup Syekh Nawawi memancarkan pelajaran tentang kecerdasan yang berpadu dengan kesederhanaan. Selama tinggal di Makkah, beliau menjalani kehidupan apa adanya—rumah kecil, pakaian sederhana, dan makanan yang tidak berlebihan. Justru melalui kesahajaan itu, kedalaman jiwanya tampak semakin terang. Ia menulis bukan demi popularitas, tetapi demi keberkahan.

Dalam kehidupan modern yang serba cepat, teladan beliau terasa semakin relevan. Di tengah ambisi dunia, Syekh Nawawi menunjukkan bahwa ilmu sejati tidak diukur dari banyaknya pengetahuan, tetapi dari manfaatnya.

Rasulullah ﷺ bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad)

Syekh Nawawi menjalankan hadis ini sepanjang hidupnya. Setiap huruf yang ia tulis menjadi doa, dan setiap karyanya menjadi sedekah ilmu. Wajar jika namanya terus hidup lebih dari satu abad setelah wafatnya.

Akhir Hayat Mulia dan Warisan Tak Lekang Waktu

Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani wafat pada tahun 1897 M di Makkah dan dimakamkan di Ma’la, tidak jauh dari makam Sayyidah Khadijah RA. Di tempat suci itu, jasadnya beristirahat dengan tenang, sementara ilmunya terus menyinari dunia Islam.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Hingga kini, kitab-karyanya tetap menjadi rujukan penting di banyak pesantren. Di Banten, para santri membacanya dengan hormat; di Makkah, para ulama mengenangnya sebagai teladan; dan di hati umat Islam Indonesia, beliau hadir sebagai ulama yang membawa nama Nusantara menuju puncak dunia keilmuan Islam.

Kita yang hidup hari ini dapat mengambil banyak pelajaran: tentang kesungguhan belajar, keikhlasan beramal, dan pentingnya menjaga hati di tengah derasnya arus dunia modern.

Meneladani Jejak Ilmu dan Ketulusan Syekh Nawawi

Belajar dari Biografi Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani berarti menapaki jalan keikhlasan yang melampaui zaman. Ia mengajarkan bahwa ilmu tanpa akhlak hanya menyisakan kesia-siaan, dan amal tanpa ilmu menimbulkan kegelapan. Ketulusan beliau terus menginspirasi siapa pun yang ingin menjalani hidup yang bermakna.

Selama kitab-kitabnya dibaca di pesantren, semangat Syekh Nawawi akan tetap menyala. Ia hadir di antara lembaran ilmu, menjadi cahaya bagi pencari kebenaran dan ketenangan.

Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement