Surau.co. Dalam sejarah panjang keilmuan Islam, Fathul Qorib menempati posisi istimewa di hati para santri dan ulama. Karya monumental Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi al-Gharabili ini tidak hanya mengupas hukum-hukum lahiriah, tetapi juga memantulkan wajah Islam yang lembut, seimbang, dan penuh kasih sayang. Karena itu, sejak halaman pertama hingga akhir, kitab ini menunjukkan bahwa agama tidak hadir sebagai kumpulan aturan kaku, melainkan sebagai panduan hidup yang menebarkan rahmat bagi seluruh alam.
Menggali Makna Rahmat dalam Fathul Qorib
Islam yang tampil dalam Fathul Qorib selalu menjaga keseimbangan antara hukum dan hikmah. Setiap pembahasan tidak berhenti pada penjelasan tentang “apa yang wajib” atau “apa yang haram”, tetapi juga mengungkap nilai kasih sayang di balik setiap aturan. Dalam salah satu bagian, Syekh al-Ghazi menuliskan:
قال المؤلف رحمه الله: “الطهارة شرط لصحة الصلاة، وهي إزالة الحدث وما في معناه، وزوال الخبث.”
“Bersuci merupakan syarat sahnya salat, yaitu menghilangkan hadats dan segala yang semakna dengannya, serta menghilangkan najis.” (Fathul Qorib)
Makna ini tampak sederhana, namun sebenarnya cukup mendalam. Bersuci bukan hanya urusan fisik, melainkan cermin dari kebersihan hati dan jiwa. Karena itu, Islam yang rahmatan lil-‘alamin tidak berhenti pada kesalehan ritual, tetapi menuntun umatnya menuju kesalehan sosial—yakni kebersihan diri yang memancar menjadi kebaikan bagi lingkungan sekitar.
Islam yang Menghargai Manusia dan Kehidupan
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menghadapi dilema antara “benar secara hukum” dan “baik secara kemanusiaan”. Melalui Fathul Qorib, Syekh al-Ghazi berupaya menyatukan keduanya. Ketika membahas muamalah, beliau menegaskan:
قال المؤلف: “يحرم أكل مال الغير بغير حق، ولو كان قليلاً.”
“Haram memakan harta orang lain tanpa hak, sekalipun sedikit.” (Fathul Qorib)
Pernyataan ini secara langsung menunjukkan bahwa keadilan merupakan bagian dari kasih sayang. Rahmat tidak mengabaikan pelanggaran, tetapi mengajak manusia menegakkan keadilan dengan bijaksana. Oleh sebab itu, dalam dunia modern yang dipenuhi persaingan dan ambisi, pesan ini terasa semakin relevan: rahmat tidak identik dengan kelemahan; rahmat justru berjalan seiring dengan ketegasan dan kebijaksanaan.
Sebagaimana firman Allah:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)
Ayat ini menjadi ruh bagi keseluruhan isi Fathul Qorib. Melalui ayat tersebut, pembaca memahami bahwa hukum Islam tidak hadir untuk membelenggu, tetapi untuk membimbing manusia menuju kemaslahatan.
Dari Pesantren ke Kehidupan Nyata
Di pesantren-pesantren Nusantara, para santri tidak hanya membaca Fathul Qorib, tetapi juga menghayatinya. Mereka menyelami kedalaman maknanya sambil merasakan hangatnya nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Dalam suasana belajar yang sederhana—beralaskan tikar, berbekal kitab kuning, dan dipandu dengan penuh kesabaran—kitab ini membentuk karakter rendah hati, hormat, dan cinta terhadap ilmu.
Bahkan dalam hal-hal yang tampaknya sepele, ajaran Syekh al-Ghazi membimbing perilaku umat. Dalam bab adab makan dan minum, beliau menuliskan:
قال المؤلف: “يستحب غسل اليدين قبل الطعام وبعده، وأن يأكل بيمينه، وأن لا يعيب طعاماً.”
“Disunahkan mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, makan dengan tangan kanan, dan tidak mencela makanan.” (Fathul Qorib)
Ajaran ini tampak ringan, namun sarat filosofi tentang kebersihan, adab, dan syukur. Karena itulah, nilai-nilai tersebut tetap relevan—baik di ruang makan pesantren yang sederhana maupun di meja makan rumah-rumah modern.
Hukum yang Berwajah Kasih
Selain itu, Fathul Qorib juga menunjukkan bahwa hukum Islam berakar pada kasih, bukan kekerasan. Ketika membahas jinayah, Syekh al-Ghazi menulis dengan penuh kehati-hatian:
قال المؤلف: “الحدود زواجر وجوابر، لإقامة العدل وردع المجرم، ورحمةً بالخلق.”
“Hudud berfungsi sebagai pencegah dan penebus, untuk menegakkan keadilan, mencegah kejahatan, serta sebagai bentuk rahmat bagi makhluk.” (Fathul Qorib)
Frasa terakhir—rahmatan bil khalq—menegaskan bahwa tujuan hukuman adalah menjaga masyarakat, bukan menyakiti manusia. Dengan demikian, hukum Islam tampil tegas sekaligus humanis, lembut namun tetap menjaga tatanan sosial.
Menyambung Rahmat dalam Zaman yang Keras
Pada era yang penuh ketegangan dan polarisasi, kita semakin membutuhkan pandangan yang ditawarkan Fathul Qorib: Islam yang berpihak pada kedamaian, keadilan, dan kemaslahatan. Para pembacanya tidak hanya diajak memahami hukum, tetapi juga diajak menangkap hikmah di baliknya.
Karena itu, kita belajar bahwa rahmat tidak hanya turun dari langit. Rahmat tumbuh melalui sikap manusia: dalam kesabaran, dalam adab, dalam kejujuran, dan dalam kesediaan menolong sesama. Inilah semangat rahmatan lil-‘alaminyang sesungguhnya.
Akhirnya, Fathul Qorib mengajarkan bahwa Islam bukan sekadar agama ritual, melainkan agama kehidupan. Dari bersuci hingga muamalah, dari adab hingga keadilan, seluruh ajarannya bergerak menuju satu tujuan: menghadirkan rahmat Allah di bumi.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
