Surau.co. Di tengah derasnya arus informasi digital, Fathul Qorib karya Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi al-Gharabili tetap tampil sebagai oase ilmu di antara padang kering pengetahuan instan. Kitab ini tidak hanya menjadi warisan klasik pesantren, tetapi juga berfungsi sebagai jembatan kokoh antara tradisi keilmuan Islam dan tantangan dunia modern. Kini, banyak generasi muda menemukan kembali keindahan Fathul Qorib melalui platform digital; mereka membacanya lewat gawai sambil mencoba menafsirkan maknanya dalam konteks kehidupan hari ini.
Sebagai kitab yang mengulas dasar-dasar fikih mazhab Syafi’i, Fathul Qorib hadir sebagai kompas moral di tengah perubahan sosial yang begitu cepat. Di era yang serba praktis, ia menuntun umat agar tidak kehilangan makna ibadah, adab, serta logika berpikir syar’i.
Menyelami Hikmah Fathul Qorib di Tengah Zaman yang Bergerak Cepat
Fenomena menarik muncul ketika minat santri muda dan mahasiswa terhadap kitab klasik meningkat. Di banyak pesantren modern, Fathul Qorib dipelajari melalui aplikasi digital, e-book, hingga kanal YouTube kajian. Melalui perubahan ini, tampak bahwa teknologi memang mengubah cara belajar, namun nilai-nilai kitab klasik tetap relevan dan mampu menembus zaman.
Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi menulis:
“وَيُسْتَحَبُّ لِلْمُتَعَلِّمِ أَنْ يَجْتَهِدَ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ وَأَنْ يَنْوِيَ بِهِ وَجْهَ اللَّهِ تَعَالَى”
“Disunnahkan bagi penuntut ilmu untuk bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu dan meniatkannya semata karena Allah Ta’ala.”
(Fathul Qorib, Bab Thalabul Ilmi)
Kutipan ini terasa semakin mendalam di era digital. Saat banyak orang belajar demi popularitas atau pengakuan sosial, Fathul Qorib kembali menegaskan pentingnya niat dan keikhlasan. Dengan niat yang lurus, ilmu berubah menjadi cahaya, bukan sekadar informasi.
Ketika Fathul Qorib Menjadi Cermin Kehidupan
Jika kita merenungkannya lebih jauh, sejumlah persoalan modern sebenarnya sudah disentuh dalam ajaran fikih klasik. Contohnya etika dalam berinteraksi, kejujuran dalam bekerja, atau adab menjaga kebersihan diri. Semuanya dijelaskan melalui bahasa yang sederhana namun sarat makna.
Syekh al-Ghazi mengatakan:
“وَيُسْتَحَبُّ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يُحَافِظَ عَلَى طَهَارَتِهِ دَائِمًا”
“Disunnahkan bagi seorang Muslim untuk senantiasa menjaga kesuciannya.”
(Fathul Qorib, Bab Thaharah)
Dalam kehidupan modern, konsep kesucian mencakup lebih dari sekadar kebersihan fisik. Ia juga merangkul kebersihan pikiran, niat, dan akhlak di dunia digital. Saat banyak orang mudah terjebak ujaran kebencian atau hoaks, prinsip thaharah mengingatkan bahwa kebersihan hati tetap menjadi pondasi moral.
Digitalisasi Ilmu: Tantangan dan Peluang
Perkembangan teknologi menghadirkan tantangan baru: informasi bergerak cepat, namun pemahaman kerap dangkal. Banyak pelajar lebih akrab dengan video singkat daripada kitab tebal. Meskipun begitu, kondisi ini justru membuka peluang bagi Fathul Qorib untuk muncul dalam format baru—mulai dari tafsir visual, audio interaktif, hingga aplikasi fikih berbasis komunitas.
Allah SWT berfirman:
“وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا”
“Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS. Taha: 114)
Ayat tersebut memberikan dorongan spiritual bagi siapa pun yang ingin menghidupkan ilmu, baik melalui pena klasik maupun layar digital. Karena itu, digitalisasi tidak mengancam kitab kuning, tetapi justru memperluas jangkauan hikmahnya.
Fathul Qorib: Etika, Ibadah, dan Kemanusiaan
Di dalam Fathul Qorib, pembahasan ibadah selalu terkait erat dengan pembentukan karakter. Dalam bab wudhu misalnya, Syekh al-Ghazi tidak hanya menjelaskan tata cara bersuci, tetapi juga menyampaikan etika serta kesadaran spiritual di baliknya.
“الطَّهَارَةُ مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ وَالْعِبَادَةِ”
“Kesucian adalah kunci dari salat dan semua bentuk ibadah.”
(Fathul Qorib, Bab Wudhu)
Dalam kehidupan modern, kesucian bisa berarti integritas. Seorang profesional yang jujur, guru yang ikhlas, atau santri yang disiplin sejatinya sedang meneladani nilai kesucian tersebut.
Merajut Kembali Tradisi dan Inovasi
Pesantren terus menjaga keberlangsungan kitab seperti Fathul Qorib. Namun, tantangan hari ini mengajak kita untuk tidak sekadar mempertahankannya, tetapi juga menghidupkannya kembali. Karena itu, santri digital perlu memvisualisasikan ilmu kitab dalam kehidupan nyata: menulis, berdiskusi, bahkan menciptakan konten edukatif.
Syekh al-Ghazi menegaskan:
“وَيَجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَتَعَلَّمَ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ مِنْ أُمُورِ دِينِهِ”
“Wajib bagi setiap Muslim mempelajari hal-hal yang ia butuhkan dalam agama.”
(Fathul Qorib, Muqaddimah)
Pesan ini menyoroti pentingnya ilmu yang aplikatif. Pada era digital, kebutuhan itu mencakup literasi agama, kemampuan memilah informasi, serta kecerdasan spiritual dalam berinteraksi di media sosial.
Menyambung Sanad Ilmu di Dunia Maya
Menghidupkan kitab klasik berarti menjaga sanad keilmuan. Di dunia maya, sanad dapat hadir melalui bimbingan guru virtual, jaringan ulama, atau komunitas kajian online. Meskipun bentuknya berbeda, esensinya tetap sama: ilmu harus disampaikan dengan adab dan tanggung jawab.
Karena itu, Fathul Qorib tidak hanya hadir sebagai teks lama, tetapi sebagai panduan abadi dalam menghadapi perubahan zaman. Kitab ini mengajarkan keseimbangan antara nalar dan iman, ilmu dan amal, serta tradisi dan inovasi.
Penutup: Cahaya Kitab dalam Gelombang Digital
Menghidupkan Fathul Qorib di era digital bukan sekadar nostalgia, tetapi ikhtiar untuk membangun masa depan ilmu. Dunia boleh bergerak cepat, tetapi nilai keikhlasan, kebersihan hati, dan kesungguhan menuntut ilmu tetap menjadi cahaya yang menuntun manusia menuju kebenaran.
Allah SWT berfirman:
“يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ”
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Maka, menghidupkan Fathul Qorib berarti menghidupkan semangat ilmu yang bersumber dari cahaya wahyu.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
